Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 20 Juli 2015

Mahkamah Konstitusi Tak Progresif (AGUS RIEWANTO)

Mahkamah Konstitusi mengejutkan publik karena membatalkan ketentuan Pasal 7 Huruf r UU No 8 Tahun 2015 tentang Pilkada beserta penjelasannya yang mengatur larangan konflik kepentingan dengan petahana.

Dengan demikian, anggota keluarga, kerabat, dan kelompok yang dekat dengan petahana dapat mengikuti pilkada serentak tanpa harus jeda lima tahun atau satu periode (Kompas, 9/7/2015). Pembatalan Pasal 7 Huruf r ini dilakukan MK karena bertentangan dengan Pasal 28 J Ayat (2) UUD 1945 yang melarang praktik diskriminasi pada semua orang dalam bentuk apa pun dan Pasal 3 Ayat (3) UU No 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia yang juga memerintahkan agar negara melindungi seseorang dari perlakuan diskriminatif.

Pembatasan kerabat petahana dalam pilkada menurut MK merupakan bentuk perlakuan diskriminatif, seharusnya pembatasan ditujukan kepada kepala daerah petahana, bukan kepada kerabatnya, karena yang memetik keuntungan dari pembatasan ini adalah petahana.

Sesungguhnya putusan MK ini tak progresif dalam menafsirkan ketentuan Pasal 7 Huruf r UU No 8/2015 karena yang meraih keuntungan dalam pembatasan kerabat petahana dalam pilkada bukan petahana, melainkan juga para kerabat petahana. Artinya, pemetik keuntungan dari pengaturan ini adalah kedua belah pihak (resiprokal). Itulah sebabnya pembuat UU ini memberi penjelasan, kerabat petahana boleh mencalonkan diri dalam pilkada serentak sepanjang telah melewati jeda satu periode masa jabatan kepala daerah. Ketentuan demikian dimaksudkan agar kedua belah pihak tidak dapat memetik keuntungan dalam pilkada saat petahana menjabat kepala daerah dan kerabatnya menjadi salah satu calonnya.

Dengan demikian, petahana tak dapat memanfaatkan kekuasaannya untuk menyokong kerabatnya dalam pilkada melalui kebijakan politis daerah, berupa pemanfaatan dana publik APBD ataupun mobilisasi aparat birokrasi daerah untuk menyokong jalan kerabatnya menang dalam pilkada. Begitu pula kerabat petahana tak lagi memiliki kepentingan dengan kepala daerah saat pencalonan dalam pilkada setelah jeda satu periode masa jabatan petahana kepala daerah.

Berpihak kepada publik

Seharusnya putusan MK lebih progresif dengan memihak pada kepentingan publik dan masa demokratisasi di Indonesia. Publik selama ini menolak politik kekerabatan dalam kompetisi meraih jabatan politik karena merupakan racun demokrasi yang membuat peta kekuasaan tidak bergulir kepada semua orang, tetapi hanya berputar di ring elite politik dan keluarga besar petahana. Data Kementerian Dalam Negeri menunjukkan, sejak pilkada langsung dihelat tahun 2005-2014, setidaknya ada 59 kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih yang memiliki ikatan darah.

Negeri ini yang masih berusia muda dalam mengayuh jalan demokratisasi sangat perlu regenerasi kepemimpinan politik alternatif, kompeten, berintegritas, dan teruji kapasitasnya melalui intensitas yang panjang keterlibatannya dengan denyut nadi dan dinamika kehidupan sosial-politik di level lokal dan nasional. Pemimpin politik alternatif model ini hanya didapat melalui kompetisi sehat, adil, dan demokratis dengan memberikan peluang dan kesempatan yang sama kepada putra-putri terbaik bangsa.

Sebaliknya, dengan politik kekerabatan akan berpotensi melahirkan politik diskriminatif karena para kerabat petahana telah memiliki keistimewaan politis sebelum bertanding dalam pilkada, selain ditopang kekuasaan sang petahana kepala daerah, mereka juga memetik keuntungan popularitas petahana sebagai modal sosial yang paling kuat untuk menang dalam pilkada.

Itulah sebabnya jauh hari John Rawls (1971) dalam Theory of Justicememperkenalkan  filosofi keadilan dengan konsep fairness yang mengandung asas, bahwa orang-orang merdeka dan rasional yang berkehendak untuk     mengembangkan kepentingannya mestinya  memperoleh suatu posisi yang sama pada saat akan memulai dalam sebuah kompetisi. Bahkan Rawls juga menegaskan, keadilan dalam hukum haruslah berpihak kepada "yang lemah", bukan kepada yang kuat.

Yang lemah dan pantas dilindungi melalui pembatasan pengaturan kerabat petahana ini adalah publik yang sejak lama menginginkan negeri ini bebas dari politik kekerabatan. Karena politik kekerabatan secara sistematis dan struktural akan memotong jalan kesempatan orang biasa tanpa ikatan darah dengan petahana dalam kompetisi meraih jabatan politik.

MK koreksi SE KPU

Jika merujuk pada tafsir hukum progresif ala Satjipto Rahardjo (2001) yang  mengutamakan pemaknaan teks hukum lebih sensitif pada aspirasi, keinginan dan kebutuhan publik untuk mencegah politik dinasti dalam pilkada, maka seharusnya putusan MK menolak gugatan terhadap ketentuan Pasal 7 Huruf r UU No 8/2015. Bahkan, seharusnya MK menafsirkan makna petahana "bukan mereka yang sedang menjabat", seperti dalam SE KPU Nomor 302/VI/ KPU/2015 yang berisi penjabaran Peraturan KPU Nomor 9 Tahun 2015 yang memicu kontroversi. Di mana KPU telah keliru menafsirkan petahana, yaitu kepala daerah yang tidak lagi berstatus sebagai petahana saat dia mengajukan pengunduran diri dari jabatannya, melainkan petahana seharusnya adalah "orang terakhir yang menduduki jabatan kepala daerah". 

Petahana dalam model tafsir hukum progresif ini adalah siapa pun kepala daerahnya , sepanjang ia menjabat yang terakhir  di daerah itu, sekalipun mengajukan pengunduran diri dari jabatan kepala daerah di tengah jalan, maka ia tetap disebut petahana. Dengan begitu, mundur dan tidak mundurnya seorang kepala daerah dari jabatannya tetaplah disebut petahana. Maka, dalam model tafsir hukum progresif ini, posisi petahana telah dikunci untuk tidak memberikan kesempatan kerabatnya maju dalam pencalonan kepala daerah.

AGUS RIEWANTO DOKTOR ILMU HUKUM; DOSEN FAKULTAS HUKUM DAN PROGRAM PASCASARJANA ILMU HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 20 Juli 2015, di halaman 6 dengan judul "Mahkamah Konstitusi Tak Progresif".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger