Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 16 September 2015

Jiwa Merdeka (BENNY SUSETYO)

Usia republik yang tak terasa sudah 70 tahun seharusnya menjadikannya cukup dewasa dalam mengarungi samudrakehidupan berbangsa dan bernegara.

Memang benar kita berhasil melewati badai topan dengan kekuatan Pancasila—rumusan para pendiri negara yang terbukti melampaui zamannya—dan menjadi perekat keutuhan bangsa. Namun, pada usia yang seharusnya sudah membawa kita semakin aktual sebagai bangsa, justru muncul kecenderungan pragmatisme politik seperti ungkapan do ut des.

Do ut des mengandung pengertian bahwa kita memberikan sesuatu kepada orang lain karena mengharapkan orang lain pun memberikan sesuatu untuk kita. Dengan kata lain, kita memberikan sesuatu kepada orang lain karena mengharapkan imbalan tertentu. Motif yang terkenal dengan ungkapan "ada udang di balik batu".

Do ut des tidak saja terjadi dalam kehidupan bermasyarakat, tetapi juga merasuki kehidupan perpolitikan negeri ini. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa praktik perpolitikan negeri ini sudah keluar dari hakikat politik itu sendiri, yakni mengurus segala sesuatu untuk kepentingan banyak orang. Politik yang hakiki adalah memperjuangkan kebaikan umum. Sayang, politik kita menjadi medan do ut des.

Wajah gelap

Wajah politik kita gelap karena jauh dari terang etika dan moral. Lihat saja praktik mahar politik dalam pilkada serentak yang menyebabkan pilkada langsung sepi peminat. Di balik ini semua, ada masalah mendasar, yaitu hilangnya jiwa merdeka dalam mengaturhidup bernegara dan berbangsa.

Partai politik berwajah gelap karena jiwa-jiwa merdeka para kader partai telah dibelenggu oleh kekerdilan politik dagang. Orientasi politik mereka bersifat jangka pendek, sekadar memenuhi libido politik, yang semata-mata mencari kebutuhan material. Realitas ini menyebabkan hilangnya jiwa merdeka dari tubuh elite politik.

Politik yang kerdil telah membelenggu jiwa-jiwa merdeka para politikus dari cahaya terang cita-cita berpolitik untuk memperjuangkan kebaikan umum.

Elite partai harus mampu memberikan harapan kepada publik lewat komunikasi politik yang secara simbolik memberikan makna. Kemerdekaan seharusnya mampu membebaskan diri dari kecenderungan koruptif dan melahirkan gagasan untuk mengantarkan bangsa Indonesia pada kemerdekaan sejati.

Dengan demikian, kesadaran seperti ini harus menjadi momentum pertobatan politik partai-partai secara nasional guna mengembalikan visi berpolitik untuk bernegara dan melayani publik. Partai politik bertanggung jawab merekrut dan mengembangkan anggotanya menjadi kader-kader berkualitas sebagai wakil rakyat dan pemimpin daerah. Partai harus membangun sistem politik yang memajukan budaya demokrasi.

Sebab, merekalah yang akan menentukan kemajuan bangsa. Orientasi bangsa ke depan dan perubahan yang terjadi amat bergantung pada kemampuan partai politik beserta elite-elite di dalamnya. Pertobatan politik harus secepatnya dilakukan mengingat semakin lama kondisinya semakin buruk. Kondisi saat ini, para politisi partai cenderung "buas", terutama untuk meraih kuasa dan kedudukan, tanpa memperhatikan etika dan keutamaan.

Saat ini yang kita miliki adalah wajah gelap politik. Wajah gelap itulah yang harus kembali diterangi kejujuran berpolitik.

Makna berpolitik

Kita harus menegaskan kembali makna berpolitik dan berkekuasaan untuk membangun bangsa menjadi negara adil dan makmur yang luhur bermartabat. Berpolitik bukan aji mumpung untuk meraih kekuasaan.

Disorientasi politik akan membawa bangsa ini ke jurang kesengsaraan amat dalam. Pada tataran ini, kita harus belajar dari para pendahulu negeri ini. Mereka bisa mewarnai politik dengan gagasan-gagasan dan cita-cita besar Indonesia.

Berpolitik adalah tekad bulat untuk membangun bangsa dengan penguasa yang berpihak kepada rakyat, bukan kepada pemilik uang. Kebusukan politik dewasa ini adalah ketika semua transaksi sudah tidak ada bedanya dengan transaksi bisnis.

Maka pertobatan dalam perpolitikan di Indonesia diperlukan guna mengubah orientasi politik kartel, karakter pragmatis dan menghamba uang belaka, menjadi berpolitik dengan keutamaan dan cita-cita.

Perubahan orientasi ini harus dimulai dengan keberanian partai politik mengubah cara pandang. Partai politik harus kembali membangun ideologi berpartai, sesuatu yang jauh lebih berharga daripada uang dan kekuasaan.

Dalam ideologi itulah tersimpan cita-cita rakyat dan gagasan bernegara yang harus diperjuangkan. Inilah yang hilang, yakni tiadanya elite politik yang memiliki jiwa merdeka.

Wajah gelap politik itu harus segera digantikan oleh wajah terang yang muncul dari jiwa-jiwa merdeka para politisi yang kembali menjunjung etika dan moral dalam berpolitik. Pada jiwa-jiwa merdeka, mereka berpolitik dengan beradab dan menjadi bermanfaat bagi masyarakat.

BENNY SUSETYO,

RESEARCH FELLOW PARA SYNDICATE

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 16 September 2015, di halaman 6 dengan judul "Jiwa Merdeka".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger