Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 13 November 2013

Dukungan bagi Keluarga TKW (Tajuk Rencana Kompas)

BAGI perempuan miskin tidak banyak pilihan tersedia untuk memperbaiki hidup keluarga. Menjadi TKI bukan pilihan, melainkan "keharusan".
Menjadi pekerja migran saat ini lebih memberi kepastian untuk memenuhi harapan kehidupan lebih baik karena di desa tidak tersedia lapangan kerja memadai. Kantong-kantong pengiriman perempuan TKI umumnya desa miskin. Kalaupun sawah hijau royo-royo membentang luas seperti di Indramayu, pemiliknya kebanyakan bukan petani setempat.

Dampak sosial kepergian perempuan TKI sudah dikenali lama. Pecahnya keutuhan perkawinan sering terdengar dan dianggap sebagai risiko yang harus diambil.

Dampak terhadap anak-anak yang terpaksa ditinggal pada usia muda juga sering dibicarakan dan diperkuat pemberitaan harian Kompas dua hari lalu berturut-turut.

Dampak sosial akibat perempuan menjadi pekerja migran sangat jarang dibicarakan, apalagi jadi perhatian pemerintah dan organisasi nonpemerintah yang memperjuangkan nasib buruh migran. Perhatian umumnya tercurah kepada nasib TKI dan tenaga kerja wanita (TKW) yang kerap menghadapi masalah di negara tempat bekerja. Perlindungan pemerintah dianggap masih lemah. Korban perdagangan orang terus berjatuhan, antara lain Wilfrida Soik asal Belu, NTT, yang terancam hukuman mati di Malaysia karena tuduhan membunuh majikannya.

Bukan pilihan mudah bagi perempuan menjadi TKI. Mereka harus meninggalkan desa menuju tempat kerja yang jauh dan berbeda budaya. Jika telah berkeluarga, mereka harus meninggalkan suami dan anak-anak setidaknya selama dua tahun sesuai kontrak kerja.

Kepergian perempuan menjadi buruh migran berhubungan dengan kebijakan pembangunan nasional. Tanpa lapangan kerja yang memberi penghasilan memadai di desa dan kota di negeri sendiri serta bekal pendidikan cukup, harapan mobilisasi sosial vertikal tinggal sebagai mimpi.

Di sisi lain, ada cerita keberhasilan keluarga perempuan TKI. Uang kiriman para perempuan-ibu menggerakkan ekonomi keluarga, desa, bahkan nasional. Anak-anak dapat bersekolah, bahkan menyelesaikan pendidikan tinggi. Banyak perempuan TKI menjadi lebih berdaya dalam relasi sosial di rumah tangga ataupun di komunitas desanya.

Dampak sosial ketidakhadiran ibu mendampingi anak-anaknya harus menjadi perhatian pemerintah pusat dan daerah. Bukan dengan melarang perempuan bekerja, melainkan justru memberi dukungan kepada mereka agar dampak yang tak diinginkan dapat diminimalkan.

Anak-anak adalah tanggung jawab bersama ayah dan ibunya. Budaya menciptakan peran sosial suami-ayah adalah pencari nafkah, sedangkan istri-ibu penanggung jawab urusan rumah tangga, termasuk anak-anak.

Ketika istri-ibu menjadi pencari nafkah utama, tidak sedikit suami-ayah gagap mengambil peran pengurus anak-anak. Ini persoalan yang kerap tak terlihat dalam kebijakan pemerintah apabila semata mengejar devisa.

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000003126273
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger