Cari Blog Ini

Bidvertiser

Minggu, 14 Desember 2014

TAJUK RENCANA: Darurat Nasional Narkoba (Kompas)

BAGI terpidana mati narkoba, Presiden Joko Widodo tidak memberikan grasi dan pengampunan. Keputusan politis itu tegas dan teguh.
Keputusan tegas itu mengikis salah satu kejahatan luar biasa selain korupsi dan terorisme. Ketika beberapa negara bersikap tegas-teguh, kita terkesan ragu-ragu. Pelakunya semakin nekat dan berani. Indonesia menjadi pasar empuk peredaran. Besaran uang yang terkait membutakan pelakunya semakin nekat dan berani. Pada akhir tahun ini ada lima terpidana mati menunggu eksekusi.

Kita kutip data Badan Narkotika Nasional. Sedikitnya 4,2 juta warga Indonesia pencandu narkoba, hampir sama dengan jumlah penduduk Singapura, sepertiganya pelajar dan mahasiswa, 10 persen tinggal di Jakarta dan sekitarnya. Setiap hari 50 warga Indonesia meninggal, berarti setiap jam dua orang mati sia-sia karena kasus narkoba. Selama tahun 2013, kasus narkoba dengan golongan narkotika seperti heroin dan morfin mencapai angka tertinggi dalam periode lima tahun, sebesar 21.269 kasus.

Kita terenyak ketika pencandu berstatus guru, guru besar, wakil rakyat, pejabat publik, atau figur populer yang menjadi idola remaja tertangkap tangan. Hanya ingat sebentar, kemudian terlupakan, tersengat lagi ketika terungkap kasus serupa, kalau pelakunya kita kenal, rekan dekat, kerabat, apalagi anggota keluarga sendiri.

Menyangkut kejahatan narkoba, kondisinya harus ditempatkan sebagai darurat nasional. Akibat kejahatan ini tidak saja sekarang, tetapi nanti, masa depan generasi penerus. Upaya pencegahan preventif dan kuratif sudah dilakukan. Dasar hukum pelaku kejahatan sudah ada, tetapi penerapannya sering miyar-miyur, bahkan di tingkat pemberian pengampunan dan pemberian grasi.

Analisis United Nations Office on Drugs and Crime menunjukkan kejahatan narkoba ini semakin sebagai pasar terbuka. Di semua negara ASEAN meningkat, peredaran uangnya mencapai 90 miliar dollar AS atau sekitar Rp 1.100 triliun. Jumlah itu baru dari perdagangan heroin dan methamphetamine, belum termasuk jenis lain.

Hukuman mati memang tak serta-merta menyurutkan angka kejahatan. Hukuman maksimal ini pro dan kontra, sampai di tingkat perdebatan etis keagamaan. Namun, ketika vonis hukuman mati berikut eksekusinya harus dilakukan demi kepentingan lebih besar, taruhlah dalam kasus tiga kejahatan besar, ketegasan dan keteguhan sikap demi kepentingan banyak orang perlu didahulukan. Hukum ditegakkan atas nama dan tetap menjunjung asas prosedur dan rasa keadilan.

Kita dukung keputusan Presiden Joko Widodo. Ketegasan itu kita harapkan membuat jera pengedar, pabrikan sabu yang nyaris menjadi industri rumahan seperti pisang goreng, pencandu—lebih jauhnya mendorong berpikir seribu kali untuk ngobat. Kita tunjukkan ketegasan kita seperti halnya Singapura dan Malaysia. Kita jaga jangan sampai menjadi pasar terempuk narkoba di ASEAN, apalagi hanya gigit jari dalam era pasar terbuka ASEAN mulai 2015.

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000010629093
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger