Tantangan terbesar adalah membuat mimpi menjadikan pasar tunggal dan basis produksi untuk bersaing di pasar global menjadi kenyataan sesuai komitmen para deklarator ASEAN.
Menjelang integrasi pasar MEA yang akan berlaku efektif 31 Desember 2015, dunia diguncang krisis ekonomi cukup parah, termasuk melanda Indonesia. Komoditas (termasuk perkebunan yang selama ini menjadi andalan Indonesia) mengalami "triple turun", turun produksi, harga, dan permintaan, yang sulit dijelaskan dengan teori ekonomi normal, penawaran-permintaan (supply- demand), diperparah bencana kebakaran hutan dan El Nino.
Seharusnya, di tengah pertumbuhan populasi dunia yang cepat, kebutuhan manusia dan permintaan meningkat, tetapi tiba-tiba ekonomi menyusut secara cepat. Dalam kondisi demikian, pemerintah disibukkan menyelamatkan ekonomi dan berbagai paket kebijakan disiapkan, termasuk memperlancar arus barang. Paralel dengan kebijakan ini, perlu dipikirkan Indonesia menjadi ASEAN-Hub dan regulasi yang disiapkan juga harus mendukung hal tersebut.
Indonesia memiliki potensi besar, lokasi geografis strategis, potensi pelabuhan laut tersebar di banyak area, dan terbesar di ASEAN dalam sumber daya alam, populasi, serta PDB. Tantangannya, bagaimana menjadikan Indonesia sebagai pusat perdagangan ASEAN dengan segala kelebihan tersebut.
Posisi Indonesia di ASEAN
Indonesia merupakan negara terbesar di ASEAN. Namun, berdasarkan data Bank Dunia, PDB per kapita Indonesia tahun 2014 sebesar 3.492 dollar AS masih kalah dari beberapa negara ASEAN lain, urutan kelima setelah Singapura, Brunei, Malaysia, dan Thailand.
Data terbaru Forum Ekonomi Dunia, indeks daya saing global Indonesia (2016-2015) menurun menjadi urutan ke-37 dari 140 negara dibandingkan tahun lalu urutan ke-34 dari 144 negara. Di ASEAN, urutan keempat di bawah Singapura, Malaysia, dan Thailand. Infrastruktur logistik, baik perangkat lunak maupun keras, menjadi tantangan besar, apalagi Indonesia merupakan negara kepulauan di mana keterhubungan antarpulau menjadi penting. Indeks kinerja logistik Indonesia 2014 di urutan ke-53 dari 160 negara atau urutan kelima di ASEAN, di bawah Singapura, Malaysia, Thailand, dan Vietnam.
Data Bank Dunia untuk indeks kemudahan berbisnis per Juni 2014 menunjukkan Indonesia di urutan ke-114 dari 189 negara, di ASEAN urutan ketujuh setelah Singapura, Malaysia, Thailand, Vietnam, Filipina, dan Brunei. Pemerintah menyadari hal ini dan mengantisipasi dengan Program Pelayanan Terpadu Satu Pintu BKPM serta mengeluarkan paket kebijakan ekonomi kedua 2015 dengan fokus mempercepat investasi.
KPMG (2015) melaporkan hasil surveinya yang meliputi dunia usaha, agen pemerintahan, dan masyarakat, Indonesia berada di urutan ke-43 dari 127 negara dalam indeks kesiapan untuk berubah atau urutan kelima setelah Singapura, Malaysia, Filipina, dan Thailand. Kesiapan untuk berubah menghadapi keterbukaan pasar jadi tantangan besar, baik di dunia usaha, pemerintah, maupun masyarakat sendiri.
Di samping indikator ekonomi di atas, dalam perdagangan produk pangan, secara teknis masih banyak hambatan nontarif, seperti harmonisasi standar, keamanan pangan, registrasi, label, halal, dan sebagainya. Juga kesiapan pengawasannya seperti laboratorium uji, lembaga sertifikasi, dan lain-lain. Saat ini, Indonesia masih perlu menambah laboratorium uji serta lembaga sertifikasi, apalagi sebagai negara terbesar di ASEAN, Indonesia belum memiliki ASEAN Food Reference Laboratories (AFRLs) sebagai acuan jika terjadi perselisihan dalam perdagangan.
Padahal, beberapa negara sudah ditunjuk sebagai AFRLs, seperti Vietnam (mikrobiologi), Singapura (residu pestisida dan myco-toxin), Thailand (logam berat dan residu veterinary), serta Malaysia (produk genetically modified organism). Saat ini Indonesia masih dalam proses pengajuan menjadi AFRLs bahan tambahan pangan, bersama Thailand food contact material.
Kesiapan Indonesia
Bicara kesiapan UKM, banyak yang harus disiapkan untuk bisa berdaya saing di ASEAN, mulai dari kemampuan pengetahuan dan teknologi, akses keuangan, hingga pasar. Lebih dari 1.243.185 unit usaha UKM industri pangan (BPS 2014) harus dipikirkan agar mereka tetap bisa bertahan memasuki MEA.
Indikator di atas harus menjadi pemicu Indonesia berubah dan siap menghadapi integrasi MEA. Pekerjaan rumah masih banyak, apalagi di tengah situasi ekonomi yang memburuk saat ini. Bagaikan menghitung hari, persiapan menuju MEA harus paralel dengan paket kebijakan mengatasi pelambatan ekonomi.
Diyakini kajian dampak MEA sudah banyak dilakukan. Meskipun belum siap, Indonesia dalam posisi sulit untuk meminta penundaan, apalagi Indonesia merupakan motor penting dan pelopor di ASEAN. Untuk itu, the show must go on. Perlu dilakukan, pertama, semua kementerian dan lembaga menyiapkan "Gugus Tugas Permanen MEA" yang bertugas mengawal persiapan dan mengantisipasi dampaknya serta mengintegrasikan dengan sistem yang ada sebagai Rapid Alert System (RAS) MEA.
Kedua, paket kebijakan mengatasi pelemahan ekonomi diselaraskan dengan kesiapan MEA. Ketiga, mempercepat harmonisasi teknis di dalam negeri dan mengusulkan penundaan spesifik apabila memang belum siap. Keempat, mengintensifkan informasi serta edukasi agar masyarakat tahu apa yang harus dilakukan dan siap menghadapinya.
Semoga hari-hari menjelang integrasi MEA bisa disiapkan dengan baik dan sukses.
ADHI S LUKMANKETUA UMUM GABUNGAN PENGUSAHA MAKANAN DAN MINUMAN SELURUH INDONESIA; ANGGOTA POKJA AHLI DEWAN KETAHANAN PANGAN INDONESIA; KETUA KOMITE TETAP PENGEMBANGAN INDUSTRI PRIMER PERTANIAN KADIN INDONESIA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar