Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 17 November 2014

TAJUK RENCANA: Mewaspadai Utang Swasta (Kompas)

BANK  Indonesia dan pemerintah perlu segera mengatur perusahaan swasta yang berutang dari luar negeri dan tidak menghasilkan devisa.
Jumat pekan lalu, Bank Indonesia melaporkan, utang swasta mencapai 53,8 persen atau setara dengan 290,37 miliar dollar AS (Rp 3.539,9 triliun). Meskipun sebagian besar berjangka menengah, yaitu di atas satu tahun, sekitar 70 persen utang tidak mendapat lindung nilai.

Besarnya utang luar negeri swasta menimbulkan kekhawatiran terulangnya situasi tahun 1997/1998. Saat itu nilai tukar rupiah anjlok dari sebelumnya pada kisaran Rp 3.000 dan kemudian menyentuh lebih dari Rp 15.000 per dollar.

Berdasarkan Kajian Bappenas pada 2004, saat itu sebagian besar utang luar negeri swasta berjangka pendek, tetapi digunakan untuk pembiayaan usaha jangka menengah dan panjang; ditujukan untuk pembiayaan usaha yang tidak menghasilkan devisa; dan tidak mendapat lindung nilai.

Beberapa keadaan tersebut terjadi saat ini. Antara lain, utang luar negeri digunakan untuk membiayai usaha yang pasarnya domestik, sebagian besar tidak menggunakan lindung nilai, dan nilai tukar rupiah melemah dalam dua tahun terakhir ke posisi Rp 12.000 per dollar AS.

Kajian Pusat Kebijakan Ekonomi Makro Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, Desember 2013, sejak 2006 memperlihatkan, awalnya utang pemerintah dan Bank Indonesia lebih besar daripada utang swasta. Keadaan berbalik sejak pertengahan 2012, yaitu utang swasta cenderung melebihi utang pemerintah.

Sejauh ini utang pemerintah berada pada posisi aman, sekitar 92 persen rata-rata jatuh tempo 10 tahun. Jumlah total utang hingga September lalu Rp 2.602 triliun dan proporsinya 25,6 persen dari produk domestik bruto, jauh di bawah 60 persen sebagai batas aman.

Swasta memilih meminjam dari luar negeri karena suku bunga pinjaman luar negeri lebih murah dibandingkan dengan meminjam di dalam negeri. Selain itu, rasio penyaluran utang dari perbankan nasional sudah di atas 90 persen.

Dari faktor eksternal, Bank Sentral AS akan menghentikan stimulus fiskal dan mulai menaikkan suku bunga tahun depan. Keadaan ini diperkirakan membuat nilai tukar rupiah semakin melemah.

Belajar dari pengalaman krisis keuangan 1997/1998, Bank Indonesia segera memperketat aturan bagi swasta nonbank, yaitu mengharuskan lindung nilai dan menetapkan tingkat kesehatan perusahaan untuk dapat membuat pinjaman luar negeri. Selanjutnya, pengawasan pelaksanaan aturan harus berjalan.

Pemerintah juga harus mengimbangi dengan mendorong swasta berinvestasi pada produk berorientasi ekspor, terutama sektor manufaktur. Insentif harus diberikan melalui kemudahan perizinan.

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000010140854
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger