Kompas edisi 30 September lalu menerbitkan advertorial mengenai optimalisasi pencatatan sipil. Setelah mencermatinya, saya menyarankan hal berikut.
Pertama, karena pemerintah pusat telah mentransfer dana desa sebesar Rp 20,7 triliun untuk 74.093 desa di seluruh Indonesia dalam tahun anggaran 2015, maka diperlukan kesiapan aparat desa dalam merencanakan dan mengawasi dana desa. Dana itu harus tepat sasaran untuk membangun dan memberdayakan warga desa.
Kedua, dari 83 juta anak Indonesia, baru 31 persen yang memiliki akta kelahiran yang merupakan haknya sesuai dengan amanat UU No 24/2013. Masih ada 69 persen atau 57,3 juta anak Indonesia yang belum mendapat akta kelahiran. Ini adalah pekerjaan besar yang menjadi tanggung jawab Kementerian Dalam Negeri yang harus diselesaikan sampai seluruh anak Indonesia mendapat haknya.
Ketiga, aparat desa tentu kesulitan membuat perencanaan dan program untuk mengalokasikan dana desa yang cukup besar itu. Mereka belum berpengalaman. Karena keterbatasan itu, pemerintah pusat dapat melakukan terobosan dengan program untuk memberdayakan aparat desa dalam memanfaatkan dana transfer itu.
Keempat, untuk menyukseskan Program Optimalisasi Pencatatan Sipil, dana desa dapat digunakan sebagai sarana untuk menjangkau seluruh anak yang belum mendapat akta kelahiran.
MAJU HUTAJULU
Jl Mayor Oking Jayaatmadja, Perum Perumahan Ciriung Cemerlang, Cibinong, Jawa Barat
Sampah Visual di Yogyakarta
Menjamurnya sampah visual di sepanjang jalan utama Yogya- karta bukan hal sepele. Kualitas dan kuantitasnya sudah mencapai taraf mengkhawatirkan. Penempatan papan iklan—yang sebagian bahkan sudah kedaluwarsa—tanpa memperhatikan estetika lingkungan membuat menurunnya keistimewaan Kota Yogyakarta.
Sampah visual ini umumnya berisi ajakan membeli berbagai macam barang. Semua hanya ikut mendorong masyarakat agar konsumtif.
Pengaturan ulang tempat pemasangan iklan luar ruang di Yogyakarta sudah sangat mendesak. Pemerintah sebaiknya tanggap mengatur dan mengendalikannya dengan menegakkan peraturan daerah tentang pengaturan reklame dan iklan luar ruang, termasuk menata ulang lokasi pemasangannya.
Iklan luar ruang ini juga sudah waktunya dikenai tarif pajak pemasangan baru yang lebih tinggi. Dengan demikian Kota Yogyakarta yang istimewa menjadi lebih istimewa.
WAHYU SATRIO NUGROHO
Pandowan RT 001 RW 001 Kedundang, Temon Wates, Kulonprogo, DIY
Advertorial Kemendagri
Isi advertorial halaman 12 Kompas (30/9) tentang Rapat Kerja Nasional Pencatatan Sipil Tahun 2015 tak sesuai dengan kenyataan. Tawa saya tak terbendung membaca paragraf terakhir mengenai komitmen pemerintah kabupaten dan kota melalui Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil meningkatkan pelayanan jemput bola.
Berdasarkan pengalaman mengurus akta kelahiran, komitmen itu hanya impian. Saya harus menempuh 400 kilometer (Malang-Bojonegoro pulang pergi) untuk mengurus akta kelahiran anak saya. Dinas Pencatatan Sipil Kota Malang tidak mau mencatatkan anak saya sebagai warga negara karena saya tidak memiliki KTP Kota Malang. Meskipun anak saya lahir di Malang, orangtuanya pun sedang bertugas di Malang dan bertempat tinggal di Malang, tetap kami tidak dapat membuat akta kelahiran di Kota Malang atas nama "asas domisili".
Pemerintah menafsirkan Pasal 27, UU No 24/2013, secara serampangan. Di sana memang disebutkan bahwa "Pelaporan kelahiran oleh Penduduk dilaksanakan di Instansi Pelaksana tempat Penduduk berdomisili." Namun, saya tidak menemukan dalam UU tersebut maupun peraturan lain di bawahnya yang menyebutkan bahwa domisili yang dimaksud dalam UU itu diartikan dengan "sesuai dengan KTP".
Jadi, bila dalam advertorial dikatakan hanya 31 persen anak di Indonesia yang memiliki akta kelahiran, tidak menutup kemungkinan bahwa pemerintah melalui Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil dan seluruh instansi terkait memiliki peran yang besar dalam pengurangan hak warga negara untuk dicatat sebagai warga negara.
LOUVIKAR ALFAN CAHASTA
Jl Selat Sunda, Lesanpuro, Kedungkandang, Malang, Jawa Timur
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 10 Oktober 2015, di halaman 7 dengan judul "Surat Kepada Redaksi".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar