Pada saat itu, presiden atau perdana menteri berpidato yang memaparkan langkah-langkah prospektif guna mewujudkan masa depan. Mau tidak mau masa mendatang itu harus ditempuh, bukan dengan pasrah, melainkan dengan tekad yang berperhitungan.
Di Indonesia perbuatan kenegarawanan yang bersifat begitu didaktis-konstruktif belum pernah dilakukan oleh presiden yang berfungsi sekaligus sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Hal ini kelihatannya juga tidak dikeluhkan oleh insan Indonesia, termasuk lapisan warganya yang terdidik. Sikap mereka mengesankan bahwa hal itu bukan merupakan suatu kekurangan intelektual-politis yang fundamental.
Bagi manusia individual, sikap tersebut masih layak diterima. Terima saja masa depan sebagai takdir Ilahi,
Dunia di abad ke-16 pernah mengenal seorang penujum Perancis, yaitu Nostradamus, nama samaran dari Michel de Nostredame. Ramalannya ditulis dalam buku berjudul
Kita juga pernah punya penujum kondang, Ronggowarsito, pada 1860-an. Sama dengan Nostradamus, dia menulis ramalan secara puitis. Ramalannya dianggap tepat ketika menyebutkan pendudukan Jepang di Jawa hanya bersifat "seumur jagung" (jika dibandingkan dengan masa penjajahan Belanda). Tembang sinom astrologis yang tertera dalam
Selaku satu bangsa, tidak adanya paparan prospektif di awal tahun baru seharusnya dianggap sebagai suatu kekurangan nasional yang serius. Bangsa Indonesia bukan hanya terdiri atas satu orang, melainkan juga dibentuk hampir 300-an juta manusia dan disebut rakyat. Ia bukan sekadar sekumpulan makhluk yang mengelompok secara sembarangan, tetapi suatu konsentrasi sejumlah besar orang yang berasosiasi berdasar suatu kesepakatan tentang keadilan dan kemitraan dalam usaha mewujudkan masa depan bersama yang lebih baik (beradab). Maka, kebaikan bersama ini merupakan milik bersama dari rakyat. Asosiasi kerakyatan berbentuk bangsa ini terjadi bukan oleh kelemahan individual, tetapi karena suatu spirit sosial tertentu yang ditanamkan oleh alam dalam diri manusia, diri kita.
Jadi, rakyat pantas diberi tahu langkah-langkah terencana yang akan ditempuh oleh penguasa negara terpilih, berupa aneka kebijakan kondisional demi membentuk masa depan bersama yang ideal. Berarti, alih-alih berkonsultasi kepada penujum, jauh lebih baik jika kita bertekad membuat sendiri masa depan bersama itu. Perbuatan ini bukan ingin meremehkan suratan takdir, tetapi menunjukkan kepada Yang Maha Kuasa bahwa kita, makhluk ciptaan-Nya, memang
Apabila kita bertekad membuat sendiri masa depan itu, kita dituntut mengetahui faktor-faktor yang membentuk masa depan tadi, guna dikombinasi agar bersinergi dalam membuahkan hasil (masa depan) yang ideal. Adapun faktor-faktor itu (i) kecenderungan; (ii) kejadian; (iii) kemauan dan intelegensi manusia.
Mengenai "kecenderungan", kita pernah lalai hingga dampak negatifnya terasa sampai sekarang di bidang ekonomi. Internasionalisasi digerakkan oleh pembelajaran ilmu pengetahuan dengan patut dan benar. Ia mengakibatkan
Jangankan masyarakat,
Padahal, pembelajaran ilmu pengetahuan dengan benar akan membiasakan sang pelajar menghayati nilai-nilai
Faktor "kejadian" ada yang disebabkan oleh alam dan yang dicetuskan oleh ulah manusia. Alam menimbulkan aneka musibah: gempa bumi, erupsi gunung berapi, angin badai, tsunami. Namun, ia juga mengingatkan kita bahwa bagian bumi yang kita huni adalah suatu
Kejadian karena ulah manusia meliputi banjir, penyusutan humus penyubur tanah, dan kerusakan ekosistem khas wilayah pesisir. Sejak Ferdinand Magellan menamakan samudra luas yang ditemuinya
Namun, ada kejadian ulah manusia yang mengukuhkan spirit kemerdekaan pemuda terpelajar kita. Kemenangan telak perang laut, Jepang dan Rusia di Selat Tsushima pada 1905, menyadarkan bahwa Asia sanggup mengalahkan Eropa, asalkan berpengetahuan yang sepadan. Pada 1908 sekumpulan mahasiswa kedokteran membentuk Boedi Oetomo yang bertujuan menggerakkan upaya pendidikan modern, disusul oleh
Kemauan merdeka itu ditindaklanjuti dengan intelegensi yang mumpuni. Indonesia menjadi satu-satunya negara yang sewaktu masih dijajah sudah berani mendirikan sistem pendidikan nasional, berhadapan dengan sistem pendidikan kolonial (Belanda) yang berlaku. Perbuatan itu dipelopori oleh Ki Hadjar Dewantara, Moh Syafei, dan Willem Iskandar. Semua "sekolah nasional" itu menyiapkan manusia Indonesia mewujudkan masa depan Tanah Air yang merdeka dan berdaulat.
Sudah tentu masih banyak lagi unsur dari setiap jenis faktor pembentuk masa depan yang harus kita kumpulkan. Tek- nologi dan peralatan informasi dan komunikasi supermodern memudahkan kita untuk mengumpulkan data yang diperlukan tersebut.
Menggambarkan perwujudan masa depan yang mau kita bangun penting sekali bagi pembangunan yang tepat-guna dari sistem pendidikan nasional sebab sektor pendidikan dan kebudayaan ini merupakan faktor sangat penentu bagi keberhasilan usaha mewujudkan masa depan. Karena itu, rencana pembangunan masa depan dikualifikasi sebagai suatu kebijakan yang didaktis-konstruktif dan ketidakadaannya merupakan suatu kekurangan intelektual-politis yang serius.
Negarawan di negara-negara maju rata-rata menganggap hanya ada satu
Manusia adalah makhluk pembuat nilai dan pemberi makna pada nilai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar