Hak inisiatif DPR untuk merevisi Undang-Undang KPK digulirkan dan itu hanya memberi hak hidup KPK 12 tahun lagi. Entah apa kerangka berpikir dan naskah akademis bahwa KPK hanya boleh hidup sampai 12 tahun lagi. KPK lahir melalui perjuangan reformasi yang ditandai dengan lahirnya Ketetapan MPR Nomor XI Tahun 1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Kita mempertanyakan apakah ada kajian akademis komprehensif bahwa 12 tahun lagi KPK sudah tidak diperlukan. Atau itu lebih karena keputusan emosional akibat kian banyak kepentingan politik yang terganggu oleh kiprah KPK.
Dalam perjalanan menuju "kematiannya", kewenangan KPK dipangkas, termasuk kewenangan penuntutan dan penyadapan. Harus diakui penyadapan merupakan senjata ampuh KPK untuk menjerat pejabat negara perampok uang negara, termasuk para pemimpin parpol dan anggota DPR. Tanpa kewenangan penyadapan, kasus Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar, yang merupakan skandal korupsi besar di negeri ini, tidak akan terungkap.
Pelemahan KPK juga bisa terjadi saat seleksi lima pemimpin KPK. Dengan semangat untuk melemahkan KPK, DPR bisa memilih pimpinan KPK yang relatif paling lemah. Masyarakat menantikan bagaimana upaya pelemahan KPK—dalam bahasa politisi DPR penataan kelembagaan—dilakukan dan akhirnya KPK akan menjadi sejarah; sama dengan komisi anti korupsi lain, seperti Komisi Empat dan Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara.
Berdasarkan sejumlah survei, korupsi termasuk masalah bangsa yang belum bisa diselesaikan. Ibarat perang, pertempuran melawan korupsi adalah perang yang belum berhasil kita menangi. Korupsi telah memiskinkan bangsa ini. Melakukan korupsi di negeri ini dan menempatkan dananya di negara lain adalah cara tidak etis yang tidak membutuhkan pengampunan secara formal.
Dalam kerangka berpikir itulah sebenarnya peranan KPK harus diperkuat, bukan malah diperlemah. Sejarah KPK menunjukkan selalu terjadi "serangan" pidana terhadap pimpinan KPK saat KPK menjerat koruptor kakap. Pembelaan LSM atau publik terhadap KPK bukanlah menutup mata terhadap kelemahan dalam KPK. Dugaan kriminal terhadap pimpinan KPK bisa terjadi, tetapi konstruksi hukum yang dibangun hendaknya seiring dengan rasionalitas publik. Ketika akal sehat publik terganggu, pembelaan terhadap KPK terjadi. Sejarah akan mencatat partai mana yang sebenarnya serius mendukung KPK, partai yang pura-pura mendukung KPK, atau partai yang tidak mendukung KPK dan pemberantasan korupsi.
Kita berharap Presiden Joko Widodo tetap pada komitmen awalnya dalam Nawacita untuk memperkuat KPK dan bukan melemahkannya.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 9 Oktober 2015, di halaman 6 dengan judul "Gerilya Melemahkan KPK".
Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar