Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 20 Juli 2015

Dialog Ekonom dengan Presiden (A TONY PRASETIANTONO)

Belum lama ini (29/6), Presiden Jokowi mengundang 11 ekonom dalam sebuah "bincang-bincang santai" di Istana Merdeka. Ini istimewa karena para ekonom selama ini biasanya diundang diskusi oleh menteri keuangan dan gubernur Bank Indonesia, tidak sampai level presiden. Namun juga bisa dianggap biasa karena sebelumnya Presiden Jokowi juga sudah mengundang diskusi sejumlah pengamat hukum, politik, dan sosial.

Tujuan pertemuan itu adalah mengkritisi kondisi perekonomian saat ini, dan sebisa mungkin memberi masukan secara obyektif kepada Presiden. Niat Presiden mengundang dialog para ekonom disambut dengan antusias. Secara eksplisit dan spesifik tak dibahas soal perombakan kabinet. Namun, secara tersirat, memang ada.

Tulisan ini semacam ikhtisar tentang hal-hal yang saya sampaikan kepada Presiden. Karena terbatasnya waktu (dua jam dengan 11 narasumber), saya terutama hanya menjelaskan isu jangka pendek tentang pergerakan rupiah. Pertemuan hangat hanya dihadiri Presiden dan 11 ekonom dan dipandu Teten Masduki, Staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi. Menjelang pertemuan berakhir, Wakil Presiden Jusuf Kalla ikut bergabung.

Berbeda jauh dengan 1998

Salah satu isu paling krusial dewasa ini adalah pelemahan rupiah hingga Rp 13.300 per dollar AS. Sebagian orang mulai membandingkan situasi ini dengan kondisi krisis 1998, di mana rupiah terdampar di zona Rp 15.000 per dollar AS. Rupiah bahkan pernah mencapai Rp 17.000 per dollar AS tatkala Direktur Pelaksana IMF Michel Camdessus datang ke Jakarta dan memaksa Presiden Soeharto "bertekuk lutut" pada 15 Januari 1998. Hal ini ternyata direspons negatif, rupiah langsung jatuh ke Rp 17.000 per dollar AS. Namun, itu hanya terjadi dua hari. Pasar tampaknya merasa nilai rupiah terlalu murah sehingga kemudian terkoreksi menjadi Rp 15.000 per dollar AS.

Secara besaran, jarak antara kurs saat ini Rp 13.300 per dollar AS dan Rp 15.000 per dollar AS memang sudah dekat. Namun sesungguhnya situasinya sungguh berbeda. Ada jurang perbedaan kondisi obyektif yang menganga di antara keduanya. Pertama, kepercayaan masyarakat terhadap industri perbankan pada saat itu berada pada titik nadir. Akibat praktik perbankan yang sembrono (moral hazard), banyak bank menderita kredit macet sehingga bangkrut. Pemerintah menutup 16 bank pada 1 November 1997.

Niat ini baik, untuk menunjukkan sikap tegas kepada bank-bank yang berkinerja buruk. Namun dampaknya sungguh di luar dugaan. Terjadi penarikan dana besar-besaran pada November-Desember 1997 dan Januari 1998. Sebagian duit yang ditarik dipakai memborong dollar AS. Itulah sebabnya harga dollar AS menjadi mahal, atau sebaliknya rupiah hancur. Pemerintah terpaksa menanggulanginya dengan menjamin seluruh dana simpanan di bank 100 persen (blanket guarantee) pada 27 Januari 1998.

Kedua, atas desakan IMF, pemerintah menaikkan suku bunga deposito hingga 60 persen, bahkan 70 persen, agar masyarakat tetap mau "memegang" rupiah. Kebijakan ini ternyata malah menghancurkan bank-bank karena harus menanggung rugi besar. Suku bunga deposito 60 persen, padahal suku bunga kredit cuma 20-24 persen. Kejadian ini berlangsung setahun lebih sehingga semua bank rugi besar dan modalnya negatif. Untuk menyelamatkannya, diberikan talangan dan injeksi modal (rekapitalisasi) hingga Rp 650 triliun.

Ketiga, karena masyarakat banyak menarik dana dari bank secara tunai, Bank Indonesia (BI) terpaksa mencetak uang. Ditambah dengan depresiasi rupiah yang tajam, dari Rp 2.300 per dollar AS (Oktober 1997) menjadi Rp 15.000 per dollar AS (1998), menyulut inflasi 78 persen. Inilah inflasi terbesar kedua sesudah inflasi 600 persen (1965), ketika pemerintah juga banyak mencetak uang karena APBN-nya tidak sehat.

Keempat, IMF memperlakukan Indonesia dengan kurang baik. Dengan beban utang luar negeri 130 miliar dollar AS, Indonesia saat itu cuma punya cadangan devisa 20 miliar dollar AS. Sebagian utang tersebut jatuh tempo, terutama utang komersial oleh korporat swasta kita. Ironisnya, IMF cuma memberi talangan (bail out) 1 miliar dollar AS per bulan, dengan sejumlah persyaratan yang tertuang dalam letter of intent. Berarti, dalam setahun IMF cuma memberi 12 miliar dollar AS. Mana cukup? Ibarat dokter memberi obat, dosisnya terlalu rendah. Pasiennya bukannya sembuh, malah sakit. Bandingkan dengan krisis Meksiko 1982, IMF langsung menyuntikkan 40 miliar dollar AS. Atau, dalam krisis Yunani, dalam dua kali injeksi sejak 2010, Yunani diberi talangan 240 miliar euro. Pada 13 Juli 2015, Yunani akhirnya mendapat lagi tambahan injeksi 50 miliar euro. Jadi, dalam lima tahun ini, Yunani menerima total 290 miliar euro! Jadi, sesungguhnya, betapa beruntungnya Yunani, sementara itu betapa kurang beruntungnya Indonesia pada krisis 1998.

Kelima, pada sisi politik, kepercayaan masyarakat terhadap Presiden Soeharto sudah nihil. Mereka ingin ganti presiden. Ekspresi ketidakpercayaan terhadap pemerintah adalah dengan memborong dollar AS, untuk sekadar disimpan di dalam negeri atau dilarikan ke luar negeri. Lengkaplah sudah penderitaan rupiah.

Bagaimana kondisi Indonesia saat ini? Industri perbankan memang mengalami penurunan kinerja yang signifikan, tetapi masih membukukan laba. Modal bank masih positif, yang ditunjukkan dengan rata-rata rasio kecukupan modal (CAR) 20 persen, jauh melampaui batas sehat 12 persen. Tahun 1998, modal bank negatif besar, CAR juga negatif besar. Bank Mandiri saja perlu injeksi modal Rp 175 triliun agar bisa beroperasi lagi secara sehat. BNI dan BCA masing-masing direkapitalisasi Rp 60 triliun, BRI Rp 30 triliun. Sebagai perbandingan, ongkos penyelamatan Bank Century Rp 6,7 triliun (2008-2009), dan kemudian berkembang jadi Rp 8 triliun.

Perbedaan mencolok juga terjadi pada suku bunga bank. Suku bunga deposito 1998 sebesar 60-70 persen, kini maksimal hanya 9,25 persen. Suku bunga tinggi 1998 merefleksikan kegentingan kurs rupiah yang harus dibantu melalui operasi suku bunga supertinggi agar tidak terperosok lebih dalam. Laju inflasi juga amat berbeda. Tahun 1998 mencapai 78 persen, tahun ini diperkirakan rendah, 4-5 persen saja. Tetapi inflasi selama 12 bulan terakhir (year on year) masih 7,15 persen.

Cadangan devisa saat ini 108 miliar dollar AS, jauh melebihi 20 miliar dollar AS pada 1998. Utang luar negeri (pemerintah dan swasta) saat ini hampir 300 miliar dollar AS dibandingkan dengan 130 miliar dollar AS pada 1998. Jika dibuat rasio utang luar negeri terhadap cadangan devisa, kondisi saat ini jauh lebih baik (6 berbanding 3).

Perlu sentimen positif

Namun, saya tidak bermaksud sekadar menyenangkan Presiden Jokowi. Saya juga ungkapkan, dibandingkan dengan krisis 2008-2009, ada satu hal yang lebih buruk terjadi saat ini, yakni harga komoditas. Pada krisis 2009, kita justru mendapatkan keuntungan dari tingginya harga minyak (pernah mencapai 147 dollar AS per barrel), yang kemudian menular ke harga komoditas lain, yang kebetulan menjadi andalan ekspor Indonesia, yakni kelapa sawit (pernah 1.400 dollar AS per ton, kini tinggal 600 dollar AS), batubara, timah, karet, dan seterusnya.

Ketika terjadi boom komoditas primer, ekspor kita pernah surplus 40 miliar dollar AS setahun. Namun, dalam tiga tahun terakhir, kita menderita defisit neraca perdagangan. Akhir-akhir ini memang terjadi surplus lagi, tetapi itu justru disebabkan melemahnya impor, terutama impor barang modal yang berat menanggung depresiasi rupiah (dari Rp 8.600 per dollar AS Juli-Agustus 2011 menjadi Rp 13.300 per dollar AS saat ini). Ini bukan kabar baik karena impor barang modal diperlukan untuk kebutuhan pabrik yang produktif dan menciptakan lapangan kerja.

Selanjutnya saya juga ungkapkan bahwa menurut perhitungan real effective exchange rate (REER), sebenarnya kurs rupiah berpotensi mencapai Rp 12.500 per dollar AS. Ini kurs yang dianggap tepat, par value, atau berdasarkan kalkulasi obyektif kondisi fundamental ekonomi. Berarti, jika rupiah masih di Rp 13.000-an per dollar AS, ada sesuatu yang salah. Ekonom biasanya mengidentifikasikan sebagai terjadi sentimen negatif yang membebaninya. Dari mana sentimen ini berasal?

Karena Presiden tampak mau menerima kritik sepahit apa pun, saya pun terang-terangan menyebutkan dua hal. Pertama, kepercayaan kepada pemerintahan Jokowi melemah, terutama setelah 90 hari dirongrong wibawanya oleh kasus rivalitas KPK versus Polri. Tiba-tiba masyarakat dienyakkan oleh kenyataan pahit, bahwa pemerintah ternyata tidak bisa melindungi KPK dari "serangan" Polri. Ini menjadi sinyal buruk bagi pasar. Upaya pemberantasan korupsi menghadapi tantangan terjal. Akibatnya, pasar bereaksi negatif. Agak mirip dengan kasus 1998, ekspresinya adalah dengan pelemahan rupiah. Saya berani pastikan, rupiah menjadi "terlalu murah" (undervalued) Rp 800 per dollar AS disumbang faktor ini.

Kedua, Kabinet Kerja semula tampak menjanjikan. Para menteri seperti terinspirasi bosnya untuk bekerja keras, lengkap dengan baju putih. Ini bagus. Menteri-menteri ekonomi berani memasang target tinggi demi mencapai kemandirian ekonomi, sebagaimana amanat Nawacita dan Trisakti. Penerimaan pajak ditargetkan tumbuh 30 persen tahun ini. Ekspor digenjot sehingga tumbuh 300 persen dalam lima tahun. Swasembada pangan dilakukan dalam tiga tahun. Swasembada garam yang kelihatannya remeh-temeh ditargetkan secepatnya. Tetapi masyarakat pun mulai kritis, apakah target-target itu realistis atau cuma angin surga? Apalagi dalam situasi sekarang, perekonomian sedang melemah. Target tinggi itu menjadi sangat tidak realistis. Jika demikian, kredibilitas dan kompetensi kabinet mulai diragukan. Ujung-ujungnya, pemilik dana pun mulai memilih mengoleksi dollar AS daripada memegang rupiah. Terlebih lagi, perekonomian AS tampak sedang membaik, sementara pesaingnya, zona euro, sedang kesulitan besar.

Yang mengesankan adalah Presiden Jokowi tidak menampik kritik dan masukan ini. Beliau menyadari tim ekonominya memang memerlukan ekonom kaliber "bintang" yang bisa dipercaya dan punya kemampuan untuk meyakinkan dan memengaruhi pasar. "Kalau saya menemukan sosok ekonom tersebut, hari ini pula saya akan melantiknya," kata Presiden yang duduk persis di depan saya. Secara eksplisit, Presiden juga kembali menyampaikan kemarahannya soal masa tunggu kontainer (dwelling time) di Pelabuhan Tanjung Priok yang masih tinggi, di atas 5 hari. Negara tetangga cuma 4 hari, Singapura malah 1,5 hari. Dengan tegas beliau akan memberhentikan sejumlah pejabat yang terkait.

Akhirnya, pertemuan 11 ekonom dengan Presiden memang tidak sampai eksplisit membahas perombakan kabinet, apalagi menyebut nama. Namun, kami menangkap hal yang tersirat bahwa itu sesungguhnya adalah sebuah kebutuhan, yang terkait dengan kinerja, kompetensi, dan juga harus diakui ada menteri yang "salah letak". Namun, apakah reshufflekabinet benar-benar akan dilaksanakan, kita tidak tahu. Para ekonom yang hadir juga cukup tahu diri untuk tidak menanyakan langsung kepada Presiden, yang sudah dengan amat baik menyambut kami di Istana.

A TONY PRASETIANTONO KEPALA PUSAT STUDI EKONOMI DAN KEBIJAKAN PUBLIK UGM

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 20 Juli 2015, di halaman 6 dengan judul "Dialog Ekonom dengan Presiden".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger