Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 23 Juli 2015

TAJUK RENCANA: Peringatan Presiden Jokowi (Kompas)

Peringatan lugas dan langsung disampaikan Presiden Joko Widodo dalam upacara peringatan ulang tahun ke-55 Korps Adhyaksa.

Dalam pidatonya, Presiden Joko Widodo mengingatkan agar penegak hukum tidak menjadikan tersangka sebagai mesin ATM. Meski disampaikan di hadapan korps kejaksaan, pesan Presiden itu sebenarnya universal dan berlaku bagi semua penegak hukum, termasuk polisi, hakim, dan juga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Berdasarkan jajak pendapat Kompas, 25 Juni-7 Juli 2015, citra kejaksaan naik turun. Citra kejaksaan merosot dari 65 persen dipandang positif pada Januari 2015 menjadi 53,4 persen pada April dan naik menjadi 60,3 persen pada Juni. Angka itu di bawah KPK, MK, dan MA.

Jaksa Agung HM Prasetyo punya tugas meningkatkan citra korps kejaksaan dengan meneruskan reformasi internal kejaksaan yang terkesan mandek. Seleksi dan promosi pejabat kejaksaan, sebagaimana dikatakan Presiden Jokowi, harus berdasarkan kompetensi dan kapabilitas, bukan berdasarkan kedekatan atau faktor lain.

Kita garis bawahi pesan Presiden agar tidak menjadikan penegakan hukum sebagai mesin ATM. "Menjadi mesin ATM" adalah bahasa metafora agar penegak hukum tidak menyalahgunakan kewenangan yang diberikan undang- undang untuk memperkaya diri sendiri. Publik masih ingat sejumlah jaksa ditangkap KPK. Kasus jaksa Urip Tri Gunawan adalah salah satu kasus yang mencoreng Korps Adhyaksa.

Kesempatan menjadikan tersangka sebagai mesin ATM sangat terbuka. Masalahnya adalah bagaimana kesempatan itu diminimalkan dengan membuka keran pengawasan selebar mungkin. Menjadi pertanyaan introspektif, sudah bisakah Komisi Kejaksaan dan Jaksa Agung Muda Pengawasan menjalankan peran pengawasan secara optimal? Publik memandang pengawasan itu belum efektif.

Peringatan Presiden itu kontekstual dengan situasi di mana ekonomi sedang melambat. Penyaluran belanja pemerintah terhambat sebab aparat birokrasi khawatir mengeksekusi proyek karena takut dituduh melanggar hukum. Penegak hukum seharusnya bisa membedakan antara kebijakan untuk mempercepat proses pembangunan dan sebuah keputusan yang jelas-jelas melanggar hukum untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain.

Penegakan hukum bukanlah sebuah target kuantitas berapa banyak kasus yang ditangani dan berapa besar uang negara yang diselamatkan. Indikator keberhasilan penegak hukum seharusnya adalah kualitas sebuah perkara dan bukan hanya kuantitas. Apalagi hanya untuk mengejar target. Jaksa adalah pengacara negara. Dia seharusnya bisa memberikan saran mencegah korupsi dengan memberikan pendampingan sejak awal agar hukum tidak dilanggar dan pembangunan berjalan. Jangan sampai ada orang yang mau mendobrak birokrasi untuk mempercepat realisasi proyek malah harus berurusan dengan hukum.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 23 Juli 2015, di halaman 6 dengan judul "Peringatan Presiden Jokowi".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger