Gatra pertama Nawacita terkait politik adalah menghadirkan kembali negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman bagi semua warga negara melalui politik luar negeri bebas aktif, keamanan nasional yang tepercaya, dan pembangunan pertahanan negara Tri Matra terpadu yang dilandasi kepentingan nasional dan memperkuat jati diri sebagai negara maritim.
Tanpa perlu melakukan penelitian, banyak warga merasakan negara belum hadir sepenuhnya untuk melindungi dan memberikan rasa aman. Kasus semacam Tolikara dan Singkil memperlihatkan, negara terlambat mengantisipasi terjadinya gangguan terhadap rasa aman para warga yang khususnya berbeda agama dan aliran.
Politik luar negeri Indonesia tampaknya paling adem ayem, dan karena itu mendapat banyak sorotan di tingkat internasional. Banyak kalangan menilai pemerintah Jokowi terlalu melihat ke dalam; cenderung mengabaikan peran Indonesia yang justru diharapkan banyak kalangan internasional. Indonesia menurut mereka harus memainkan peran lebih besar sesuai kebesarannya.
Gatra kedua Nawacita terkait politik menyatakan ingin membuat negara tidak absen dengan membangun tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis, dan tepercaya dengan memberikan prioritas pada pemulihan kepercayaan publik pada institusi demokrasi dengan melanjutkan konsolidasi demokrasi melalui reformasi sistem kepartaian, pemilu, dan lembaga perwakilan. Gatra Nawacita itu terkait dengan gatra Nawacita lain yang menyatakan menolak negara (menjadi) lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas dari korupsi bermartabat dan tepercaya.
Dalam konteks kedua gatra Nawacita ini terlihat pencapaian campur aduk pemerintahan Jokowi-Kalla. Pada satu segi, pemerintahan mulai berhasil mengonsolidasikan kekuasaannya melalui pergeseran perimbangan kekuatan koalisi antarpartai dan antarfraksi di DPR. Ini misalnya dengan mendekatnya Partai Amanat Nasional yang semula bergabung dengan Koalisi Merah Putih ke Koalisi Indonesia Hebat.
Namun, di pihak lain, ada indikasi masalah di dalam Koalisi Indonesia Hebat, khususnya PDI-P yang sering tidak sejalan dengan Presiden Jokowi.
Konsolidasi demokrasi juga belum terlihat di lembaga perwakilan. Banyak anggota DPR masih menampilkan kinerja mengecewakan; mereka lebih sibuk dengan usaha peningkatan tunjangan dan insentif daripada legislasi. Karena itu sulit diharapkan mereka dapat lebih berkontribusi untuk penguatan tata kelola negara-bangsa Indonesia lebih baik.
Pada segi lain, banyak warga merasa kecewa dan boleh jadi kian kehilangan harapan pada Presiden ketika sampai pada upaya penciptaan tata kelola pemerintah bersih dan bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Presiden Jokowi sejauh ini cenderung belum sepenuhnya berpihak pada pemberantasan KKN sampai ke akar-akarnya.
Sikap Presiden itu terlihat ketika beberapa komisioner dan pegawai KPK dikriminalisasikan. Selanjutnya, ketika sejumlah anggota DPR mengusulkan revisi UU KPK, yang ironisnya diprakarsai kalangan PDI-P, Presiden hanya berhasil "menegosiasi" penundaan pembahasan dan tidak menghentikannya sama sekali.
Setelah setahun pemerintahan Jokowi-Kalla, banyak warga merasakan lembaga penegak hukum, seperti kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan, masih belum bersih dari KKN dan pelanggaran hukum lain.
Gatra politik Nawacita lain menyatakan maksud pemerintah Jokowi-Kalla memperteguh kebinekaan memperkuat restorasi Indonesia melalui kebijakan memperkuat pendidikan kebinekaan dan menciptakan ruang-ruang dialog antarwarga.
Sejauh ini upaya penguatan kebinekaan masih lebih merupakan jargon daripada kenyataan. Kebinekaan semestinya dipahami sebagai "bineka tunggal ika", dan harus dipandang secara integratif dengan UUD 1945, Pancasila, dan NKRI. Keempat prinsip dasar itu merupakan faktor pemersatu dalam kehidupan berbangsa-bernegara. Karena itu, peneguhan kebinekaan harus simultan dengan penguatan keikaan dan sekaligus dengan ketiga faktor pemersatu lainnya.
Mempertimbangkan pencapaian pemerintahan Jokowi-Kalla setahun ini, yang masih jauh dari harapan, masa empat tahun ke depan masih tetap merupakan periode penuh tantangan. Pada saat yang sama peluang besar untuk kinerja lebih tetap pula terbuka.
Berhasil diatasi atau tidaknya tantangan itu banyak bergantung pada Presiden sendiri. Secara internal pemerintahan, Presiden perlu membuat kabinet lebih kompak dan tertib. Para menteri semestinya berorientasi semata pada pencapaian kinerja daripada berpolemik sesama anggota kabinet di depan publik. Jika tidak, agaknya tidak banyak kemajuan yang bisa diharapkan publik ke depan.
AZYUMARDI AZRA
Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta;
Penerima MIPI Award 2014 dari Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar