Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 23 Juli 2015

Politik Ketimpangan (A SONNY KERAF)

Dana aspirasi anggota DPR untuk tiap daerah pemilihan semakin menegaskan politik ketimpangan antarwilayah Indonesia. Sejak Orde Reformasi, tanpa kita sadari rancang bangun politik nasional kita justru melestarikan, memperkuat, bahkan memperparah ketimpangan pembangunan (ekonomi) di antara wilayah Indonesia barat dan Indonesia timur, antara Jawa dan luar Jawa.

Semangat yang mengemuka adalah pemberdayaan dan peningkatan ekonomi daerah. Dalam bahasa visi misi Jokowi: membangun dari pinggiran. Sayangnya, rancang bangun politik kita telanjur tanpa sengaja dan tanpa disadari menegaskan hegemoni Indonesia barat versus Indonesia timur, Jawa atas luar Jawa. Kalau tidak hati-hati, tanpa disadari, sebagian besar program, kegiatan, dan dana akhirnya akan jatuh kembali ke pusat pembangunan (Jawa dan Indonesia barat).

Rancang bangun politik dapil

Rancang bangun politik nasional yang membagi wilayah pemilihan umum ke dalam daerah pemilihan (dapil) berdasarkan jumlah pemilih-dan bukan berdasarkan daerah administratif kabupaten/kota madya-telah dengan sadar mengarahkan fokus perhatian kita pada pembangunan manusia/rakyat yang dihitung berdasarkan suara saat memilih. Dengan itu pula, kita telah dengan sadar lebih memilih membangun manusia dan bukan wilayah yang di dalamnya dan, dengan demikian juga, manusia penghuninya.

Implikasinya di bidang pembangunan menjadi sangat luas, khususnya menegaskan ketimpangan antara daerah yang padat penduduknya (Jawa dan beberapa wilayah barat) dan daerah yang  renggang penduduknya (luar Jawa dan hampir semua wilayah timur). Implikasinya akan sangat terlihat kasatmata dalam realitas politik konkret baik di DPR maupun di pemerintah.

Pertama, heboh dana aspirasi sedikit banyaknya membuka kedok ketidakadilan rancang bangun politik kita tadi. Dengan pembagian merata Rp 20 miliar per anggota, bisa dipastikan DKI Jakarta yang sudah sangat kaya raya akan mendapatkan tambahan dana jauh lebih besar dibandingkan dengan Papua, Kalimantan, atau Nusa Tenggara Timur yang sedemikian luas. Demikian pula, sebagian besar dana tersebut akan digelontorkan ke Jawa yang sudah sedemikian maju dari berbagai indikator ekonomi dan sosial.

Kedua, secara kekuatan politik dalam memperjuangkan aspirasi pembangunan, jelas wilayah Indonesia timur yang miskin akan kalah dari Indonesia barat yang sudah maju karena jumlah anggota DPR yang memperjuangkannya kalah jauh. Dalam kecenderungan politik nasional yang lebih mengarah pada pemungutan suara melalui voting untuk menghasilkan kebijakan tertentu dan bukan musyawarah mufakat, jelas Indonesia timur akan kalah aspirasi politiknya karena kalah jumlah anggotanya.

Ditambah lagi dengan segala perhatian pembangunan infrastruktur jalan, jalan tol, listrik, dan kereta api yang lebih terkonsentrasi di Jawa dengan dana yang sedemikian besar, bisa dipastikan ketimpangan pembangunan antara Jawa dan luar Jawa, khususnya Indonesia timur, akan semakin menganga. Perhatian nasional sedemikian tersedot berbicara tentang pembangunan jaringan transportasi di pantai utara Jawa. Sebaliknya, jalan-jalan di sentra-sentra produksi pertanian di luar Jawa sedemikian terbengkalai sehingga produk pertanian rakyat sulit diangkut ke pusat kota, apalagi keluar Jawa.

Politik ketimpangan yang sama terjadi dalam konteks dana desa dan kebijakan pembangunan desa. Dengan segala perhitungan matematis yang telah disiasati pun, tetap saja pada akhirnya dana yang ditransfer dan diterima desa-desa di luar Jawa akan jauh lebih kecil dibandingkan yang diterima desa-desa di Jawa. Alasannya sederhana, karena jumlah desa di Jawa dan Indonesia barat jauh lebih banyak dibandingkan jumlah desa di Indonesia timur. Berdasarkan data resmi BPS pada 2013, desa di seluruh Indonesia berjumlah 80.714. Dari jumlah tersebut, sebagian terbesar ada di Jawa (25.321) dan Sumatera (25.110). Sisa di seluruh Indonesia timur hanya 30.283 desa (sumber: BPS 2015).

Dengan jumlah desa yang timpang seperti itu, sebagaimana data Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan 2015, dari total dana desa pada 2015 sebesar Rp 20,7 triliun, sebagian terbesar dialokasikan untuk desa di Jawa (Rp 6,6 triliun lebih) dan Sumatera (Rp 6,2 triliun lebih). Artinya, total seluruh Indonesia barat mencapai Rp 12 triliun lebih. Sementara itu, seluruh Indonesia timur sisanya hanya memperoleh dana desa sebesar Rp 7 triliun lebih. Bahkan, Kalimantan yang sedemikian luas dan kaya sumber daya alam hanya memperoleh Rp 1,8 triliun dana desa. Ini akan semakin menyebabkan pembangunan di Indonesia timur dan Indonesia barat semakin timpang saja.

Dalam kerangka NKRI

Yang juga mengemuka adalah semangat-sama dengan semangat global- membangun manusia Indonesia untuk menggapai Indeks Pembangunan Manusia yang setinggi mungkin. Kita lupa bahwa pembangunan manusia Indonesia tersebut tak bisa dilepaskan dan dipisahkan dari membangun "seluruh tanah tumpah darah Indonesia". Membangun manusia Indonesia tidak bisa dilepaskan dari membangun wilayah spasial Indonesia dengan kondisi geografis, ekonomi, kultural, dan topografis yang berbeda-beda. Kesalahan kita dengan lebih konsentrasi pada pembangunan manusia lepas dari kesatuan dengan wilayahnya tidak saja  justru mempertegas ketimpangan antarwilayah. Lebih dari itu, mereduksi dan memperlemah makna NKRI: Indonesia bukan hanya terdiri dari manusia warga penduduknya, melainkan juga wilayahnya, termasuk wilayah perairannya.

Oleh karena itu pula, dalam Nawacita ketiga, Jokowi dengan sadar menetapkan misi pemerintahannya:  "Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan". Demikian pula, Jokowi bertekad membangun tol laut untuk mempercepat akses pembangunan seluruh Nusantara.  Artinya, membangun Indonesia itu tidak hanya manusianya, tetapi juga wilayahnya yang, karena itu, Nawacita ketiga secara sadar mencantumkan "dalam kerangka negara kesatuan".

Akan tetapi, mimpi membangun dari pinggiran dalam kerangka NKRI tadi dapat saja terbendung politik dapil di atas yang basisnya lebih pada jumlah manusia. Pertama, kecenderungan dapil akan tetap kuat dalam jiwa dan cara berpikir para menteri pembantu presiden yang berasal dari partai politik. Bagaimanapun, politik dapil adalah politik yang telah tertanam kuat. Target periodik lima tahunan pemilu akan menjadi fokus perhatian para menteri dari partai politik. Artinya, para menteri yang sebagian besar dari Jawa akan lebih mengutamakan program dan kegiatan "dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa" sekadar berkutat di daerah dan desa di Jawa yang menjadi dapilnya atau yang menjadi basis utama partai politiknya.

Ini akan mendapat dukungan kuat di DPR karena sebagian besar anggota DPR memang berasal dari Jawa dan Sumatera. Kuatnya perjuangan dana aspirasi di DPR adalah gejala menguatnya politik dapil ini untuk kepentingan pemilu setiap lima tahun. Ketimpangan alokasi dana desa sebagaimana dipaparkan di atas adalah juga cerminan dari politik dapil untuk perhelatan politik lima tahunan dalam pemilu.

Kedua, selama indikator kinerja (KPI) birokrasi pemerintah adalah sekadar tingkat penyerapan dana APBN, maka birokrasi pemerintah akan memilih jalan pintas yang mudah untuk mencapai tingkat penyerapan anggaran yang tinggi. Jalan pintas itu adalah menggelontorkan sebagian terbesar program, kegiatan, dan dana serapan ke Jawa dan Indonesia barat yang lebih mudah terjangkau daripada bersusah-susah ke luar Jawa dan Indonesia timur yang susah terjangkau dengan segala fasilitas umumnya yang minim. Akibatnya, demi KPI yang tinggi, daerah dan desa yang dipilih tetap saja yang dekat dengan pusat pembangunan, yang pada akhirnya dapat saja semakin memperparah ketimpangan pembangunan antarwilayah Nusantara.

Akibat lebih lanjut, roh dari Nawacita ketiga mengurangi ketimpangan pembangunan antarwilayah dalam kerangka negara kesatuan menjadi berantakan. Tentu kita berharap bukan itu yang terjadi. Mudah-mudahan cita-cita besar membangun dari pinggiran demi mengatasi ketimpangan pembangunan dalam kerangka NKRI tetap menjadi agenda utama kita demi kesatuan NKRI tercinta.

A SONNY KERAF PENGAJAR PADA FAKULTAS EKONOMI UNIKA ATMA JAYA JAKARTA

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 23 Juli 2015, di halaman 6 dengan judul "Politik Ketimpangan".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger