Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 20 Juli 2015

Dilema Perombakan Kabinet (M ALFAN ALFIAN)

Wacana perombakan kabinet bergulir lagi setelah lebih dari satu semester pemerintahan Presiden Joko Widodo. Menyimak berbagai pemberitaan, ia menjadi rencana mendesak.

Mengapa selalu ada perombakan dalam kabinet koalisi presidensial? Sejauh mana kekuatan presidensial efektif pasca perombakan kabinet? Perombakan sesungguhnya tak mencerminkan keberhasilan, tetapi bentuk koreksi atas kurang progresifnya kabinet dalam merespons tantangan.

Ada dua penjelasan mengapa perombakan selalu berulang. Keduanya merupakan kutub yang berbeda. Kutub penjelasan pertama terkait dengan derajat kompetensi dan integritas anggota kabinet. Ini semata-mata penilaian kinerja. Asumsinya apabila derajat kompetensi dan integritas rendah, kualitas kinerja menteri juga rendah. Mereka tidak mampu menerjemahkan visi presiden ke dalam kinerjanya di kesempitan waktu sekaligus lemah integritas. Hal terakhir ini dapat dikaitkan dengan fokus mereka yang lebih tertuju ke kepentingan lain selain ke presiden.

Dalam hal ini, kabinet dilihat secara obyektif kinerjanya. Penilaian dilakukan ke setiap menteri apakah bisa bekerja dengan baik dan sinergis dengan presiden. Satu hal yang sering dilewatkan bila secara umum indikator penting di berbagai bidang—terutama ekonomi—anjlok, maka menterilah yang jadi sasaran, bukan presiden. Presiden sebagai pemimpin di atas semua menteri, seperti selalu tetap can't do no wrong. Karena itu, perombakan kabinet dikesankan sebagai semata-mata masalah menteri, bukan masalah presiden. Padahal, sesungguhnya presiden pun menyumbangkan andil karena memilih mereka.

Yang kedua, kutub konstelasi politik. Ini terkait semata-mata oleh keharusan presiden merespons perkembangan politik makro sebagai dampak dinamika partai politik. Kabinet presidensial punya karakter berbeda dengan kabinet parlementer. Koalisi presidensial jauh lebih cair ketimbang bercorak parlementer. Konsep dan praktik oposisi politiknya tak sejelas sistem parlementer. Dalam sistem kuasiparlementer atau semipresidensial, partai biasa menyatakan posisinya di luar pemerintahan, tetapi tidak dalam konteks oposisi. Dalam banyak kebijakan, mereka yang di luar itu tak jarang justru mendukung penuh pemerintah.

Kaburnya oposisi

Dalam praktik pemerintahan Presiden Jokowi dewasa ini, karakter koalisi presidensial itu semakin terpotret tanpa oposisi yang jelas. Memang pada mulanya partai yang bergabung dalam Koalisi Merah Putih (KMP) aktif berperan sebagai oposisi. Dalam perkembangannya nyaris tak ada progresivitas fungsi oposisi lagi setelah konstelasi politik parlemen terbentuk. Secara jumlah, terutama psikologis, KMP berkuasa di parlemen, tetapi tak otomatis menutup sama sekali ruang dan peluang pemerintah bernegosiasi dan berkompromi.

Dalam berbagai aspek dinamika politik pemerintahan, KMP justru mendukung rencana pemerintah. Dalam kasus kehebohan Budi Gunawan sebagai calon Kapolri dan dinamikanya, partai pendukung utama pemerintah (PDI-P) justru banyak menunjukkan sikap mirip oposisi. Kasus di mana partai propemerintah yang bersikap layaknya oposisi semacam ini juga pernah kita jumpai dalam pemerintahan sebelum Jokowi. Anomali politik semacam ini tentu tak akan terjadi dalam dinamika politik sistem parlementer.

Kaburnya oposisi politik formal dalam sistem pemerintahan presidensial memberi peluang sekaligus tantangan bagi presiden dalam mengelola pemerintahan. Yang mendasar, tentu terkait konsistensi, bahwa dengan tak adanya oposisi yang jelas, ancaman instabilitas politik bisa muncul dari mana-mana. Presiden pun bisa banyak memperoleh ancaman dari dalam koalisinya sendiri. Pola konflik dan konsensus bisa sangat pragmatis, yakni dengan ukuran proporsi wakil partai di kabinet. Perubahan konstelasi dan skala ancaman justru bisa membesar dari dalam manakala perombakan kabinet terjadi.

Di sisi lain, publik juga sering menyimpan pertanyaan, mengapa partai bahkan yang di luar koalisi pendukung pemerintah selalu terkesan bisa diikutkan dalam kabinet? Mengapa kabinet selalu jadi daya tarik bagi partai? Salah satu versi jawabannya adalah mengemukanya kepentingan partai memperkuat infrastruktur dan jaringan kepolitikannya. Bagaimanapun menteri partai berpeluang untuk tak saja melakukan aktivitas ulang alik pusat- daerah yang notabene selaras dengan konsolidasi. Secara sederhana itu bermakna investasi suara pada pemilu selanjutnya. Penjelasan lain terkait dengan konteks pengaruh. Partai yang punya menteri di kabinet berarti punya saluran pengaruh di pemerintahan. Implikasinya, partai punya peluang mendistribusikan kader di ranah kekuasaan.

Dilema presiden

Presiden akan selalu menghadapi dilema dalam menyeimbangkan dua kutub di atas. Satu sisi ia dihadapkan pada kuat lemahnya sumber daya manusia para menteri. Sisi lainnya, ia diharuskan mampu mengelola keseimbangan politik akibat begitu banyak partai. Ini dilema lazim dalam praktik kuasiparlementer atau semipresidensial. Dalam sistem demikian, presiden secara legal konstitusional sesungguhnya sangat kuat posisinya karena adanya ragam wewenang sekaligus ragam proteksi terhadap kekuasaannya. Karena sistem bersifat multipartai, presiden mudah jatuh pada sikap dan pilihan politik yang justru mencerminkan tidak percaya diri.

Akibatnya, presiden mudah jatuh ke dalam kompromi bagi-bagi kekuasaan dengan partai dan entitas pendukungnya secara kurang berkualitas. Partai tak selalu menyodorkan kadernya yang mumpuni kepada presiden dalam penyusunan atau perombakan kabinet dan pengisian jabat- an strategis lainnya. Belajar dari pengalaman selama ini, partai sering menyodorkan kader yang bukan kelas wahid dalam kompetensi. Maka, wajar manakala kabinet tak meyakinkan performanya sebagai idealzaken kabinet sejak awal.

Maka, ibarat memilih ban ketika menyusun kabinet, kini presiden seperti tukang tambal ban dalam perombakannya. Kalau demikian, orientasinya ialah fungsi. Apakah ban yang bocor kemudian ditambal sana-sini itu akan lebih kuat dan fungsional ketimbang ketika masih baru atau tidak, itulah masalahnya. Ini artinya, setiap pasca perombakan kabinet selalu menyeruak harapan fungsi kabinet akan lebih baik, kuat, dan tangkas menghadapi jalan bergelombang, penuh lubang, dan berduri. Maka, logikanya arah perombakan harusnya menuju ke jalan yang mendekati zaken kabinet.

Sebagai pemimpin yang paling bertanggung jawab, presiden pada praktiknya banyak dihadapkan pada pilihan gaya kepemimpinan situasional. Satu sisi ia harus tetap bisa bergaya transformasional justru di tengah tekan- an politik yang menghendakinya bergayatransaksional. Pada saat ini akan sangat berbahaya manakala presiden bergaya autopilot atau gaya penunggang kuda yang melepaskan kedua tali kendalinya. Dalam gaya ini sesungguhnya pemimpin tak sepenuhnya membiarkan bawahan atau anak buahnya berjalan tanpa kontrol, tetapi karena ia merasa telah menetapkan tujuan dan parameter, maka menyerahkan anak buahnya bertindak bebas, tanpa kontrol lebih lanjut.

Presiden Jokowi dihadapkan pada ragam anak buah yangtak bisa begitu saja dibiarkan berjalan tanpa kontrol dan petunjuk. Kabinet akan efektif apabila ia mampu tak saja mengontrol, tetapi jadi jantung koordinasi yang produktif. Itu berarti ia harus memimpin kabinetnya sendiri.

M ALFAN ALFIAN DOSEN PASCASARJANA ILMU POLITIK UNIVERSITAS NASIONAL, JAKARTA

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 20 Juli 2015, di halaman 7 dengan judul "Dilema Perombakan Kabinet".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger