Berita tentang pembunuhan dengan cara memenggal kepala yang dilakukan NIIS terhadap seorang pekerja sosial asal Amerika Serikat menegaskan kepada kita bahwa mereka adalah kelompok yang tidak mengenal nilai-nilai kemanusiaan, yang tidak menghormati hidup dan kehidupan. Bagaimana kejahatan kemanusiaan itu bisa mereka lakukan tanpa merasa bersalah sedikit pun? Mengutip pendapat Hannah Arendt, seorang filsuf politik, inilah yang disebut sebagai banalisasi kejahatan.
Menurut berita yang tersiar kemarin, kelompok militan NIIS memenggal kepala Abdul-Rahman Kassig—yang semula bernama Peter Kassig (26). Menurut video yang dirilis kelompok NIIS, Kassig terlihat berada di bawah ancaman seorang milisi NIIS yang mengenakan topeng.
Kalau video itu benar, Kassig menjadi orang kelima yang dipenggal kepalanya. Mereka adalah dua wartawan AS, yakni James Foley dan Steven Sotloff, serta dua warga negara Inggris, yaitu David Haines dan Alan Henning. Saat ini masih ada puluhan lainnya yang ditahan kelompok NIIS, termasuk seorang wartawan Inggris, John Cantile.
Sungguh tidak bisa dipahami kalau Kassig juga menjadi korban keganasan dan kebrutalan NIIS. Ia memang seorang warga negara AS, tetapi mantan tentara AS itu masuk ke Suriah sebagai relawan, sebagai pekerja sosial. Ia melaksanakan tugas kemanusiaan. Hanya karena orang AS, Kassig menjadi sasaran keganasan NIIS.
AS, memang, bersama sejumlah negara Barat termasuk juga negara-negara Arab gencar melakukan serangan militer untuk melumpuhkan kelompok bersenjata NIIS. Mereka, terutama AS, membantu pasukan Irak melawan kelompok bersenjata NIIS. Bahkan, tidak hanya melakukan serangan udara, tetapi juga darat. Karena itu, warga AS menjadi sasaran balas dendam kelompok NIIS.
Apa pun alasannya, tindakan NIIS sungguh sudah di luar batas-batas kemanusiaan. Korban dibuat impersonal. Ini berarti korban dibuat sedemikian rupa sehingga tidak dianggap lagi sebagai seorang pribadi manusia. Kassig dan korban lainnya semata-mata dijadikan sasaran balas dendam mereka terhadap AS.
Melihat kenyataan seperti itu, kita bisa mengatakan bahwa nurani mereka sudah bebal. Agama bagi mereka hanyalah kedok dan alat untuk menggapai kekuasaan. Bukankah tidak ada satu agama pun di dunia ini yang mengajarkan, yang membenarkan bertindak jahat terhadap orang lain, atau bahkan membenarkan orang melakukan pembunuhan?
Inilah bentuk dari prinsip tujuan menghalalkan cara. Pertanyaan terakhirnya adalah apakah dunia, termasuk Indonesia, akan terus membiarkan hal semacam itu.
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000010154299
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar