Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 14 November 2014

TAJUK RENCANA: Kontroversi Hukuman Mati (Kompas)

PUTUSAN Mahkamah Agung yang menjatuhkan vonis mati untuk terdakwa kasus pembunuhan Fransisca Yofie menuai kontroversi.
Majelis hakim agung Artidjo Alkostar, Gayus Lumbuun, dan Margono memperberat hukuman Wawan dari hukuman seumur hidup menjadi hukuman mati. Wawan adalah salah seorang terdakwa pembunuh Yofie pada 5 Agustus 2013. Pembunuhan terhadap Yofie sempat membuat heboh. Selain karena kesadisan terdakwa yang menyeret tubuh korban sejauh 800 meter, kasus ini juga menyebut-nyebut nama seorang perwira polisi.

Putusan MA itu memicu kritik dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Komisioner Komnas HAM Sandra Moniaga menolak hukuman mati. Menurut Komnas HAM, hak untuk hidup adalah hak yang tak boleh dikurangi dalam keadaan apa pun (non derogable rights). Pasal 28 A UUD 1945 menegaskan, setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.

Sebaliknya, Gayus Lumbuun menegaskan, vonis mati yang dijatuhkan majelis MA adalah untuk membela hak asasi manusia. MA ingin menyampaikan pesan bahwa orang tak bisa mencabut nyawa orang lain, apalagi disertai penganiayaan terhadap korban. Gayus merujuk Pasal 28 J UUD 1945 bahwa setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dan wajib tunduk pada pembatasan yang ditetapkan undang-undang.

Hukuman mati selalu saja menjadi perdebatan. Sejumlah hukum positif di Indonesia masih mengadopsi pasal mengenai hukuman mati, seperti KUHP, UU Narkotika, dan UU Terorisme. Penerapan hukuman mati beberapa kali dimintakan uji materi ke Mahkamah Konstitusi dan MK menyatakan hukuman mati masih dianggap konstitusional.

Kita memandang pertimbangan hakim menjatuhkan hukuman mati bergantung pada pemikiran hukum hakim. Argumen bahwa penerapan hukuman mati sebagai penyampai pesan agar orang lain tak melakukan hal serupa tetap menjadi perdebatan. Belum ada penelitian yang memadai penerapan hukuman mati bisa mencegah kejahatan serupa dilakukan orang lain di kemudian hari.

Jejak peradilan di Indonesia pernah mengalami masa kelam. Ada "peradilan sesat" seperti kasus Sengkon-Karta tahun 1980 di Bekasi dan Lingah-Pacah tahun 1995 di Ketapang (Kalimantan Barat). Tidak terbayangkan jika setelah terdakwa dihukum mati, kemudian terbukti dia bukanlah pelaku tindak pidana tersebut. Peninjauan kembali menjadi tak punya makna ketika vonis mati telah dieksekusi. Kekeliruan dalam pemidanaan masih bisa terjadi. Kita yang berpihak kepada kehidupan berharap penjatuhan vonis mati sebisa mungkin dikurangi. Pidana seumur hidup tanpa pengurangan hukuman bisa menjadi alternatif. Pesan keluarga Yofie bahwa terbunuhnya Yofie bukan karena pencurian dengan kekerasan, melainkan pembunuhan berencana patut ditelusuri untuk mencari siapa perencana pembunuhan itu.


Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000010079110
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger