Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 18 April 2015

Memberantas Perbudakan Nelayan (LA ODE M ASLAN)

Sorotan dunia internasional saat ini tertuju ke Indonesia akibat mencuatnya kasus perbudakan nelayan.

Kasus perbudakan yang terjadi di Benjina, Kepulauan Aru, Maluku, adalah kasus  yang dilakukan oleh pemilik kapal-kapal eks asing milik Thailand yang beroperasi di Indonesia. Perbudakan ini menghangat  setelah kantor berita Associated Press (AP)  menyiarkan hasil  investigasi selama satu tahun mengenai nasib ribuan nelayan  yang dipaksa menangkap  ikan oleh PT Pusaka Benjina Resources (PBR), perusahaan Thailand di Indonesia.

Para nelayan tidak hanya berasal dari Myanmar, tetapi juga dari Thailand, Laos, Kamboja, dan Indonesia. Berita perbudakan tersebut juga ditayangkan dalam bentuk laporan langsung di Channel 3 TV di Thailand tentang  para  korban  perbudakan nelayan Thailand yang berhasil melarikan diri dari Benjina (Bangkok Post, 28/3/2015).

Perbudakan tidak hanya terjadi di Benjina. Dari investigasi di kawasan sekitar Kepulauan Aru, ditemukan juga dugaan praktik perbudakan terhadap nelayan oleh pemilik kapal-kapal asing yang terjadi di Wanam, Kaimana Panambulai,  dan Avona.  Aktivitas perbudakan ini  terjadi di beberapa pelabuhan yang jarang dilalui kapal biasa dan kapal pengawas.  Nelayan   yang bekerja di Benjina  1.185 orang, sementara  berdasarkan data dari Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM),  ada sekitar 4.000 nelayan  yang bekerja sebagai budak di pulau-pulau sekitar Benjina.

Dua masalah utama

Munculnya berita heboh tentang praktik perbudakan ternyata memunculkan dua temuan pelanggaran lain yang sangat penting. Pertama, adanya praktik perikanan ilegal, tak tercatat, dan tidak teregulasi. Hal ini sering  terjadi pada kegiatan penangkapan ikan di wilayah atau pulau-pulau terpencil, seperti di Pulau Benjina dan pulau-pulau sekitarnya di Maluku. Praktik semacam ini tak mudah diberantas  karena proses perikanan ilegal dan pintu keluar-masuknya hasil produksi mereka adalah pelabuhan yang tidak diawasi dengan baik sesuai prosedur yang telah ditetapkan Kementerian Perhubungan.

Kedua, praktik suap dari pihak perusahaan kepada para petugas di lapangan. Harian Kompas (7/5/2015) melaporkan adanya oknum pengawas dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang memantau usaha perikanan PT PBR sering melakukan pungutan liar. Oknum pengawas perikanan mewajibkan tiap kapal yang mengajukan surat laik operasi (SLO) membayar Rp 250.000. Selain SLO, mereka juga mewajibkan setiap kapal ekspor membayar Rp 5 juta.

Praktik penyuapan kepada aparat Indonesia ini ternyata juga sudah dirilis lebih awal oleh Bangkok Post (26/3/2015) dalam berita berjudul "Captain will fish in Indonesia waters". Dalam berita itu, Khomsan-operator kapal penangkap ikan Thailand yang pernah beroperasi selama 10 tahun di Indonesia-mengaku memberikan suap kepada oknum Angkatan Laut atau oknum Polisi Laut RI yang dia sebut sebagai biaya konsesi agar kapal yang disita oleh aparat Indonesia dikembalikan. Besaran nilai suapnya 10 juta-20 juta baht (setara dengan Rp 4,0 miliar-Rp 8,0 miliar).

Ironisnya, praktik penyuapan ini sebenarnya sudah diketahui sejak lama oleh pihak KKP. CNN Indonesia (Selasa, 7/4/2015) merilis berita bahwa  Inspektur Jenderal  KKP Andha Fauzie Miraza  mengakui bahwa  praktik penyuapan di Benjina sudah lama berlangsung. Alasan adanya praktik ini oleh aparat lagi-lagi karena beban pekerjaan akibat jumlah petugas pengawas yang hanya dua orang dan masalah kesejahteraan, di mana adanya ketimpangan antara gaji (pendapatan) petugas yang rendah  dan pengeluaran sehari-hari yang tinggi.

Selain dua masalah di atas, hal lain yang juga memprihatinkan dalam menyikapi praktik perbudakan ini adalah kurangnya saling pemahaman tentang ada tidaknya praktik perbudakan di Benjina. Oknum pejabat kepolisian yang bertugas di lokasi perbudakan dengan tegas menyatakan bahwa praktik perbudakan tidak ada (Kompas.com, 30/3/2015). Padahal, kasus perbudakan ini sangat jelas terjadi. Pihak KKP pun  telah mengakui adanya perbudakan (Kompas, 6/4/2015). Pihak Polri perlu segera mengklarifikasi tentang kasus ini agar tidak menimbulkan multi-interpretasi di kalangan masyarakat.

Solusi  

Perbudakan merupakan kejahatan dan melanggar hak asasi manusia. Praktik perbudakan jelas  dapat merugikan kepentingan perekonomian nasional, khususnya di sektor perikanan.

Praktik ini menyebabkan persaingan tak sehat antarnegara, menghambat  akselerasi industrialisasi perikanan yang pada akhirnya berdampak pada turunnya target pendapatan dari ekspor  produk perikanan, yang pada 2014 nilai ekspor perikanan mencapai 4,6 miliar dollar AS.

Untuk memberantas  praktik perbudakan  agar tidak  terjadi lagi, ada delapan hal  yang perlu dilakukan.  Pertama, pemerintah perlu melakukan investigasi secara cepat, tepat, dan  menyeluruh  terhadap praktik perbudakan pada usaha  perikanan dengan melibatkan semua pihak terkait. Selain KKP, perlu dilibatkan juga pihak  Kejaksaan Agung, Polri, TNI, KPK, dan lembaga penegak hukum lain-termasuk Komnas HAM-dalam penanganan  kasus perikanan ilegal untuk mencari solusi pemberantasan kejahatan itu.  Terungkapnya dugaan perbudakan jadi awal bagi pemerintah untuk mengevaluasi usaha penangkapan dan pengolahan perikanan. Investigasi perlu diawali dengan penyamaan persepsi di antara pihak pemerintah, khususnya instansi terkait dalam konteks pemahaman "perbudakan" secara menyeluruh.

Kedua, Indonesia perlu mendeklarasikan "kebijakan tanpa toleransi pada perbudakan dan perikanan ilegal" dalam bentuk perundang-undangan  dan mengimplementasikannya secara langsung di seluruh Indonesia, khususnya di perairan yang rawan. Kebijakan tanpa toleransi pada perbudakan dan perikanan ilegal merupakan prinsip dasar yang harus dilakukan mengingat Indonesia merupakan negara yang paling rentan dan paling dirugikan apabila praktik perbudakan dan perikanan ilegal ini masih terus berlangsung.

Ketiga, sinergi dengan negara asing perlu dikembangkan, khususnya dengan negara-negara yang melakukan aktivitas penangkapan di Indonesia. Sinergi ini perlu difokuskan pada pencegahan dan pemberantasan perikanan ilegal. Di sisi lain, sinergi yang mendesak dengan negara-negara ASEAN perlu dikembangkan  untuk mendukung kesiapan Indonesia memasuki  Masyarakat Ekonomi ASEAN yang berlaku efektif  mulai 1 Januari 2016.

Keempat, kasus suap yang melibatkan aparat di Benjina dan di perairan lain di Indonesia  perlu diusut dan diberantas. Praktik penyuapan ini tidak hanya akan merusak kepercayaan investor perikanan, tetapi juga akan mencederai program Nawacita Joko Widodo-Jusuf Kalla. KPK perlu dilibatkan karena perikanan ilegal telah merugikan puluhan triliun setiap tahun. Kerja sama antar-instansi penegak hukum diperlukan agar oknum petugas dan pejabat yang terlibat dalam kasus penyuapan  ditindak tegas. Keberanian dan ketegasan dari kementerian terkait untuk menumpas praktik penyuapan sangat diperlukan.

 Kelima, monitoring serta evaluasi pengawasan dan kinerja para petugas pengawas di lapangan perlu dilakukan secara kontinu. Sudah saatnya dilakukan penambahan jumlah petugas pengawas di Kepulauan  Aru. Jumlah ideal petugas pengawas di setiap lokasi minimal 10 orang,  termasuk di Benjina.  Penambahan jumlah petugas harus dibarengi peningkatan kualitas,   khususnya  petugas yang mampu menghindari penyuapan. Di sisi lain, peningkatan jumlah dan kualitas petugas harus diikuti dengan peningkatan fasilitas pengamanan di lapangan. Hal ini sangat mendesak mengingat luas wilayah di Kepulauan Aru yang harus diawasi oleh para petugas.

Keenam, praktik penyuapan harus ditindak tegas dan secara simultan dibarengi tindakan pemerintah untuk menaikkan tunjangan dan kesejahteraan para petugas di lapangan. Tingginya risiko pekerjaan dan luasnya wilayah pengawasan di Kepulauan Aru menyebabkan mendesaknya kebutuhan untuk perbaikan taraf hidup para petugas pengawas. Oleh karena itu, besaran tunjangan perlu disesuaikan dengan luas wilayah yang diawasi dan risiko pekerjaan yang  dihadapi oleh setiap petugas.

Ketujuh, pemerintah sudah saatnya memberdayakan nelayan lokal secara bertahap dengan menargetkan 10 tahun ke depan semua aktivitas penangkapan di Indonesia menggunakan nelayan dan kapal tangkap asli Indonesia. Potensi perikanan Indonesia sudah saatnya digarap sendiri agar nelayan asing  tidak menjarah kekayaan bangsa. Di sisi lain,  dalam waktu singkat, pemerintah perlu segera merevisi Peraturan Menteri Nomor 30/PERMEN-KP/2013 tentang Usaha Perikanan Tangkap di Wilayah Kelautan Indonesia. KKP  perlu merevisi pasal yang mengizinkan kapal nelayan asing berukuran 1.000 GT membawa hasil tangkapannya langsung ke luar negeri. Revisi  ini sebagai bentuk  komitmen Indonesia seusai meratifikasi aturan Western and Central Pacific Fisheries Commissions.

Kedelapan, untuk mewujudkan poin ketujuh di atas, perlu  penyiapan sumber daya manusia (SDM) yang kompeten dengan mengembangkan SMK Kelautan di seluruh Indonesia, khususnya di bidang penangkapan ikan dan nautika. Kesiapan SDM ini mendesak dilakukan agar ke depan semua nelayan di Indonesia merupakan nelayan terdidik dan mampu bersaing dengan nelayan asing 10 tahun yang akan datang.

LA ODE M ASLANGURU BESAR DAN PENELITI DI BIDANG PERIKANAN DAN KELAUTAN DI UNIVERSITAS HALUOLEO, KENDARI

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 18 April 2015, di halaman 7 dengan judul "Memberantas Perbudakan Nelayan".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger