Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 18 November 2014

Evaluasi Kritis Kunjungan Presiden (Hikmahanto Juwana)

Presiden Joko Widodo telah kembali dari kunjungan ke tiga negara: Tiongkok, Myanmar, dan Australia.
Kunjungan perdana ke luar negeri Presiden adalah dalam rangka menghadiri konferensi tingkat tinggi (KTT) tiga forum multilateral, yaitu Kerja sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC), ASEAN sekaligus KTT Asia Timur (East Asia Summit) dan G-20.

Keberhasilan
Ada banyak keberhasilan yang ditorehkan Presiden Jokowi. Keberhasilan pertama adalah Presiden Jokowi berkesempatan bertemu dan memperkenalkan diri kepada banyak kepala pemerintahan dan kepala negara mancanegara. Mereka antara lain Presiden Tiongkok Xi Jinping, Presiden Amerika Serikat Barack Obama, Kanselir Jerman Angela Merkel, dan Presiden Perancis Francois Hollande.

Ini penting karena dalam kesempatan tersebut Presiden dapat menjalin hubungan yang lebih dekat. Bahkan, Presiden telah mengajak mereka turut merealisasikan program-program pemerintah, khususnya terlibat dalam proyek-proyek infrastruktur dan kemaritiman.

Meski demikian, kepala pemerintahan dan kepala negara mitra sebenarnya yang lebih memiliki kepentingan menemui Presiden Jokowi. Mereka menginginkan kepentingan ekonomi, politik, dan keamanan mereka di bawah pemerintahan Jokowi tidak berubah seperti pada pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono.

Presiden juga berhasil mengajak para investor untuk meningkatkan investasi mereka ke Indonesia dengan janji untuk membenahi masalah perizinan, pembebasan lahan, dan kelambanan birokrasi.  Presiden menyampaikan hal itu dalam
forum pelaku bisnis negara-negara APEC dalam APEC CEO Summit.

Presiden Jokowi juga berhasil untuk memastikan kepentingan Indonesia terakomodasi di KTT APEC. Presiden telah mendesak agar lima produk asal Indonesia, yaitu kelapa sawit, karet alam, kertas, rotan, dan produk perikanan dimasukkan dalam development goods.

Ini penting karena kerap kali lima produk tersebut dihambat untuk masuk atas nama persyaratan dengan alasan tidak ramah lingkungan dan persyaratan lain.

Di Forum KTT Asia Timur, Presiden menyampaikan visi pemerintah baru yang disebut sebagai Doktrin Jokowi.

Ada tiga makna penting dari Doktrin Jokowi. Pertama, mengumumkan kepada dunia hasrat Indonesia untuk menjadi poros maritim dunia. Pengumuman seperti ini mengingatkan pada Deklarasi Perdana Menteri Djuanda tahun 1957. Saat itu, Indonesia secara unilateral mengklaim diri sebagai negara kepulauan. Ini yang kemudian mendapat pengakuan dari masyarakat internasional melalui Konvensi Hukum Laut 1982.

Kedua, upaya Indonesia mentransformasi diri menjadi negara maritim akan membuka banyak peluang ekonomi, tidak saja bagi masyarakat Indonesia, tetapi juga masyarakat dunia. Untuk itu, Indonesia mengundang negara-negara untuk memanfaatkan peluang bisnis yang terbuka dalam mengeksploitasi sumber daya alam serta dalam pembangunan infrastruktur.

Meski demikian, Presiden Jokowi mengingatkan bahwa Indonesia akan tegas bila kedaulatan Indonesia dilanggar dan kepentingan nasional dirugikan. Di sini tafsir baru politik luar negeri bebas aktif disampaikan. Apabila pada masa pemerintahan SBY politik luar negeri bebas aktif ditafsirkan sebagai "one thousand friends, zero enemy", saat ini tafsirnya adalah "all nations are friends until Indonesia's sovereignty is degraded and national interest is jeopardized (semua negara adalah sahabat sampai kedaulatan Indonesia direndahkan dan kepentingan nasional dirugikan)".

Ketiga, Presiden menegaskan bahwa Indonesia berkomitmen untuk terlibat dan turut dalam menentukan arah berkembangnya kawasan Pasifik dan Samudra Hindia. Partisipasi Indonesia bertujuan menjaga perdamaian dan keamanan regional. Dalam forum G-20, Presiden juga membagi pengalamannya tentang pembangunan dengan sentuhan manusia saat beliau menjadi wali kota dan gubernur. Ini pun yang diharapkan diakomodasi dalam pengambilan kebijakan ekonomi internasional.

Dalam kunjungan ke luar negeri, Presiden Jokowi tidak lupa melakukan blusukan. Ada dua tempat yang dikunjungi, yaitu pelabuhan laut di Tianjin, Tiongkok, dan pelabuhan laut di Brisbane, Australia. Blusukan ini kemungkinan dimanfaatkan Presiden untuk mereplikasi pembangunan sejumlah pelabuhan laut di Indonesia.

Kekurangan
Meski banyak keberhasilan yang dicapai Presiden Jokowi, tetap ada sejumlah kekurangan. Pertama, Presiden belum secara maksimal menjual produk dan jasa asal Indonesia. Produk di sini tentu bukan produk yang merupakan ekstraksi bumi, melainkan berbagai produk yang dibuat (manufactured) di Indonesia.

Demikian pula jasa asal Indonesia pun tidak secara maksimal dijual. Padahal, salah satu jasa yang potensial adalah jasa konstruksi perusahaan Indonesia. Menjual produk dan jasa asal Indonesia penting dibandingkan dengan mengundang investor asing masuk ke Indonesia untuk tiga alasan.

Pertama, karena setiap kunjungan presiden sebelum Jokowi ke luar negeri tidak lain selain mengundang investor asing. Padahal, tanpa diundang pun para investor akan datang karena pasar Indonesia yang sangat menjanjikan.

Kedua, kalau saja Presiden Jokowi menjual produk dan jasa asal Indonesia, hal ini akan diikuti para kepala perwakilan Indonesia di luar negeri. Bukankah Presiden menghendaki kepala perwakilan dan jajarannya menjadi agen pemasar bagi produk dan jasa asal Indonesia?

Ketiga, Presiden Jokowi telah menunjukkan ada revolusi mental. Revolusi mental karena Jokowi tidak mengikuti kebiasaan para pendahulunya.

Hal lain yang menjadi kekurangan adalah yang terkait dengan implementasi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015. Presiden seharusnya melakukan kajian apakah Indonesia akan siap untuk mengimplementasikan MEA. Jika siap, tentu harus dipastikan agar rakyat dan pelaku usaha Indonesia tidak dirugikan.

Saat ini sejumlah pihak mengkhawatirkan Indonesia akan banyak dirugikan apabila MEA diimplementasikan. Beberapa negara ASEAN akan gencar mempromosikan untuk berinvestasi di pasar tunggal ASEAN. Padahal, yang dipromosikan sebenarnya adalah pasar Indonesia. Ini mengingat pasar ASEAN bertumpu pada pasar Indonesia karena hampir setengah populasi ASEAN yang berjumlah 550 juta orang berada di Indonesia. Oleh karena itu,
siapa yang mengusai pasar Indonesia, berarti menguasai pasar ASEAN.

Apabila Indonesia belum siap mengimplementasikan MEA, sangatlah tepat jika hal ini disampaikan dalam KTT ASEAN. Semakin dini disampaikan, semakin baik sehingga dapat dicari jalan keluar oleh negara-negara ASEAN secara bersama.

Terakhir, dalam forum G-20, sepertinya suara Indonesia tidak terakomodasi dengan baik.
Berbagai komitmen sepertinya telah dipersiapkan oleh tuan rumah dan negara-negara industri G-20. Indonesia pun hanya sebagai pengikut (follower), bukan sebagai negara yang dapat memengaruhi kebijakan ekonomi dunia.

Dalam konteks ini, ada baiknya Presiden mempertimbangkan usulan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti agar Indonesia keluar dari keanggotaan G-20.

Oleh banyak pihak di luar negeri, G-20 sering dijuluki sebagai forum No Action Talk Only. Bahkan, suasana pengambilan keputusan kerap diwarnai ketegangan internasional. Kali ini pengambilan kebijakan diwarnai sanksi yang akan dijatuhkan kepada Rusia karena ulahnya di Ukraina.

Tidak mengecewakan
Secara umum dan obyektif, kunjungan perdana Presiden Jokowi ke luar negeri dapat dikatakan tidak mengecewakan. Hanya saja, berbagai komitmen di luar negeri perlu untuk ditindaklanjuti oleh Presiden dan kabinetnya.

Presiden harus memastikan agar setiap komitmen dan janji yang dibuat selama di luar negeri tidak miskin realisasi. Apabila tidak, Jokowi sebagai Presiden tidak akan dianggap sebagai pembawa harapan baru.

Hikmahanto Juwana
Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, Depok

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000010153847
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger