Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 23 Juli 2015

Sengkarut Penalaran MK (BAHRUL ILMI YAKUP)

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-XIII/2015 yang menguji Pasal 7 huruf r berikut Penjelasannya, dan Pasal 7 huruf s UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas UU No 1/2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No 1/2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota telah memantik pro dan kontra serta keriuhan publik.

Keriuhan muncul lantaran publik menilai MK telah menyatakan praktik "Dinasti Politik" sebagai praktik yang sah menurut UUD 1945.  Padahal, persepsi publik menasbihkan praktik ini tercela karena  merusak sendi demokrasi Pancasila, serta telah menyuburkan penyalahgunaan kekuasaan oleh petahana.

Sebagai suatu putusan pengadilan, tentu publik harus menghormati putusan itu sebagai interpretasi konstitusi yang absah. Oleh karena itu, ia tetap berlaku sebagai norma hukum positif sepanjang tidak diubah oleh pembuat UU, atau tidak diubah oleh putusan pengadilan lainnya.

Namun demikian, penghormatan tersebut tentu tidak menafikan hak publik untuk menyatakan aspirasi, pendapat, serta kritik sebagai instrumen pengingat bahwa publik senantiasa menghendaki putusan MK kian memberikan keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum. Kritik publik merupakan input substantif kepada  MK agar ke depan dapat memberikan  putusan yang lebih berkualitas seraya  memperkokoh pembangunan hukum Indonesia yang berkeadilan.

"Ratio decidendi"

Bila menganalisis dan memahami  dengan saksama pertimbangan  putusan MK tersebut, secara jelas dapat diketahui alasan utama MK menyatakan Pasal 7 huruf r berikut penjelasannya inkonstitusional karena  pasal berikut penjelasannya itu bersifat diskriminatif serta melanggar hak asasi kerabat petahana.

Alasan mengadili (ratio decidendi)  demikian sesungguhnya sangat sumir, bahkan  kurang kokoh menurut penalaran validitas norma ilmu hukum. Dalam mengadili perkara tersebut, seyogianya MK tak menafikan apalagi melupakan penalaran teoretis bahwa validitas norma hukum senantiasa harus disokong tiga pilar, yaitu landasan filosofis, yuridis, dan sosiologi.

Secara filosofis, salah satu alasan munculnya norma Pasal 7 huruf r berikut penjelasannya merupakan responsi atas muncul perasaan tidak adil publik  dalam praktik pencalonan kerabat petahana dalam pilkada sebagai wujud dari demokrasi oligarkis. Publik menolak praktik demokrasi oligarki yang dilakukan  oleh petahana karena umumnya menyalahgunakan fasilitas dan wewenang jabatannya. 

Oleh karena itu, persepsi publik menerima seraya mendukung eksistensi norma Pasal 7 huruf r berikut penjelasannya tersebut sebagai instrumen normatif untuk mengelimir ketidakadilan publik.  Dalam nalar demikian, terasa sangat sumir dan simplistis ketika MK merobohkan sandaran filosofis pasal tersebut hanya berdasarkan perspektif kecacatan norma dalam  aspek diskriminatif dan pelanggaran hak asasi segelintir orang.

Dari aspek yuridis,  sejatinya   MK gagal memahami-menyelami bahwa norma Pasal  7 huruf r berikut penjelasannya tersebut memang telah cacat dalam  perumusan dan pemaknaan.  MK gagal memahami bahwa makna yuridis terma "konflik kepentingan" adalah "kepentingan yang berbeda".  Maksudnya kepentingan tersebut berbeda dari tujuan pemberian wewenang terhadap jabatan tertentu.  Kekeliruan pemaknaan yang sama  juga terjadi pada norma Pasal 43 Ayat (1) UU No 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan.

Padahal, kausa yang hendak dilarang atau diatur oleh norma Pasal 7 huruf r berikut penjelasannya adalah munculnya kepentingan yang paralel. Dengan demikian,  rumusan pasal tersebut seharusnya adalah "tidak memiliki kepentingan yang paralel dengan petahana" atau "tidak memiliki paralelisme kepentingan dengan petahana" .

Oleh karena itu, dari aspek yuridis, inkonstitusionalitas norma Pasal 7 huruf r tersebut  seyogianya bukan karena bersifat diskriminatif dan melanggar hak asasi manusia, melainkan karena mengandung ketidakpastian hukum . Sebab, putusan putusan tersebut mengandung kekeliruan dalam perumusan dan pemaknaan.  Terhadap kekeliruan demikian, umumnya putusan MK membuat rumusan atau interpretasi konstitusional bersyarat (conditionally constitutional), bukan menyatakan tak memiliki kekuatan hukum mengikat.  Dalam nalar demikian, terasa aneh ketika MK membuat putusan yang berbeda untuk  perkara ini.

Secara sosiologis, berdasarkan data berbagai survei yang telah dilakukan, ternyata mayoritas rakyat memang mendukung eksistensi Pasal 7 huruf r berikut penjelasannya. MK seyogianya mengakomodir aspirasi publik tersebut dengan menggunakan instrumen dan penalaran data survei. Sudah saatnya MK mulai menggunakan instrumen survei dalam menentukan konstitusionalitas sosiologis suatu norma. 

Kualitas tekstual

Selain mengandung sengkarut penalaran, ternyata  teks putusan MK tersebut memuat banyak  lapsing (bolong), bahkan beberapa kutipan penting malah  tidak dicantumkan.  Ini mengindikasikan putusan tersebut sebetulnya belum siap untuk dibacakan, apalagi disajikan kepada publik.

Fakta demikian nyaris tidak terjadi pada putusan MK lainnya, yang sebaliknya  bermakna kualitas tekstual bahwa putusan ini lebih buruk dari kualitas standar putusan MK pada umumnya.  Kemerosotan kualitas tekstual putusan MK seyogianya tidak terjadi, sebab MK tidak memiliki tenggat dalam mengadili suatu perkara pengujian UU. Mengapa MK harus terburu-buru sehingga mengorbankan kualitas tekstual putusan MK?

Padahal,  kesempurnaan putusan MK selama ini poin keutamaan di mata publik dibandingkan kualitas putusan pengadilan di jajaran Mahkamah Agung, yang sangat lumrah memuat kesalahan ketik  atau kekacauan redaksional, tak terkecuali pada bagian pertimbangan hukumnya. MK seyogianya memahami bahwa publik senantiasa mengharapkan MK mampu memberikan putusan yang memiliki validitas kokoh dan penalaran yang ajek,  seraya menyokong  perbaikan hukum Indonesia yang sekarat.

BAHRUL ILMI YAKUP

Ketua Asosiasi Advokat Konstitusi (AAK)

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 23 Juli 2015, di halaman 7 dengan judul "Sengkarut Penalaran MK".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger