Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 12 Januari 2015

Dalil Cepat Saji (Fathorrahman Ghufron)

PADA pengujung 2014 banyak seremoni keagamaan yang digelar oleh setiap pemeluknya.

Ada perayaan Natal yang berlangsung khidmat di gereja. Ada mauludan yang didendangkan dengan aneka shalawatan di setiap masjid dan rumah warga. Juga ada haul Gus Dur yang diekspresikan dengan beragam tahlilan dan tembang kebudayaan. Bahkan, sebagai penutup puncak tahun 2014, ada pergelaran terompet yang menyeruak di setiap jalanan.

Namun, di balik beragam peristiwa tersebut, ada kejanggalan yang membuncah di benak kita. Hal ini terkait dengan hamparan dalil agama yang dilontarkan sebagian Muslim untuk mengharamkan ucapan Natal, dalil bidah terhadap perayaan mauludan dan tahlilan haul Gus Dur, serta dalil kafir (yahudinisasi) bagi yang meniup terompet di Tahun Baru. Pertanyaannya, mengapa dalil agama begitu mudah dan cepat didemonstrasikan sebagai tindakan ofensif-peyoratif?

Cepat saji

Secara sosiologis, ihwal tindakan ofensif-peyoratif ini bisa jadi bermula dari pengemasan dalil-dalil agama dengan cara cepat saji (fast food). Dalam struktur berpikir yang simplistis, dalil agama yang disampaikan banyak mengacu pada empat unsur. Unsur pertama, pola efisiensi yang berkaitan dengan pemaparan dalil secara ringkas dan parsial (juz'iyah) untuk menjelaskan sebuah dinamika kehidupan dengan mudah meskipun maksud dari dalil itu tidak relevan untuk merepresentasikan sebagai konstruksi sosial yang complicated.

Kedua, pola kuantitas yang berkaitan dengan sejumlah dalil yang diparadekan sebagai alat bukti teologis untuk menjustifikasikan aneka kegiatan (amaliah) yang tidak sesuai dengan tuntunan agama, patut dianggap sebagai kegiatan yang menyimpang dan bahkan menyesatkan.

Ketiga, pola prediksi melalui sekumpulan dalil untuk menyatakan yang sedang dan akan terjadi telah tersurat dalam ajaran agama dan berlaku final. Karena itu, beragam kegiatan yang akan dilakukan tak sesuai dengan tuntunan yang berlaku dalam agama dianggap sebagai kegiatan yang berlebihan (israf) dan patut disebut sebagai tindakan haram.

Keempat, pola kontrol yang meniscayakan sejumlah dalil sebagai konstruksi hukum bercorak positivistik untuk mengatur segala aspek dalam kehidupan manusia yang harus sesuai dengan aturan yang telah ditegaskan dalam dalil tersebut. Jadi, jika ada kegiatan yang tidak memiliki landasan tekstual dianggap patut untuk dilarang dan disebut sebagai kegiatan yang bertentangan dengan ajaran agama.

Implikasinya, sejumlah dalil agama yang dikonstruksi dalam empat unsur tersebut dan masih bercorak normatif-literalistik akan bermetamorfosis sebagai ajaran yang absolut, non-dialogikal, apologetik-defensif, dan truth claim—meminjam istilah Richard C Martin dalam buku Approaches to Islam in Religious Studies. Dalam konteks ini, jadi wajar apabila sejumlah dalil agama tersebut akan selalu berbenturan dengan pengetahuan umum ('urf) ataupun kebiasaan umum ('adah) yang sebenarnya memiliki tirai kebenarannya sendiri.

Analisis tentang bagaimana model cepat saji berkembang dan berpengaruh dalam segala dimensi kehidupan manusia, dikupas detail oleh George Ritzer dalam TheMcdonaldization of Society. Buku ini menggambarkan bagaimana dampak pola cepat saji yang memengaruhi gaya makan masyarakat Amerika dan belahan dunia lain yang digerakkan oleh restoran McDonald's dalam empat unsur: menawarkan pola efisiensi, menawarkan daya hitung, menawarkan daya prediksi, dan kontrol melalui teknologi non-manusia.

Bagi Ritzer, keempat unsur yang berlaku dalam restoran McDonald's, yang dianasir menjadi konsep McDonaldisasi, mampu mengubah struktur berpikir konsumen bahwa untuk memperoleh kenikmatan makanan tidak perlu ditempuh dengan proses yang rumit. Hal itu karena dalam sekejap mata segala sesuatu yang diinginkan bisa didapat melalui cara yang sangat ringkas. McDonaldisasi mengarahkan konsumen pada aturan pola makan serba matematis, seleranya serba diprediksi, dan melibatkan sistem mesin untuk mengatur mekanisme perolehan makanan yang diinginkan.

Melalui Mcdonaldisasi, konsumen tidak lagi mengenal karakteristik makanan yang disajikan. Konsumen hanya diposisikan sebagai pihak yang pasif menerima yang ditawarkan. Pola cepat saji yang terjadi secara berulang bermetamorfosis sebagai model konsumsi yang "paling dibenarkan", dan segala yang bertolak belakang dengan pola cepat saji dianggap bertentangan dengan aturan baku gaya makan yang fundamental.

Kerangkeng besi

Fenomena McDonaldisasi yang dijelaskan Ritzer di atas dapat terjadi pula pada persoalan dalil agama yang selalu dikemas secara cepat saji, apalagi ditetapkan sebagai kebenaran tunggal yang dipaksa hadir dalam segala situasi.

Potret pembingkaian agama yang sedemikianrigid, disadari atau tidak, telah masuk dalam satu wilayah kerangkeng besi (iron cage)—meminjam istilah Max Weber. Itu karena, semua yang terkait dengan dinamika kehidupan masyarakat selalu dirujuk pada ajaran agama yang normatif. Implikasinya, segala yang jadi kebiasaan masyarakat selalu diatur dengan rangkaian dalil agama, yang apabila tidak termaktub secara jelas dalam dalil nash, segala sesuatu yang hendak dilakukan masyarakat dianggap berlawanan dengan norma kenabian dan pesan ketuhanan.

Ironisnya, sekumpulan dalil agama yang kerap didudukkan sebagai landasan teologis tidak diolah secara dialektis dan interkonektif dengan pengetahuan lain, tetapi dikemas dengan logika positivistik yang cepat saji sehingga output yang dihasilkan adalah pandangan dan pemikiran yang otoritarian. Implikasinya, masyarakat terperangkap dalam sangkar besi aturan keagamaan yang sering kali tidak relevan dengan kenyataan sosial.

Mencermati hal tersebut, merujuk pada pandangan Prof Amien Abdullah, diperlukan berbagai upaya kritis agar dalil agama bisa didudukkan sebagai landasan teologis yang emansipatoris. Dalam kaitan ini, ada tiga aspek yang perlu disikapi untuk mengembangkan dalil agama sebagai salah satu perspektif yang dinamis dalam mencermati sebuah realitas sosial.

Pertama, dalil agama yang disampaikan harus dipertemukan dan dirembeskan dengan pengetahuan dan pengalaman lain agar dapat diketahui makna utuh (kulliyah) dari dalil tersebut. Kedua, setiap dalil agama yang ingin disajikan membutuhkan metode dan pendekatan yang akademik agar memberikan perspektif lain terhadap cara menafsirkan dalil yang lebih kontekstual. Ketiga, dalil agama perlu diimajinasikan sebagai cara pandang kreatif dalam menjelaskan beragam perubahan sosial dan perkembangan zaman yang terjadi dalam kehidupan masyarakat, agar pemahaman dalil yang akan disampaikan bisa berkorelasi antara landasan teologis dan landasan sosiologis yang berimbang.

Dengan cara demikian, masyarakat dapat memahami ajaran agama secara utuh dan mengetahui pada wilayah mana ajaran agama digunakan sebagai pandangan hidupnya. Oleh karena itu, menyikapi arus McDonaldisasi yang mulai merasuk dalam ajaran agama, kita perlu mewaspadai setiap dalil-dalil nash yang disampaikan secara cepat saji, tetapi secara substansial beragam dalil yang disampaikan itu terkadang kehilangan relevansi dan orientasinya.

Fathorrahman Ghufron
Dosen Sosiologi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga; A'wan Syuriyah PWNU Yogyakarta

Sumber: ‎http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000011234643 

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger