Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 20 Juli 2015

Amal Usaha Politik Muhammadiyah (ZULY QODIR)

"Muhammadiyah tidak melarang kader-kadernya untuk berpolitik praktis atau politik kepartaian.... Muhammadiyah hanya membatasi kadernya yang menjadi pengurus harian tidak rangkap jabatan dalam partai politik."

(Din Syamsuddin, 2014)

Muhammadiyah akan melaksanakan Muktamar Ke-47 pada 3-7 Agustus 2015 di Makassar, Sulawesi Selatan. Muktamar ini memiliki momentum politik dan kultural yang kuat.

Secara politik, Muhammadiyah merupakan ormas Islam terbesar di Indonesia yang tak terlibat secara resmi dalam perhelatan politik kepartaian. Sementara secara kultural, Muhammadiyah telah mendedikasikan sebagai gerakan pencerahan dan pembaruan dengan pelbagai amal usaha yang dilakukan.

Memiliki dan dimiliki

Pernyataan ketua umum PP Muhammadiyah yang dikutip diawal tulisan ini secara tegas memberikan kebebasan pada kader Muhammadiyah untuk terlibat aktif dalam politik praktis atau politik kepartaian. Namun, sering kali pernyataan di atas banyak disalahpahami sehingga seakan-akan Muhammadiyah melarang kadernya berpolitik, sehingga ada banyak kader Muhammadiyah yang ketakutan untuk terlibat dalam politik praktis. Bahkan beberapa amal usaha Muhammadiyah secara tegas kemudian membuat surat edaran atau surat keputusan tentang larangan warganya terlibat di politik praktis jika tetap berada di amal usaha Muhammadiyah.

Sekarang Muhammadiyah telah "keluar dari politik praktis", yakni mendirikan partai politik atau menjadi bagian resmi partai politik. Tetapi, perubahan struktur sosial politik Indonesia terus berubah dan semakin membutuhkan kontribusi dari ormas Islam, seperti Muhammadiyah. Terutama ketika kondisi bangsa sedang karut-marut karena persoalan ketidakadilan, kemiskinan, kebodohan, serta korupsi yang menggila.

Belum lagi persoalan politik berbiaya tinggi dalam pemilu legislatif, pemilu presiden, ataupun pilkada. Pertanyaannya, apakah Muhammadiyah akan berdiam diri melihat kondisi semacam itu? Tentu Muhammadiyah tidak sepatutnya berdiam diri melihat bangsa ini kocar-kacir akibat berbagai persoalan yang terus menghadang di depan hidungnya.

Memerhatikan kondisi sosial politik yang terus berubah semacam itu, Muhammadiyah harus berkontribusi konkret dalam dunia politik praktis. Politik praktis tidak bisa hanya ditunggu untuk kemudian dihadiahkan kepada Muhammadiyah atau Muhammadiyah meminta hadiah kepada para pemegang kursi kekuasaan karena telah memenangi pertarungan dalam berbagai pemilu. Muhammadiyah dalam berpolitik praktis "harus berkeringat" atau turut berkorban atau dalam bahasa Jawa sering dikatakanjer basuki mawa bea. Segala sesuatu harus ada ongkos atau usaha, tak asal menunggu pemberian/hadiah.

Oleh sebab itu, Muhammadiyah memasuki abad keduanya ini, hemat saya, harus memikirkan secara serius bahwa amal usaha politik praktis merupakan amal usaha yang sama mulianya dengan amal usaha pendidikan, pendirian rumah sakit, pendirian panti asuhan yatim piatu serta pendirian usaha ekonomi. Amal usaha politik agaknya memang harus benar-benar dipikirkan agar Muhammadiyah menjadi bagian dari "politik praktis Indonesia". Oleh karena itu, Muhammadiyah harus memikirkan agar "memiliki atau dimiliki" oleh partai politik di negeri ini.

Untuk menuju pada amal usaha politik Muhammadiyah, hal ini bisa dilakukan melalui sidang- sidang atau diskusi-diskusi serius menjelang muktamar di Makassar, kemudian dimatangkan dalam sidang-sidang komisi, sidang tanwir dan kemudian di tanfidz sebagai keputusan muktamar Muhammadiyah di Makassar bahwa amal usaha politik merupakan amal usaha Muhammadiyah. Jika hal ini berhasil, maka ini sekaligus menepis anggapan salah paham yang selama ini berkembang bahwa Muhammadiyah melarang kader-kadernya untuk berpolitik praktis atau berpolitik kepartaian.

Reorientasi gerakan politik

Dalam pernyataan pemikiran Muktamar Satu Abad Muhammadiyah tahun 2010 di Yogyakarta, dikatakan bahwa Muhammadiyah sebagai gerakan keislaman yang berkemajuan, berkeadaban, dan berkeadilan bagi kehidupan warga persyarikatan, umat, bangsa, dan kemanusiaan universal. Berdasarkan pada pernyataan pemikiran tersebut, secara implisit ataupun eksplisit memberikan kerangka pemikiran dan arah kerja Muhammadiyah yang ditujukan untuk kemajuan bangsa, negara, dan kemanusiaan tanpa pandang derajat, kelas sosial, suku, agama, dan etnis tertentu.

Kehendak untuk berkemajuan dalam berbangsa dan bernegara, termasuk berkemajuan dalam pemikiran keislaman, adalah untuk menjadikan Islam Indonesia yang mampu menjadi pengayom, penyelamat, serta menghargai umat lain sebagai bagian dari dakwah Islam amar ma'ruf nahi munkar yang berlandaskan Islamrahmatan lil 'alamin.

Kehendak tersebut sebenarnya telah dituangkan pula secara tegas dalam pernyataan pemikiran tersebut bahwa Muhammadiyah merupakan ormas Islam yang bersifat moderat (tawasuth), bukan ekstrem kanan atau ekstrem kiri, serta menjadikan NKRI sebagai negara yang telah selesai sebagai hasil konsensus nasional yang telah final. Oleh sebab itu, Muhammadiyah secara resmi telah menjadikan NKRI sebagai negara yang final, bukan bentuk negara yang lain.

Berkaitan dengan hal itu, maka yang perlu diperhatikan dan dikerjakan Muhammadiyah untuk 5-10 tahun mendatang, bahkan mungkin pula seterusnya, adalah terus mendorong dan menjadikan Islam Indonesia sebagai kekuatan memakmurkan negeri, memerdekakan, serta membuat keadilan tanpa adanya diskriminasi oleh kelompok-kelompok kecil yang sering kali "membajak Islam" dengan pandangan bahwa Indonesia tidak sesuai dengan Islam serta bertentangan dengan jumlah mayoritas umat Islam yang menjadi penghuni republik ini dengan dasar Pancasila.

Memasuki abad keduanya, Muhammadiyah-bersama ormas Islam lainnya-harus benar- benar didorong sebagai ormas Islam yang mainstream di Indonesia terus mencita-citakan adanya Indonesia yang berdasarkan Pancasila dengan seluruh pengamalan nilai-nilai Pancasila yang sudah sangat sesuai dengan nilai-nilai Islam yang universal.

Jika Muhammadiyah mampu mendorong kehidupan berbangsa dan bernegara yang berkeadilan, berkeadaban, serta berkemajuan dalam pemikiran politik, maka Muhammadiyah ke depan akan benar-benar menjadi salah satu kampiun dalam menjaga keutuhan NKRI dan Pancasila sebagai basis filosofis berbangsa dan bernegara. Hal ini pula telah sesuai dengan pernyataan pemikiran Muhammadiyah pada abad keduanya, yakni membangun  Indonesian Islam, serta Islamic Society, bukan Islamic State atau pun Religious State sebagaimana dicita-cita oleh sebagian kecil ormas Islam di Indonesia.

Di luar itu, sekalipun tidak menjadi partai politik, Muhammadiyah tetap harus memikirkan dan mengupayakan agar Muhammadiyah "menjadi bagian dari politik praktis". Atau menjadi bagian dari partai politik sehingga Muhammadiyah akan benar-benar mampu memberikan kontribusi pada negara ini, baik kadernya di parlemen, di birokrasi maupun di posisi strategis lainnya. Inilah yang saya maksud dengan "amal usaha politik" Muhammadiyah yang sangat mulia itu sebagaimana amal usaha lainnya.

ZULY QODIR

Sosiolog UMY dan Peneliti Senior Maarif Institute Jakarta.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 20 Juli 2015, di halaman 7 dengan judul "Amal Usaha Politik Muhammadiyah".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger