Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 15 Desember 2014

ANALISIS EKONOMI: Revolusi Energi Telah Tiba

SEMULA saya mengira penurunan harga minyak dunia hanyalah hal yang insidental, bersifat sementara, dan segera mudah diatasi para produsen minyak besar, terutama Arab Saudi. Namun, ketika pekan lalu harga minyak sudah meluncur ke level 60-an dollar AS per barrel, baik untuk jenis Brent maupun West Texas Intermediate, saya baru menyadari bahwa ada hal yang bersifat fundamental dan struktural.

Sektor energi pada dasarnya sudah dan sedang memasuki sebuah revolusi. Meski sebenarnya sudah beberapa tahun terakhir terungkap, penemuan energi baru non-konvensional shale oil, terutama di Amerika Serikat, akhir-akhir ini telah berdampak signifikan terhadap peta energi dunia.

Secara ringkas, shale oil dapat didefinisikan sebagai minyak yang dihasilkan oleh sedimentasi organik dari bebatuan yang kaya kandungan kerogen, yang bisa menghasilkan berbagai jenis energi, seperti minyak mentah, minyak tanah, dan solar. Proses mendapatkannya adalah bebatuan itu dipanaskan untuk memisahkan dan menghasilkan kerogen (IER, Institute for Energy Research, 2013).

Di AS, hamparan batu tersebut terdapat di Great River Formation, yang terletak di perbatasan tiga negara bagian, yaitu Colorado, Utah, dan Wyoming. IER memperkirakan, AS memiliki cadangan shale oil sekitar 1 triliun barrel, atau empat kali lipat cadangan minyak Arab Saudi. Dengan demikian, cadangan minyak dunia saat ini bergeser menjadi: AS (ekuivalen 1 triliun barrel), Venezuela (297 miliar), Arab Saudi (265), Kanada (173), Iran (154), Irak (141), Kuwait (101), Uni Emirat Arab (98), dan Rusia (80).

Datangnya revolusi energi bakal menimbulkan dampak besar bagi perekonomian dunia dan Indonesia. Harga minyak bakal rendah, sebagaimana terjadi sekarang, perekonomian dunia akan tumbuh, dan akhirnya kesejahteraan umat manusia akan meningkat. Namun, sebelum itu tercapai, berapa harga ekuilibrium minyak baru?

Ada yang memperkirakan harga minyak masih akan terus meluncur ke level 50 dollar AS, atau bahkan 40 dollar AS per barrel. Bisa saja hal itu terjadi, tetapi saya duga hanya sesaat, bukan merupakan ekuilibrium permanen. Hal itu karena, meski belum diketahui angkanya, dapat dipastikan biaya produksi shale oil lebih mahal daripada biaya produksi minyak konvensional di Arab Saudi yang berada di tengah padang pasir. Di Arab Saudi, biaya produksi hanya 10-20 dollar AS per barrel. Karena itu, shale oil membutuhkan tingkat harga tertentu yang cukup tinggi, yang diduga di atas 50 dollar AS.

Rendahnya harga minyak saat ini diduga akan menggairahkan perekonomian dunia sehingga akan memicu kenaikan permintaan, yang selanjutnya menyebabkan harga minyak dunia kembali naik (rebound). Oleh karena itu, saya menduga harga minyak dunia pada 2015 bisa stabil pada level 70-an dollar AS.

Dengan harga minyak seperti sekarang, harga keekonomian bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi kita saat ini saya perkirakan maksimal Rp 7.000 per liter sehingga berarti pemerintah justru mendapatkan keuntungan Rp 1.500 per liter dari penjualan premium. Terhadap situasi ini, pemerintah mempunyai beberapa opsi.

Pertama, harga BBM premium dipertahankan tetap Rp 8.500 per liter sehingga pemerintah mendapatkan laba dari penjualan minyak. Jika pemerintah tidak lagi menyubsidi BBM, tersedia dana Rp 291 triliun untuk stimulus fiskal pada 2015. Jumlah stimulus tersebut sangat dahsyat untuk bisa menggerakkan perekonomian Indonesia melalui belanja infrastruktur dan inisiatif memproteksi penduduk miskin.

Kedua, harga BBM premium diturunkan, misalnya menjadi Rp 7.500 per liter. Pada level ini, pemerintah diperkirakan tidak perlu memberikan subsidi sehingga mempunyai dana besar untuk memberikan stimulus fiskal. Namun, "kelemahan" kebijakan ini adalah, berdasarkan pengalaman sebelumnya, penurunan harga BBM ini tidaklah bisa mengembalikan harga ke level sebelumnya. Harga-harga biasanya hanya elastis pada saat harga BBM naik, tetapi tidak elastis ketika harga BBM turun.

Ketiga, pemerintah mematok subsidi BBM tertentu, misalnya Rp 500 atau Rp 1.000 per liter, sehingga harga BBM bersubsidi mengalami fluktuasi di pasar. Sepanjang harga minyak dunia masih di bawah 80 dollar AS per barrel, kebijakan ini layak dilakukan.

Opsi yang cukup masuk akal saat ini adalah menurunkan harga ke Rp 7.500 per liter hingga setidaknya triwulan I-2015. Lalu, melihat keadaan, berapa ekuilibrium harga minyak yang baru? Jika ekuilibriumnya sesuai ekspektasi, misalnya 70 dollar AS per barrel, opsi ketiga bisa dijalankan, yaitu subsidi dipatok, sehingga harga premium nantinya berfluktuasi sebagaimana saat ini terjadi pada BBM jenis pertamax.

Fenomena revolusi energi tersebut saya yakini akan memberikan angin segar terhadap perekonomian Indonesia, yang pada masa sebelumnya amat terbebani oleh tingginya harga minyak dunia. Satu masalah besar ini ternyata justru dapat diatasi secara tidak terduga. Dana stimulus fiskal hendaknya bisa dialokasikan ke sektor maritim.

A Tony Prasetiantono Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000010667531
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger