Keriuhan muncul lantaran publik menilai MK telah menyatakan praktik "Dinasti Politik" sebagai praktik yang sah menurut UUD 1945. Padahal, persepsi publik menasbihkan praktik ini tercela karena merusak sendi demokrasi Pancasila, serta telah menyuburkan penyalahgunaan kekuasaan oleh petahana.
Sebagai suatu putusan pengadilan, tentu publik harus menghormati putusan itu sebagai interpretasi konstitusi yang absah. Oleh karena itu, ia tetap berlaku sebagai norma hukum positif sepanjang tidak diubah oleh pembuat UU, atau tidak diubah oleh putusan pengadilan lainnya.
Namun demikian, penghormatan tersebut tentu tidak menafikan hak publik untuk menyatakan aspirasi, pendapat, serta kritik sebagai instrumen pengingat bahwa publik senantiasa menghendaki putusan MK kian memberikan keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum. Kritik publik merupakan input substantif kepada MK agar ke depan dapat memberikan putusan yang lebih berkualitas seraya memperkokoh pembangunan hukum Indonesia yang berkeadilan.
"Ratio decidendi"
Bila menganalisis dan memahami dengan saksama pertimbangan putusan MK tersebut, secara jelas dapat diketahui alasan utama MK menyatakan Pasal 7 huruf r berikut penjelasannya inkonstitusional karena pasal berikut penjelasannya itu bersifat diskriminatif serta melanggar hak asasi kerabat petahana.
Alasan mengadili (ratio decidendi) demikian sesungguhnya sangat sumir, bahkan kurang kokoh menurut penalaran validitas norma ilmu hukum. Dalam mengadili perkara tersebut, seyogianya MK tak menafikan apalagi melupakan penalaran teoretis bahwa validitas norma hukum senantiasa harus disokong tiga pilar, yaitu landasan filosofis, yuridis, dan sosiologi.
Secara filosofis, salah satu alasan munculnya norma Pasal 7 huruf r berikut penjelasannya merupakan responsi atas muncul perasaan tidak adil publik dalam praktik pencalonan kerabat petahana dalam pilkada sebagai wujud dari demokrasi oligarkis. Publik menolak praktik demokrasi oligarki yang dilakukan oleh petahana karena umumnya menyalahgunakan fasilitas dan wewenang jabatannya.
Oleh karena itu, persepsi publik menerima seraya mendukung eksistensi norma Pasal 7 huruf r berikut penjelasannya tersebut sebagai instrumen normatif untuk mengelimir ketidakadilan publik. Dalam nalar demikian, terasa sangat sumir dan simplistis ketika MK merobohkan sandaran filosofis pasal tersebut hanya berdasarkan perspektif kecacatan norma dalam aspek diskriminatif dan pelanggaran hak asasi segelintir orang.
Dari aspek yuridis, sejatinya MK gagal memahami-menyelami bahwa norma Pasal 7 huruf r berikut penjelasannya tersebut memang telah cacat dalam perumusan dan pemaknaan. MK gagal memahami bahwa makna yuridis terma "konflik kepentingan" adalah "kepentingan yang berbeda". Maksudnya kepentingan tersebut berbeda dari tujuan pemberian wewenang terhadap jabatan tertentu. Kekeliruan pemaknaan yang sama juga terjadi pada norma Pasal 43 Ayat (1) UU No 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
Padahal, kausa yang hendak dilarang atau diatur oleh norma Pasal 7 huruf r berikut penjelasannya adalah munculnya kepentingan yang paralel. Dengan demikian, rumusan pasal tersebut seharusnya adalah "tidak memiliki kepentingan yang paralel dengan petahana" atau "tidak memiliki paralelisme kepentingan dengan petahana" .
Oleh karena itu, dari aspek yuridis, inkonstitusionalitas norma Pasal 7 huruf r tersebut seyogianya bukan karena bersifat diskriminatif dan melanggar hak asasi manusia, melainkan karena mengandung ketidakpastian hukum . Sebab, putusan putusan tersebut mengandung kekeliruan dalam perumusan dan pemaknaan. Terhadap kekeliruan demikian, umumnya putusan MK membuat rumusan atau interpretasi konstitusional bersyarat (conditionally constitutional), bukan menyatakan tak memiliki kekuatan hukum mengikat. Dalam nalar demikian, terasa aneh ketika MK membuat putusan yang berbeda untuk perkara ini.
Secara sosiologis, berdasarkan data berbagai survei yang telah dilakukan, ternyata mayoritas rakyat memang mendukung eksistensi Pasal 7 huruf r berikut penjelasannya. MK seyogianya mengakomodir aspirasi publik tersebut dengan menggunakan instrumen dan penalaran data survei. Sudah saatnya MK mulai menggunakan instrumen survei dalam menentukan konstitusionalitas sosiologis suatu norma.
Kualitas tekstual
Selain mengandung sengkarut penalaran, ternyata teks putusan MK tersebut memuat banyak lapsing (bolong), bahkan beberapa kutipan penting malah tidak dicantumkan. Ini mengindikasikan putusan tersebut sebetulnya belum siap untuk dibacakan, apalagi disajikan kepada publik.
Fakta demikian nyaris tidak terjadi pada putusan MK lainnya, yang sebaliknya bermakna kualitas tekstual bahwa putusan ini lebih buruk dari kualitas standar putusan MK pada umumnya. Kemerosotan kualitas tekstual putusan MK seyogianya tidak terjadi, sebab MK tidak memiliki tenggat dalam mengadili suatu perkara pengujian UU. Mengapa MK harus terburu-buru sehingga mengorbankan kualitas tekstual putusan MK?
Padahal, kesempurnaan putusan MK selama ini poin keutamaan di mata publik dibandingkan kualitas putusan pengadilan di jajaran Mahkamah Agung, yang sangat lumrah memuat kesalahan ketik atau kekacauan redaksional, tak terkecuali pada bagian pertimbangan hukumnya. MK seyogianya memahami bahwa publik senantiasa mengharapkan MK mampu memberikan putusan yang memiliki validitas kokoh dan penalaran yang ajek, seraya menyokong perbaikan hukum Indonesia yang sekarat.
BAHRUL ILMI YAKUP
Ketua Asosiasi Advokat Konstitusi (AAK)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar