Kasus perbudakan yang terjadi di Benjina, Kepulauan Aru, Maluku, adalah kasus yang dilakukan oleh pemilik kapal-kapal eks asing milik Thailand yang beroperasi di Indonesia. Perbudakan ini menghangat setelah kantor berita Associated Press (AP) menyiarkan hasil investigasi selama satu tahun mengenai nasib ribuan nelayan yang dipaksa menangkap ikan oleh PT Pusaka Benjina Resources (PBR), perusahaan Thailand di Indonesia.
Para nelayan tidak hanya berasal dari Myanmar, tetapi juga dari Thailand, Laos, Kamboja, dan Indonesia. Berita perbudakan tersebut juga ditayangkan dalam bentuk laporan langsung di Channel 3 TV di Thailand tentang para korban perbudakan nelayan Thailand yang berhasil melarikan diri dari Benjina (
Perbudakan tidak hanya terjadi di Benjina. Dari investigasi di kawasan sekitar Kepulauan Aru, ditemukan juga dugaan praktik perbudakan terhadap nelayan oleh pemilik kapal-kapal asing yang terjadi di Wanam, Kaimana Panambulai, dan Avona. Aktivitas perbudakan ini terjadi di beberapa pelabuhan yang jarang dilalui kapal biasa dan kapal pengawas. Nelayan yang bekerja di Benjina 1.185 orang, sementara berdasarkan data dari Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM), ada sekitar 4.000 nelayan yang bekerja sebagai budak di pulau-pulau sekitar Benjina.
Dua masalah utama
Munculnya berita heboh tentang praktik perbudakan ternyata memunculkan dua temuan pelanggaran lain yang sangat penting. Pertama, adanya praktik perikanan ilegal, tak tercatat, dan tidak teregulasi. Hal ini sering terjadi pada kegiatan penangkapan ikan di wilayah atau pulau-pulau terpencil, seperti di Pulau Benjina dan pulau-pulau sekitarnya di Maluku. Praktik semacam ini tak mudah diberantas karena proses perikanan ilegal dan pintu keluar-masuknya hasil produksi mereka adalah pelabuhan yang tidak diawasi dengan baik sesuai prosedur yang telah ditetapkan Kementerian Perhubungan.
Kedua, praktik suap dari pihak perusahaan kepada para petugas di lapangan. Harian
Praktik penyuapan kepada aparat Indonesia ini ternyata juga sudah dirilis lebih awal oleh
Ironisnya, praktik penyuapan ini sebenarnya sudah diketahui sejak lama oleh pihak KKP. CNN Indonesia (Selasa, 7/4/2015) merilis berita bahwa Inspektur Jenderal KKP Andha Fauzie Miraza mengakui bahwa praktik penyuapan di Benjina sudah lama berlangsung. Alasan adanya praktik ini oleh aparat lagi-lagi karena beban pekerjaan akibat jumlah petugas pengawas yang hanya dua orang dan masalah kesejahteraan, di mana adanya ketimpangan antara gaji (pendapatan) petugas yang rendah dan pengeluaran sehari-hari yang tinggi.
Selain dua masalah di atas, hal lain yang juga memprihatinkan dalam menyikapi praktik perbudakan ini adalah kurangnya saling pemahaman tentang ada tidaknya praktik perbudakan di Benjina. Oknum pejabat kepolisian yang bertugas di lokasi perbudakan dengan tegas menyatakan bahwa praktik perbudakan tidak ada (Kompas.com, 30/3/2015). Padahal, kasus perbudakan ini sangat jelas terjadi. Pihak KKP pun telah mengakui adanya perbudakan (
Solusi
Perbudakan merupakan kejahatan dan melanggar hak asasi manusia. Praktik perbudakan jelas dapat merugikan kepentingan perekonomian nasional, khususnya di sektor perikanan.
Praktik ini menyebabkan persaingan tak sehat antarnegara, menghambat akselerasi industrialisasi perikanan yang pada akhirnya berdampak pada turunnya target pendapatan dari ekspor produk perikanan, yang pada 2014 nilai ekspor perikanan mencapai 4,6 miliar dollar AS.
Untuk memberantas praktik perbudakan agar tidak terjadi lagi, ada delapan hal yang perlu dilakukan. Pertama, pemerintah perlu melakukan investigasi secara cepat, tepat, dan menyeluruh terhadap praktik perbudakan pada usaha perikanan dengan melibatkan semua pihak terkait. Selain KKP, perlu dilibatkan juga pihak Kejaksaan Agung, Polri, TNI, KPK, dan lembaga penegak hukum lain-termasuk Komnas HAM-dalam penanganan kasus perikanan ilegal untuk mencari solusi pemberantasan kejahatan itu. Terungkapnya dugaan perbudakan jadi awal bagi pemerintah untuk mengevaluasi usaha penangkapan dan pengolahan perikanan. Investigasi perlu diawali dengan penyamaan persepsi di antara pihak pemerintah, khususnya instansi terkait dalam konteks pemahaman "perbudakan" secara menyeluruh.
Kedua, Indonesia perlu mendeklarasikan "kebijakan tanpa toleransi pada perbudakan dan perikanan ilegal" dalam bentuk perundang-undangan dan mengimplementasikannya secara langsung di seluruh Indonesia, khususnya di perairan yang rawan. Kebijakan tanpa toleransi pada perbudakan dan perikanan ilegal merupakan prinsip dasar yang harus dilakukan mengingat Indonesia merupakan negara yang paling rentan dan paling dirugikan apabila praktik perbudakan dan perikanan ilegal ini masih terus berlangsung.
Ketiga, sinergi dengan negara asing perlu dikembangkan, khususnya dengan negara-negara yang melakukan aktivitas penangkapan di Indonesia. Sinergi ini perlu difokuskan pada pencegahan dan pemberantasan perikanan ilegal. Di sisi lain, sinergi yang mendesak dengan negara-negara ASEAN perlu dikembangkan untuk mendukung kesiapan Indonesia memasuki Masyarakat Ekonomi ASEAN yang berlaku efektif mulai 1 Januari 2016.
Keempat, kasus suap yang melibatkan aparat di Benjina dan di perairan lain di Indonesia perlu diusut dan diberantas. Praktik penyuapan ini tidak hanya akan merusak kepercayaan investor perikanan, tetapi juga akan mencederai program Nawacita Joko Widodo-Jusuf Kalla. KPK perlu dilibatkan karena perikanan ilegal telah merugikan puluhan triliun setiap tahun. Kerja sama antar-instansi penegak hukum diperlukan agar oknum petugas dan pejabat yang terlibat dalam kasus penyuapan ditindak tegas. Keberanian dan ketegasan dari kementerian terkait untuk menumpas praktik penyuapan sangat diperlukan.
Kelima,
Keenam, praktik penyuapan harus ditindak tegas dan secara simultan dibarengi tindakan pemerintah untuk menaikkan tunjangan dan kesejahteraan para petugas di lapangan. Tingginya risiko pekerjaan dan luasnya wilayah pengawasan di Kepulauan Aru menyebabkan mendesaknya kebutuhan untuk perbaikan taraf hidup para petugas pengawas. Oleh karena itu, besaran tunjangan perlu disesuaikan dengan luas wilayah yang diawasi dan risiko pekerjaan yang dihadapi oleh setiap petugas.
Ketujuh, pemerintah sudah saatnya memberdayakan nelayan lokal secara bertahap dengan menargetkan 10 tahun ke depan semua aktivitas penangkapan di Indonesia menggunakan nelayan dan kapal tangkap asli Indonesia. Potensi perikanan Indonesia sudah saatnya digarap sendiri agar nelayan asing tidak menjarah kekayaan bangsa. Di sisi lain, dalam waktu singkat, pemerintah perlu segera merevisi Peraturan Menteri Nomor 30/PERMEN-KP/2013 tentang Usaha Perikanan Tangkap di Wilayah Kelautan Indonesia. KKP perlu merevisi pasal yang mengizinkan kapal nelayan asing berukuran 1.000 GT membawa hasil tangkapannya langsung ke luar negeri. Revisi ini sebagai bentuk komitmen Indonesia seusai meratifikasi aturan Western and Central Pacific Fisheries Commissions.
Kedelapan, untuk mewujudkan poin ketujuh di atas, perlu penyiapan sumber daya manusia (SDM) yang kompeten dengan mengembangkan SMK Kelautan di seluruh Indonesia, khususnya di bidang penangkapan ikan dan nautika. Kesiapan SDM ini mendesak dilakukan agar ke depan semua nelayan di Indonesia merupakan nelayan terdidik dan mampu bersaing dengan nelayan asing 10 tahun yang akan datang.
LA ODE M ASLANGURU BESAR DAN PENELITI DI BIDANG PERIKANAN DAN KELAUTAN DI UNIVERSITAS HALUOLEO, KENDARI
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 18 April 2015, di halaman 7 dengan judul "Memberantas Perbudakan Nelayan".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar