Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 24 Juli 2015

TAJUK RENCANA: Urbanisasi dan Daruratnya Jakarta (Kompas)

Setelah sepekan ditinggalkan sekitar 6,5 juta penghuninya, mulai Senin minggu depan akan terlihat sosok asli Jakarta: macet!

Kota berusia 488 tahun ini mendapatkan tambahan sekitar 70.000 pendatang baru. Mereka menambah jumlah penduduk Jakarta yang kini sekitar 10 juta, atau sekitar 20 juta termasuk yang tinggal dan bekerja di Jakarta. Mereka sebagian besar bukan tenaga berketerampilan. Dibanding tahun lalu, 68.000, tahun ini naik sekitar 3 persen, data itu menggambarkan ketertinggalan pembangunan daerah.

Jakarta sebagai ibu kota negara sekaligus ibu kota provinsi memang kota terbuka. Membiarkan siapa pun berebut di Jakarta, mengancam daya dukung. Operasi Bina Kependudukan sejak 2014 pasca Lebaran relatif lebih manusiawi. Namun, toh, tidak bisa mengerem laju peminat, bahkan dibanding tahun lalu tahun ini naik 3 persen.

Mengutip ahli perkotaan Yayat Supriyatna, daya tampung dan daya dukung Jakarta sudah terlampaui. Kita hanya sibuk dan peduli sekitar arus balik, tetapi lalai di luar masa mudik. Prediksi tahun 2030, jumlah penduduk 12 juta sudah terlewati. Data di atas menegaskan Jakarta sudah darurat. Pertambahan penduduk tidak terkendali, rentan terhadap konflik, kejahatan, dan kekerasan.

Menjadikan Jakarta sebagai kota tertutup memang mempermudah menjadikan Jakarta sebagai hunian yang ideal, tetapi selain pilihan itu melawan undang-undang dan hak asasi, juga teoretis. Dengan laju urbanisasi kini tercepat di Asia, kota Jakarta diprediksi, kalau tidak dilakukan serius berbagai program mengeremnya, pada 2040 mencapai lebih dari 40 juta jiwa. Dengan kebijaksanaan "membiarkan" dan kelambanan pembangunan daerah, angka itu akan tembus sebelum 2030. Kompleksitas bertali-temali dalam segala hal, tidak hanya banjir dan penduduk liar, tetapi juga kejahatan semakin potensial terjadi. Belum lagi masalah birokrasi, persaingan politis, dan korupsi.

Senyampang itu, Jakarta dengan seabrek beban saat ini menyandang sekian cap kurang menyenangkan di dunia, di antaranya tercatat di urutan pertama dari 10 kota termacet. Kota-kota sekeliling Jakarta, seperti Tangerang, Bekasi, Depok, dan Bogor, pun jadi tujuan pendatang baru. Selain Bogor, arus urbanisasi ke Tangerang, Bekasi, dan Depok tak kalah cepat dibanding Jakarta. Kota-kota itu niscaya jadi rekan penyangga dampak urbanisasi di Jakarta.

Di saat kita peduli dengan arus urbanisasi dan masa depan kota semacam smart city untuk Jakarta, saatnya kita membuka kembali wacana soal masa depan kota Jakarta. Pada saat yang sama, kita ingatkan kembali perlunya memberi perhatian lebih pada pembangunan desa.

Masa depan masyarakat memang tinggal di kota, tetapi dana APBN-P "ngendon" tidak tersentuh oleh kepala daerah karena takut tersangkut hukum perlu diterobos demi laju pembangunan desa. Janji Kejaksaan Agung akan mendampingi kepala daerah menjadi pintu masuk ikut mengatasi kedaruratan kota Jakarta.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 24 Juli 2015, di halaman 6 dengan judul "Urbanisasi dan Daruratnya Jakarta".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger