Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 15 November 2014

TAJUK RENCANA: Puas Menjadi Bangsa Pengimpor (Kompas)

KEMELUT industri gula seperti tak pernah ada akhirnya. Kebijakan izin impor gula rafinasi masa lalu membuat gula petani menumpuk tak terserap.
Di tengah janji swasembada pangan yang diusung rezim demi rezim pemerintahan, blunder demi blunder kebijakan justru dibuat sendiri oleh pemerintah. Begitu gampang pemerintah memberikan izin pendirian pabrik gula rafinasi dan izin impor gula mentah untuk bahan bakunya.

Repotnya, izin impor diberikan bukan berdasarkan kebutuhan industri pemakai dalam negeri, melainkan pada kapasitas industri gula rafinasi itu sendiri. Pemerintah juga tak berdaya ketika kemudian gula rafinasi merembes ke pasar ritel. Gula lokal jadi korban. Harga di tingkat petani rontok justru saat petani masuk panen raya. Rentetannya, insentif petani menanam surut, pabrik gula gulung tikar.

Lewat kebijakan obral izin impor, sesungguhnya pemerintah telah terseret dalam permainan mafia pangan, pengusaha besar, dan industri/pedagang pangan. Konsekuensinya, rentan terhadap gejolak, permainan pasar, dan jebakan impor pangan. Dengan dalih melindungi konsumen dan menjaga ketahanan pangan, opsi impor ditempuh setiap kali menghadapi gejolak harga dalam negeri.

Lewat rezim kebijakan yang tak berpihak kepada petani dan rezim perdagangan/investasi yang liberal, pemerintah berperan besar membangun pola konsumsi masyarakat berbasis impor yang kian jauh dari basis produksi lokal.

Kalaupun produksi lokal digenjot, orientasinya bukan lagi petani kecil, melainkan korporasi besar lewat pola food estate. Artinya, sekali lagi, kita menyerahkan pangan sebagai hajat hidup orang banyak pada mekanisme pasar di mana segelintir pemain besar menjadi penentu harga, sementara fungsi stabilitas pemerintah makin dipereteli.

Semua serba impor. Bukan hanya gula, melainkan juga komoditas pangan penting lain: beras, jagung, kedelai, daging sapi, gandum dan tepung terigu, kentang, garam, bawang merah, bawang putih, cabai, daging ayam, mentega, susu, buah-buahan, sayur-sayuran, dan masih banyak lagi.

Nilai impor pangan terus melonjak, mencapai Rp 100 triliun lebih per tahun. Belum lagi barang konsumsi lain. Budaya instan menghinggapi bangsa ini, dimulai dari pemerintahnya sendiri. Lewat oknum-oknum kunci di pengambilan kebijakan, pemerintah menjadi bagian penting mata rantai perburuan rente impor dan distribusi pangan. Cara ini ditempuh karena lebih mudah dibandingkan dengan membangun pertanian dan kawasan industri.

Di bidang industri, ketergantungan impor juga tidak masuk akal, mencapai 80 persen untuk sejumlah industri yang banyak menyerap tenaga kerja. Akibatnya, tak hanya neraca perdagangan dan neraca transaksi berjalan babak belur, kedaulatan dan ketahanan ekonomi pun dipertaruhkan. Pemerintah bukan mengajarkan anak bangsanya menjadi bermartabat dan berdikari sebagai bangsa produsen, melainkan sekadar bangsa pengonsumsi.

Sebagai bangsa dengan penduduk sangat besar, menggantungkan pada produk impor sama saja dengan menggadaikan kedaulatan dan menggali kubur sendiri.

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000010099090
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger