Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 10 Juli 2015

TAJUK RENCANA: Masa Depan Politik Kekerabatan (Kompas)

MK memutuskan keluarga petahana tetap bisa ikut pilkada. Ini memunculkan pertanyaan bagaimana prospek politik kekerabatan mendatang.

Era pemilihan kepala daerah langsung memang memunculkan fenomena baru, yakni politik kekerabatan. Di sejumlah daerah, ada keluarga yang mendominasi pimpinan daerah. Ketika sang bupati habis masa jabatannya, dia digantikan oleh istri/suami atau anak mereka. Para kerabat tersebut dipilih secara demokratis.

Menurut catatan Kementerian Dalam Negeri, hingga tahun 2014, terdapat 59 kepala daerah/wakil kepala daerah yang memiliki ikatan keluarga dengan petahana. Dalam upaya melanggengkan kekuasaan para kerabat itu, terbuka kemungkinan pemanfaatan sumber daya dan pengaruh dari tokoh yang masih menggenggam kekuasaan.

Kecenderungan itu mau dikoreksi. Namun, aturan itu dibatalkan Mahkamah Konstitusi. MK menyatakan pasal persyaratan bahwa calon kepala daerah tidak punya konflik kepentingan dengan petahana bertentangan dengan konstitusi. Uji materi diajukan Adnan Purichta Ichsan, anggota DPRD Sulawesi Selatan, yang juga anak Bupati Gowa. Ia menggugat pasal itu karena dirugikan tak bisa mencalonkan diri sebagai Bupati Gowa pada Pilkada 2015.

Kegelisahan publik atas bercokolnya politik kekerabatan itu dijawab Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Presiden Yudhoyono menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2014 pada 2 Oktober 2014 yang mengintroduksi aturan di Pasal 7 yang berbunyi, "Warga negara Indonesia yang bisa menjadi calon gubernur, wali kota, dan bupati yang memenuhi persyaratan: (q) tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana". Perppu itu diterima DPR, tetapi kemudian pasal itu dibatalkan MK.

Putusan MK harus dihormati. Dalam persidangan mantan hakim konstitusi HAS Natabaya, Harjono dan ahli hukum tata negara Saldi Isra dan Aminuddin Ilmar menjadi saksi dan mendukung dalil penggugat. Kekuatan argumentasi saksi inilah yang ikut mendorong MK membatalkan pasal tersebut. Argumentasi para saksi ini terasa lebih rasional dan punya landasan konstitusional dibandingkan kesaksian pihak pemerintah dan pihak DPR.

Niat mengendalikan tumbuh suburnya politik kekerabatan belum berhasil karena aturan soal itu dipatahkan MK. Karena itulah, kesadaran masyarakat harus ditingkatkan. Masyarakat pemilih perlu diedukasi untuk memilih calon pemimpin daerah bukan hanya karena pertimbangan dia istri bupati, anak bupati, keponakan bupati, melainkan karena kompetensi sang calon. Di sisi lain, aspek pengawasan terhadap pelaksanaan pilkada harus ditingkatkan agar petahana tidak memanfaatkan kekuasaan dan pengaruhnya untuk memengaruhi pemilih demi melanggengkan kekuasaan di sekitar kerabat mereka.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 10 Juli 2015, di halaman 6 dengan judul "Masa Depan Politik Kekerabatan".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger