Cari Blog Ini

Bidvertiser

Minggu, 14 Desember 2014

Hari Sejarah Indonesia (Mukhlis Paeni)

"JIKA sebuah bangsa kehilangan jejak kesejarahan, ia akan kehilangan masa lampau dan hidup di kekinian tanpa identitas. Karena itu, bangsa seperti ini tidak akan pernah memiliki harapan untuk sebuah masa depan."

Sartono Kartodirdjo

TIDAK dapat dinafikan bahwa bangsa Indonesia sesungguhnya telah memiliki kesadaran sejarah yang sangat tinggi. Hal ini dibuktikan dengan begitu banyak karya kesejarahan berupa manuskrip/naskah yang tersebar di beberapa daerah. Entah itu dalam wujud babad, lontara, tambo, hikayat, dan lain sebagainya.

Historiografi tradisional ini mengalami degradasi pada era kekuasaan penjajahan Belanda seiring dengan munculnya historiografi kolonial yang menempatkan pribumi (baca: bangsa Indonesia) hanya sebagai obyek dalam penulisan sejarah. Ketika itulah arsip kolonial menjadi sumber primer dan historiografi.

Pada era kolonial itu pula tokoh-tokoh sejarah Belanda dan pribumi yang memihak kepadanya ditempatkan secara khusus sebagai pemeran penting dalam sejarah dengan predikat pahlawan. Sebaliknya, tokoh-tokoh pribumi yang melawan Belanda "diposisikan" sebagai penjahat, bandit, lanun, berandal, dan banyak lagi. Seketika, setelah Indonesia merdeka, arus Indonesiaisasi mengalir deras di segala bidang tanpa dapat dibendung oleh kekuatan apa pun, termasuk Indonesiaisasi dalam pemikiran tentang kesejarahan.

Ketika itulah muncul gagasan tentang perlunya Indonesia sentris dalam penulisan sejarah Indonesia. Dengan demikian, sangat diharapkan akan lahir penulisan sejarah Indonesia yang dapat mengungkapkan kehidupan bangsa dari berbagai aktivitas politik, sosial, ekonomi, budaya dengan perspektif keindonesiaan, dan berdimensi nasional.

Memang, pada awalnya pemahaman keindonesiaan itu hanya dimanifestasikan secara sederhana seperti yang diceritakan dalam historiografi pada awal kemerdekaan, yang pengisahannya dibuat secara terbalik saja. Jika pada historiografi kolonial tokoh-tokoh Belanda yang pahlawan dan tokoh-tokoh pribumi yang penjahat, melalui Indonesiaisasi dalam historiografi Indonesia tokoh-tokoh Indonesia yang pahlawan dan tokoh-tokoh Belanda yang penjahat.

Paradigma Indonesiaisasi awal ini tampaknya masih bertahan hingga kini, hingga siapa pun yang berpihak kepada Belanda menerima beban sejarah sebagai pengkhianat.

Persoalan sejarah ternyata tidak sesederhana hanya dengan pemberian predikat pahlawan dan pengkhianat. Indonesiaisasi sejarah bukan sekadar memberi warna hitam-putih, atau sekadar menulis kisah terbalik dari sebuah alur cerita yang sama.

Kesadaran sejarah
Sejarah Indonesia adalah mozaik yang penuh warna, penuh romantika, dan suka duka dari semua lapisan masyarakat. Sejarah tak hanya kisah orang-orang penting, tokoh-tokoh, dan orang- orang besar. Sejarah adalah kisah banyak orang dari berbagai lapisan masyarakat. Sejarah yang Indonesia sentris, seperti yang diharapkan itu, harus mampu mengungkap berbagai dimensi dinamika kehidupan bangsa dan rakyat Indonesia, tentu dari sudut pandang Indonesia. Jenis historiografi seperti inilah yang diperlukan untuk pembangunan karakter bangsa.

Kata Indonesia sentris itulah, tampaknya, yang menjadi alasan utama perlunya mengadakan Seminar Sejarah Nasional I pada 14-18 Desember 1957. Desakan akan perlunya Indonesia sentris ketika itu muncul dari ketidakpuasan di kalangan sejarawan terhadap tulisan-tulisan sejarah warisan historiografi kolonial ketika itu.

Lahirlah kemudian sebuah kesadaran tentang perlunya sejarah nasional Indonesia yang nasionalistik, dengan bangsa Indonesia ditempatkan dalam posisi sentral, sebagai subyek dalam penceritaan dan sebagai pemeran utama dalam kisah sejarah.

Momentum Seminar Sejarah Nasional I yang diadakan di Yogyakarta pada 14-18 Desember 1957 telah menjadi tonggak ingatan tentang perlunya menjaga memori kolektif sebuah bangsa melalui ingatan sejarahnya. Atas alasan itu pula, Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) pada 6-7 Mei 2014 di Yogyakarta—bersamaan dengan kegiatan Apresiasi Historiografi Indonesia—menyampaikan maklumat "Hari Sejarah Indonesia", yang selanjutnya akan diperingati setiap tanggal 14 Desember oleh siapa saja yang memiliki kesadaran tentang sejarah.

Mengapa kita sebagai bangsa perlu dan penting menjaga memori kolektif tersebut? Tak lain karena kesadaran sejarahlah yang melahirkan solidaritas kebangsaan yang senantiasa harus dijaga dan diperjuangkan bersama dengan jiwa dan raga: Indonesia! Pada era otonomi daerah ini, kepedulian pada sejarah memang meningkat, tetapi yang terjadi justru lebih mengutamakan kepentingan lokalitas: sejarah kedaerahan yang terlepas dengan konteks sejarah nasional!

Pada peringatan Hari Sejarah Indonesia, 14 Desember 2014, besok, kita tidak akan memperdebatkan bagaimana seharusnya menulis sejarah. Kita juga tidak akan mendiskusikan bagaimana cara belajar sejarah. Sebab, yang lebih penting dari semua itu ialah bagaimana belajar dari sejarah.

Kesadaran semacam ini pula yang menjadi kegundahan Sartono Kartodirdjo, "Bapak Sejarah Nasional Indonesia", sebagaimana dikutip di awal tulisan ini. Bahwa, "Jika sebuah bangsa kehilangan jejak kesejarahan, ia akan kehilangan masa lampau dan hidup di kekinian tanpa identitas. Karena itu, bangsa seperti ini tidak akan pernah memiliki harapan untuk sebuah masa depan".

Selamat Hari Sejarah Indonesia, 14 Desember 2014!

Mukhlis Paeni
Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000010592958
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger