Ada perayaan Natal yang berlangsung khidmat di gereja. Ada
Namun, di balik beragam peristiwa tersebut, ada kejanggalan yang membuncah di benak kita. Hal ini terkait dengan hamparan dalil agama yang dilontarkan sebagian Muslim untuk mengharamkan ucapan Natal, dalil bidah terhadap perayaan
Secara sosiologis, ihwal tindakan ofensif-peyoratif ini bisa jadi bermula dari pengemasan dalil-dalil agama dengan cara cepat saji (
Kedua, pola kuantitas yang berkaitan dengan sejumlah dalil yang diparadekan sebagai alat bukti teologis untuk menjustifikasikan aneka kegiatan (
Ketiga, pola prediksi melalui sekumpulan dalil untuk menyatakan yang sedang dan akan terjadi telah tersurat dalam ajaran agama dan berlaku final. Karena itu, beragam kegiatan yang akan dilakukan tak sesuai dengan tuntunan yang berlaku dalam agama dianggap sebagai kegiatan yang berlebihan (
Keempat, pola kontrol yang meniscayakan sejumlah dalil sebagai konstruksi hukum bercorak positivistik untuk mengatur segala aspek dalam kehidupan manusia yang harus sesuai dengan aturan yang telah ditegaskan dalam dalil tersebut. Jadi, jika ada kegiatan yang tidak memiliki landasan tekstual dianggap patut untuk dilarang dan disebut sebagai kegiatan yang bertentangan dengan ajaran agama.
Implikasinya, sejumlah dalil agama yang dikonstruksi dalam empat unsur tersebut dan masih bercorak normatif-literalistik akan bermetamorfosis sebagai ajaran yang absolut, non-dialogikal, apologetik-defensif, dan
Analisis tentang bagaimana model cepat saji berkembang dan berpengaruh dalam segala dimensi kehidupan manusia, dikupas detail oleh George Ritzer dalam
Bagi Ritzer, keempat unsur yang berlaku dalam restoran McDonald's, yang dianasir menjadi konsep McDonaldisasi, mampu mengubah struktur berpikir konsumen bahwa untuk memperoleh kenikmatan makanan tidak perlu ditempuh dengan proses yang rumit. Hal itu karena dalam sekejap mata segala sesuatu yang diinginkan bisa didapat melalui cara yang sangat ringkas. McDonaldisasi mengarahkan konsumen pada aturan pola makan serba matematis, seleranya serba diprediksi, dan melibatkan sistem mesin untuk mengatur mekanisme perolehan makanan yang diinginkan.
Melalui Mcdonaldisasi, konsumen tidak lagi mengenal karakteristik makanan yang disajikan. Konsumen hanya diposisikan sebagai pihak yang pasif menerima yang ditawarkan. Pola cepat saji yang terjadi secara berulang bermetamorfosis sebagai model konsumsi yang "paling dibenarkan", dan segala yang bertolak belakang dengan pola cepat saji dianggap bertentangan dengan aturan baku gaya makan yang fundamental.
Fenomena McDonaldisasi yang dijelaskan Ritzer di atas dapat terjadi pula pada persoalan dalil agama yang selalu dikemas secara cepat saji, apalagi ditetapkan sebagai kebenaran tunggal yang dipaksa hadir dalam segala situasi.
Potret pembingkaian agama yang sedemikian
Ironisnya, sekumpulan dalil agama yang kerap didudukkan sebagai landasan teologis tidak diolah secara dialektis dan interkonektif dengan pengetahuan lain, tetapi dikemas dengan logika positivistik yang cepat saji sehingga
Mencermati hal tersebut, merujuk pada pandangan Prof Amien Abdullah, diperlukan berbagai upaya kritis agar dalil agama bisa didudukkan sebagai landasan teologis yang emansipatoris. Dalam kaitan ini, ada tiga aspek yang perlu disikapi untuk mengembangkan dalil agama sebagai salah satu perspektif yang dinamis dalam mencermati sebuah realitas sosial.
Dengan cara demikian, masyarakat dapat memahami ajaran agama secara utuh dan mengetahui pada wilayah mana ajaran agama digunakan sebagai pandangan hidupnya. Oleh karena itu, menyikapi arus McDonaldisasi yang mulai merasuk dalam ajaran agama, kita perlu mewaspadai setiap dalil-dalil
Dosen Sosiologi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga; A'wan Syuriyah PWNU Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar