Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 23 Juli 2015

Dilema Suku Bunga (ANTON HENDRANATA)

Pro dan kontra naik atau turunnya suku bunga sudah berlangsung cukup lama di perekonomian Indonesia antara kubu stabilisasi dan pertumbuhan.
HANDINING

Diskusi mengenai berapa suku bunga ideal di perekonomian seakan tidak pernah mencapai kesepakatan. Sungguh ironis, faktor sepenting dan krusial ini seolah tidak ada solusi yang bisa membuat insan ekonomi merasa nyaman dan tidak terbebani.

Bagi kubu stabilisasi perekonomian, kenaikan suku bunga adalah hal yang lumrah jika diperlukan. Argumen logis untuk mengejar pertumbuhan ekonomi, harus didahului oleh stabilisasi perekonomian.

Sementara itu, aliran pro-pertumbuhan, mengerem pertumbuhan ekonomi dalam takaran yang berlebihan untuk membela stabilisasi, bisa berujung pada resesi ekonomi. Dengan demikian, bukanlah stabilisasi perekonomian yang didapat, tetapi instabilisasi. Suku bunga tinggi, sehingga memperlambat pertumbuhan ekonomi dalam rangka stabilisasi perekonomian, tidak ada di benak aliran pro-pertumbuhan.

Kekhawatiran meningkatnya defisit neraca transaksi berjalan yang terjadi sejak kuartal I-2011, makin menguatkan perbedaan kubu pro stabilisasi dan pro pertumbuhan. Aliran pro-stabilisasi, pertumbuhan ekonomi yang dianggap tinggi jadi sumber masalah defisit transaksi berjalan. Oleh karena itu, perlu diredam dengan menaikkan suku bunga.

Kebijakan suku bunga

Ketika diduga perekonomian Indonesia cenderung tidak stabil, tecermin dari melemahnya rupiah dengan tingkat volatilitas yang meningkat, Bank Indonesia memilih menaikkan suku bunga acuannya sebesar 1,75 persen -dari 5,75 persen menjadi 7,50 persen-pada 2013. Kebijakan ini memang berhasil mengerem pertumbuhan ekonomi sehingga impor turun drastis.

Namun, kebijakan ini ibarat pedang bermata dua. Defisit neraca transaksi berjalan memang berhasil diperbaiki, sayangnya pertumbuhan ekonomi jauh lebih lambat daripada yang diperkirakan. Kondisi ini makin diperberat ketika pemulihan ekonomi global masih lambat dan tidak pasti, terutama perekonomian Tiongkok.

Alhasil, pertumbuhan ekonomi Indonesia melambat signifikan sejak 2014, hanya tumbuh 5,0 persen, jauh lebih rendah dibandingkan 2013 sebesar 5,6 persen. Situasi semakin sulit. Ternyata momentum perlambatan ini berlanjut sampai kuartal I- 2015, di mana pertumbuhannya hanya 4,7 persen. Pertumbuhan terendah sejak lima tahun terakhir, yang selalu tumbuh di atas 5 persen.

Reaksi wajar kalau pelaku usaha secara berjemaah merevisi rencana produksi dan penjualannya. Sektor riil menyadari bahwa permintaan domestik cenderung melemah. Bulan puasa dan Lebaran, yang biasanya menggairahkan perekonomian domestik, tampaknya tidak mampu mendongkrak secara signifikan permintaan barang dan jasa.

Ancaman perlambatan ekonomi dan masih tingginya suku bunga kredit, membuat pelaku usaha cenderung menahan diri melakukan ekspansi. Saat ini, pilihan penghematan biaya super ketat menjadi sangat rasional dilakukan, sebagai upaya untuk bertahan dari profit yang anjlok, bahkan kerugian.

Dalam situasi perekonomian yang lesu, secara teoretis BI dapat mengambil kebijakan moneter longgar dengan menurunkan suku bunga acuannya. Sayangnya, kebijakan ini sulit dilakukan karena rupiah dalam tekanan dan cenderung melemah karena penguatan dollar AS.

Sungguh dilema jika suku bunga acuan BI diturunkan, pada saat rupiah berada di kisaran Rp 13.300 per dollar AS. Hal ini sama saja menyiram bensin di api yang membara. Rupiah makin tertekan, apalagi ada ancaman kemungkinan kenaikan bunga dari Bank Sentral AS di bulan September atau kuartal IV-2015.

Ketidakleluasaan dalam kebijakan suku bunga menyebabkan BI hanya mampu melonggarkan kebijakan makro prudensial, seperti revisi ketentuan untuk kredit kepemilikan rumah dan pembayaran uang muka kredit kendaraan bermotor. Diperkirakan dampaknya hanya kecil, sekitar 0,05 persen, menaikkan pertumbuhan ekonomi.

Tidak berjalannya kebijakan moneter longgar dan hanya melalui kebijakan makro prudensial menimbulkan keraguan di pelaku usaha dan investor. Ekspektasi yang begitu tinggi terhadap perekonomian Indonesia berujung pada kekecewaan di pasar saham dan diikuti pasar obligasi.

Pemulihan perekonomian global yang relatif lambat dari perkiraan awal tahun, dan akibatnya dirasakan juga oleh perekonomian domestik, ternyata tidak cukup sebagai alasan perlambatan perekonomian Indonesia. Investor asing sudah telanjur menaruh harapan tinggi terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia 2015, yang lebih baik daripada tahun sebelumnya.

Pasar saham yang begitu fantastis sejak awal tahun sampai minggu pertama April 2015, selalu mencapai rekor tertinggi setiap bulannya, puncaknya di level 5.523 per 7 April 2015, akhirnya mulai ditinggalkan investor karena anjloknya profit perusahaan. Arus modal asing berangsur keluar dari pasar saham, yang tentunya menambah tekanan terhadap rupiah. Kekhawatiran di pasar saham dan ekspektasi negatif terhadap rupiah mengakibatkan obligasi pemerintah pun terkoreksi tajam. Imbal hasil 10 tahun yang pernah di level terendah 7,0 persen per 3 Februari 2015, harus rela naik menjadi 8,4 persen per 22 Juni 2015.

Akibat pertumbuhan ekonomi yang anjlok di kuartal I-2015 dan ruang penurunan suku bunga acuan BI yang hampir mustahil, wajar kalau pelaku pasar mulai ragu dan pesimistis menatap perekonomian di tiga kuartal berikutnya. Satu-satunya harapan adalah pengeluaran pemerintah yang agresif, yang mampu menstimulus perekonomian, melalui program pembangunan infrastukturnya. Ini pun tidak mudah dilakukan dan direalisasikan. Masalah administrasi, birokrasi, dan koordinasi serta eksekusi selalu membayangi dan mewarnai kegagalan program-program pemerintah.

Pada saat pihak swasta lebih bersifat pasif, tindakan riil pemerintah sangat diperlukan, yang bisa diharapkan mampu mengeliminasi persepsi negatif para investor.

Saya kira kita semua sepakat, penyebab utama tingginya suku bunga adalah tingginya inflasi di Indonesia. Penentuan suku bunga makin sulit lagi, ketika inflasi cenderung tidak stabil dan sangat fluktuatif karena masalah infrastruktur yang tak mampu mengangkut hasil produksi dan mendistribusikannya dengan baik ke seluruh wilayah Indonesia.

Defisit neraca transaksi berjalan adalah murni masalah struktural, yang memerlukan penanganan serius dan konsisten dari pemerintah. Otoritas moneter melalui kebijakan moneternya tak akan mampu menyelesaikan defisit ini secara tuntas. Impor barang dan jasa Indonesia bisa diturunkan secara signifikan jika ditopang infrastruktur jalan, pelabuhan laut dan udara, dan transportasi (darat, laut, dan udara) yang mumpuni.

Dengan infrastruktur yang baik seharusnya kita akan lebih mudah membangun industri manufaktur yang mampu menyubstitusi barang impor yang ada. Dengan inflasi rendah dan stabil, kita tak perlu memanjakan suku bunga tinggi bagi investor asing.

Tambal sulam defisit neraca transaksi berjalan, dengan surplus neraca finansial, yang didominasi oleh investasi porto folio (saham dan obligasi), sebaiknya dapat kita hindarkan. Investasi langsung asing jangka panjang seharusnya bisa mendominasi investasi porto folio jangka pendek.

Kuncinya infrastruktur

Oleh karena itu, ketika perekonomian sedang lesu, BI dapat lebih leluasa melakukan kebijakan moneter longgar, melalui penurunan suku bunga acuannya. Perekonomian domestik tidak lagi tersandera oleh rigiditas suku bunga karena mempertimbangkan investor asing.

Ketika suku bunga harus turun, kita tidak perlu khawatir keluarnya modal asing jangka pendek dari perekonomian Indonesia. Suku bunga acuan BI dapat bergerak secara fleksibel mengikuti dinamika pasar. Oleh karena itu, suku bunga acuan BI menjadi kredibel dan terukur sebagai patokan penentuan suku bunga di sektor riil.

Ke depan, harusnya tak perlu dipertentangkan lagi antara kubu pro-pertumbuhan dan pro-stabilisasi. Hanya menghabiskan energi dan waktu. Pertumbuhan dan stabilisasi, keduanya sama penting dalam menatap kondisi eksternal yang makin kompleks.

Kuncinya infrastruktur yang mumpuni, yang mampu menjalin dan mengikat rantai produksi dan distribusi antardaerah dan antarpulau. Kendala dan rintangan akan menjadi ringan jika pemerintah, parlemen, institusi, pebisnis dan rakyat kompak, dan memiliki kesatuan hati dan jiwa secara bersama. Akhirnya, pertumbuhan ekonomi yang sehat dan berkesinambungan bukanlah sesuatu yang sulit digapai.

ANTON HENDRANATA

Chief Economist PT Bank Danamon Indonesia, Tbk

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 23 Juli 2015, di halaman 7 dengan judul "Dilema Suku Bunga".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger