(Raja Ali Haji, 1847; penggalan Gurindam XII Pasal 11)
Kita selalu mengutuk komunisme sebagai hantu menakutkan yang anti kemanusia
Negara maju memperlakukan koruptor secara keras. Tidak ada ampun. Perancis jelas negara maju dengan peradaban yang melahirkan prinsip-prinsip
Kita bangga dengan negeri tercinta Indonesia yang Pancasilais, yang sarat dengan nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, keadilan. Namun, negeri ini malah lunak terhadap koruptor. Meskipun KPK terus bertindak, koruptor juga tak kapok-kapok. Benar-benar tidak terbayangkan ketika Adriansyah, politisi DPR dari PDI-P, dicokok dalam operasi tangkap tangan (OTT) KPK, bahkan bersamaan dengan Kongres IV PDI-P di Sanur, Bali, awal April 2015. Kalau saja bukan OTT, kemungkinan besar nada-nada pembelaan akan menyesakkan ruang telinga kita. Kemungkinan ada suara yang menyatakan PDI-P tengah dikerjai. Tak terbayangkan komentar Ketua Komisi III DPR Aziz Syamsuddin bahwa penangkapan itu tidak boleh digeneralisasi institusi DPR, tetapi hanya oknum. Memang benar, tetapi reaksi defensif dengan mereduksi "oknum" sesungguhnya warisan Orde Baru yang sudah usang.
Pemimpin politik bukan menjadi motor penggerak untuk membawa negeri ini bersih. Menyaksikan tingkah polah di DPR kerap membuat rakyat termangu-mangu. Pekan lalu, DPR heboh ketika terjadi pemukulan sesama anggotanya saat rapat kerja. Mulyadi, anggota Fraksi Partai Demokrat, akhirnya melaporkan ke polisi anggota F-PPP, Mustofa Assegaf, yang menjotosnya. Gara-garanya sangat sederhana karena saling sindir. Runyamnya, Wakil Ketua DPR Fadli Zon bilang bahwa hal itu biasa dan di negara lain juga terjadi. Masak perilaku tak terpuji yang dilakukan "anggota terhormat" di "ruang terhormat" dalam "acara terhormat" dianggap hal lazim? Pikiran sehat rasanya sulit mencerna tingkah polah politisi kita. Pantas saja KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur menyebut DPR seperti taman kanak-kanak.
Ketika politisi di Senayan tampaknya sepakat mencalonkan Komisaris Jenderal Budi Gunawan sebagai Wakil Kapolri, tak bisa dibayangkan apa yang ada di benak anggota DPR itu. Padahal, saat Presiden Joko Widodo membatalkan pencalonan Komjen BG sebagai Kapolri, tidak lagi karena kasus hukum, tetapi pencalonannya yang menimbulkan kontroversi di masyarakat. Inti persoalan adalah menyangkut rekening mencurigakan yang dimiliki pejabat, termasuk BG, wajarkah? Kalau mau jujur semestinya urusan rekening ini mesti diperjelas dulu agar tidak menjadi beban politik. Bagaimana pula peluang jenderal lain yang pantas mendampingi Komjen Badrodin Haiti yang Jumat (17/4) kemarin dilantik sebagai Kapolri (definitif)?
Setelah 17 tahun reformasi, negeri ini masih saja morat-marit, bahkan lama-lama malah membusuk. Mengikuti Samuel Huntington (
Tiba-tiba negeri ini terasa seperti pesawat Germanwings 9525 rute Barcelona-Dusseldorf yang ditengarai diterbangkan jatuh oleh "pemegang kuasa" di pesawat itu, kopilot Andreas Lubitz (27). Baling-baling penggerak negeri ini mulai melemah dan sayap-sayapnya mulai patah, sulit dikepakkan. Tiba-tiba pada Jumat siang, di sekitaran Tanah Kusir, Jakarta Selatan, melintas sebuah mobil boks yang di bagian belakangnya tertempel stiker bergambar mantan Presiden Soeharto dengan tulisan:
Lalu, saya teringat bait-bait puisi didaktik Raja Ali Haji (1808-1873), saat menziarahinya di tempat nan sunyi di Pulau Penyengat, Bintan, awal April lalu. Nasihat pujangga besar dan pahlawan nasional itu, seperti terpampang di awal tulisan ini, semestinya menjadi pegangan bagi para pemimpin saat ini. Jika tidak, haruskah bagian-bagian yang membusuk itu diamputasi?
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 18 April 2015, di halaman 2 dengan judul ""Piye Kabare"?".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar