Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 23 Juli 2015

Formalisme Hukum dan Rasa Keadilan (HARYATMOKO)

Proses hukum bukan hanya berfungsi memberi keadilan kepada mereka yang dirugikan. Proses hukum juga merupakan upaya membantu menumbuhkan kesadaran publik akan tanggung jawab moral dan politik, terutama menyangkut kejahatan kesewenang-wenangan atau menggerus prinsip-prinsip demokrasi yang melemahkan lembaga penegak hukum.

Suatu proses hukum terhadap kejahatan, bila disertai penajaman opini, dapat membantu penyadaran karena melibatkan perdebatan tentang perilaku para pelaku dan bentuk institusi yang dibelanya (Osiel, 2006:255). Masyarakat perlu belajar dari kasus KPK dan Polri, yang berkait dengan kasus hakim Sarpin dan Komisi Yudisial.

Masyarakat terbiasa dengan penegakan hukum yang menekankan prosedur hukum atau formalisme hukum. Masalahnya bukan hanya apakah sesuai dengan prosedur hukum, tetapi normativitas prosedur hukum itu bisakah menjamin rasa keadilan, ataukah justru rentan terhadap penyalahgunaan kekuasaan?

Di masa lalu, pernah ada kasus peradilan pidana korupsi. Sebelum vonis, selama hampir satu hari, para hakim hanya membacakan apologi bahwa peradilan telah mengikuti semua prosedur hukum. Akhirnya, terdakwa dibebaskan. Banyak orang kecewa karena keputusan dianggap melukai rasa keadilan masyarakat.

Formalisme hukum

Sebagai koreksi terhadap proses peradilan yang terlalu menekankan prosedur, C Schmitt mengingatkan, sebaiknya penilaian hukum mendasarkan pada keputusan, bukan hanya norma. Keyakinan ini bukan mau meniadakan kepastian hukum, melainkan mau membongkar dan menunjukkan bahwa dalam kepastian hukum masih ada berbagai claim kesahihan penafsiran yang bergantung pada kepentingan pihak yang kuat. Menurut Tebbit, ideal kepastian hukum berakar pada formalisme hukum (2000:26). Keprihatinan utama formalisme adalah sejauh hukum itu tertulis. Lalu kurang mengenali jiwa/substansi hukum. Akibatnya, cenderung menafsirkan hukum sebagai sistem tertutup.

Cara penafsiran itu menganggap faktor-faktor sosial lain (politik, hubungan pribadi, uang, kepentingan) seakan tidak relevan. Padahal, faktor-faktor tersebut ternyata lebih menentukan, yang membuat hukum mudah menjadi alat kekuasaan.

Mengikuti aturan demi aturan mengandung bahaya mengabaikan rasa keadilan dalam menilai kasus khusus. Padahal, kekhasan suatu kasus justru harus ditemukan dalam substansi situasi konkret kasus dan manfaat bagi pengembangan proses yang adil, bukan dalam aturan-aturan formal yang seakan bisa disesuaikan dengan kasus. Situasi konkret antusiasme masyarakat terhadap upaya pemberantasan korupsi harus diperhitungkan.

Semua bentuk proses hukum yang melawan antusiasme itu akan dianggap "melukai hati" masyarakat. Situasi psikologi massa yang positif untuk membangun keadilan semacam itu perlu masuk pertimbangan hukum.

Akar seluruh prosedur hukum terletak pada penilaian di balik penalaran yang sering tidak terungkap jelas atau tanpa disadari (Tebbit, 2000:27). Dalam konteks ini, perdebatan ilmiah sangat diperlukan untuk mengungkap penilaian yang sesungguhnya berlangsung di balik penalaran argumentasi prosedur hukum itu.

Prosedur hukum

Arah perdebatan bisa memeriksa sejauh mana landasan proses hukum dipakai secara taat asas atau hanya sekadar alat kekuasaan. Ada dua cara: pertama, membandingkan dengan kasus- kasus sejenis di masa lalu apakah diperlakukan sama: prioritas waktu, prioritas pemberkasan dan kecepatan penentuan status terdakwa. Adakah kasus-kasus sejenis yang tidak diurus/diabaikan? Bila sekarang atau yang akan datang ada yang melaporkan kasus sejenis, apakah akan diperlakukan sama? Apakah kasus tersebut justru diprioritaskan, padahal ada kasus-kasus lain yang lebih besar?

Kedua, menggunakan analisis struktural aktansial Greimas (1983). Metode ini sering dipakai untuk menganalisis pola alur peristiwa untuk mengungkap hubungan-hubungan kepentingan.

Dalam setiap skenario peristiwa, selalu ada subyek yang berusaha mendapatkan obyek (bisa kekuasaan, jabatan, kekayaan, kesembuhan, atau lainnya). Dalam upayanya mendapatkan obyek itu, subyek dibantu oleh penolong dan dihambat oleh penghalang. Penghalang paling ekstrem adalah anti-subyek. Adapun pengirim (otak skenario) adalah yang memotivasi subyek untuk mendapatkan obyek.

Diuntungkan-dirugikan

Penerima adalah yang diuntungkan atau dirugikan, tergantung berhasil/tidak upaya subyek mendapatkan obyek. Dengan mengidentifikasi tokoh-tokoh atau instansi-instansi dalam pola skenario itu, mudah disingkap adanya hubungan-hubungan kepentingan sehingga menjadi jelas apakah landasan hukum itu taat asas atau sekadar alat pembenaran kekuasaan.

Dalam pola itu, jelas adanya kepentingan yang sama antara pengirim, subyek, penolong, dan penerima. Adapun musuh adalah yang menjadi penghalang subyek untuk memuluskan kepentingannya. Penghalang paling ekstrem adalah anti-subyek. Tentu, semua orang yang dikategorikan sebagai penghalang dan anti-subyek akan dilindas.

Dengan cara itu, terungkap jelas bahwa sebetulnya penilaian pribadi mendahului ketetapan hukum. Suatu penilaian sebelum proses penalaran ternyata lebih menentukan. Maka, perlu diangkat ke permukaan argumen yang disembunyikan dalam proses berpikir untuk membuat penilaian itu. Caranya, menggeser fokus logika hukum ke studi tentang faktor-faktor tersirat dan tidak disadari, padahal justru paling berpengaruh dalam menyeleksi langkah-langkah, kesimpulan, dan keputusan para penegak hukum (polisi, jaksa, hakim).

Faktor-faktor itu bisa politik, ekonomi/uang, persahabatan, dan kedekatan (Tebbit, 2000:29). Keadilan tidak bisa dilepaskan dari penilaian moral atau nurani para penegak hukum, sedangkan pertimbangan logika hukum formal biasanya hanya untuk mengecek dan mendukung keputusannya (2000:33). Jadi kesetaraan hukum akan lebih terjamin bila masuknya pertimbangan dari luar hukum dibuat tersurat dan sah. Dengan demikian, kritik terhadap formalisme hukum menjadi relevan.

Jangan andalkan silogisme

Penilaian hukum jangan hanya mengandalkan pada silogisme, yaitu penegak hukum mengambil langkah berdasarkan prosedur formal hukum yang logis untuk menilai kasus khusus dari sisi norma umum sistem hukum yang menjadi acuan (Goyard-Fabre, 2004:208). C Schmitt (1922) mengingatkan pentingnya peran kekuasaan para penegak hukum (polisi, jaksa, dan hakim), terutama kebebasan intelektual dan nuraninya.

Dengan memperhitungkan penilaian para penegak hukum itu, yang sebetulnya justru paling menentukan, kedok kepastian hukum bisa disingkap. Jadi polisi, jaksa, dan hakim sangat berperan dalam menumbuhkan ingatan kolektif bangsa, ingatan untuk menagih ketidakadilan/kejahatan masa lalu yang belum beres.

Proses hukum yang mengabaikan rasa keadilan berarti tidak peduli terhadap aspek pedagogis peradilan. Proses penegakan hukum bisa membantu mengusik kesadaran publik untuk becermin kadar keterlibatan dirinya. Setiap orang diajak memeriksa nuraninya sehingga mencegah dorongan mengulangi masa lalu yang kelam tanpa kritik. Jadi proses hukum memiliki fungsi pedagogis bagi masyarakat agar tidak mudah terhasut sehingga kritis terhadap penegak hukum yang sewenang-wenang.

Provokasi akan ditanggapi kritis karena melalui proses hukum orang belajar dari masa lalu. Maka, benar kata Habermas (1985), "Dominasi masa lalu yang selalu kembali sebagai mimpi buruk masih membebani bila tidak diatasi dengan kekuatan analitis, yaitu mengingat kembali dengan tenang dan memilah secara jernih apa yang telah terjadi, lalu menimbang dengan pandangan moral yang memihak kepada korban yang tak bersalah." Dalam perspektif ini, proses hukum yang fair menjadi sangat berarti.

HARYATMOKOMENGAJAR DI UNIVERSITAS SANATA DHARMA DAN FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS INDONESIA

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 23 Juli 2015, di halaman 6 dengan judul "Formalisme Hukum dan Rasa Keadilan".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger