Jadilah Indonesia sebagai satu-satunya negara penyelenggara pilkada serentak di dunia ini, kelak. Sistem pilkada baru ini diyakini sukses jika efisiensi dapat diraih sembari mengatasi terjadinya petualang politik sesaat, yang sering kali terjadi pada masa lalu.
Namun, bayang-bayang ketidaksuksesan pilkada serentak pun menghantui, dengan sejumlah dampak buruk yang tidak ringan bagi kelangsungan hidup bangsa dan negara Indonesia dapat terjadi. Konflik yang masif adalah bayangan pertama. Kedua, gangguan administrasi peradilan jika gelombang keberatan masuk di Mahkamah Konstitusi menumpuk, dan stagnasi birokrasi sejumlah pemerintah daerah, serta sejumlah dampak lain. Oleh karena itu, kita wajib memikirkannya.
Merilee S Grindle telah melakukan penelitian di sejumlah negara Amerika Latin pada dekade 1990-an. Di negara-negara tersebut, masyarakat merasakan mekanisme baru memilih pemimpin lokalnya yang semula tidak dianut. Namun, Grindle (2000) menyebut terjadinya apa yang dia namakan sebagaiaudacious reforms (reformasi odasios). Dia jelaskan bahwa "Audacious reforms are those for which there are no obviously compelling answers to the question, "Why would politicians, concerned about the electoral consequences of their actions, choose such a change?"
Grindle meyakini semua bermuara pada motivasi auktor-auktor politik. Asumsinya adalah, pertama, sangat dipengaruhi oleh perilaku politik para auktor tersebut. Kedua, sama sekali bukan diarahkan untuk menciptakan nilai baru dalam distribusi kekuasaan di antara mereka, melainkan melanggengkan yang ada dengan wajah baru. Ketiga, tidak ada yang mampu mengantisipasi apa yang akan terjadi, atau tidak ada kemampuan untuk memprediksi apa yang akan terjadi sehingga amat bergantung pada kompetisi antar-auktor politik itu sendiri.
Di Indonesia, pelaksanaan pilkada langsung mendapat acungan jempol. Penjelasan mengapa hal ini dapat terjadi adalah bahwa pada masa sebelumnya, saat pilkada melalui DPRD, sistem kita menganut tata lembaga DPRD yang kuat yang mampu menjatuhkan kepala daerah di tengah roda kepemerintahannya. Tak heran bila kemudian birokrasi pun mampu dibuat seolah tidak berdaya. Pola ini terjadi pada masa UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Tidak berumur panjang, UU ini diganti oleh UU No 32/2004.
Kepala daerah di bawah UU No 32/2004 memiliki posisi yang kuat dengan adanya pilkada langsung. Kepala daerah yang kuat membawa jajaran birokrasi lokal dapat berlindung di bawah kepala daerah menghadapi DPRD. Namun, sebetulnya sistem ini pun menakutkan bagi sejumlah birokrat. Para kepala daerah sering kali mudah menggeser para birokrat yang diketahui tidak mendukungnya dalam pilkada. Untunglah kini keluar UU No 5/2014 tentang Aparatur Sipil Negara. Para birokrat pun kembali sedikit nyaman.
Tata lembaga baru
Secara umum, pergeseran UU No 22/ 1999 ke UU No 32/2004 disikapi matang oleh jajaran birokrasi lokal dan nasional. Dengan demikian, perilaku odasios tidak kental terjadi di Indonesia saat terjadi perpindahan dari mekanisme pemilihan melalui DPRD ke pilkada langsung. Berbeda dengan di Amerika Latin.
Pilihan pilkada serentak sesungguhnya juga bukan tidak mengandung risiko. Terdapatnya sejumlah pertanda odasios, antara lain, pertama, pilihan atas pilkada serentak yang dibumbui tarik-menarik antara pilkada langsung dan tak langsung (melalui DPRD) memperkuat kesimpulan bahwa tidak diyakininya oleh para politisi atas pilkada langsung dengan mekanisme baru. Kedua, pilkada serentak tetap tidak menambah nilai baru dalam demokrasi dan beberapa elemen bangsa Indonesia, dalam hal ini sangat pragmatis. Ketiga, mengenai apa yang akan terjadi dalam periode kepemimpinan hasil pilkada serentak ini di tingkat nasional/daerah pun tidak ada yang optimistis, bahkan sebaliknya berpikir pesimistis.
Pilkada serentak pun dianggap upaya pragmatis untuk kekuasaan semata, bukan untuk perbaikan kondisi pelayanan publik lokal, kesejahteraan masyarakat atau kemajuan bangsa. Penilaian terhadap pilkada langsung mandiri tiap daerah, di mana seolah dalam setahun Indonesia rata-rata per tiga hari mengadakan pemilu amatlah tidak tepat.
Biaya yang besar seolah dapat efisien jika dijadikan serentak pun belum tentu benar. Antardaerah memiliki lingkup masing- masing, tentu tidak kompatibel jika dijadikan ukuran waktu untuk Indonesia secara nasional. Otonomi menuntut keberagaman, termasuk penyelenggaraan pilkada. Biaya masing-masing pun tetap sama jika dijadikan satu, bahkan sesuai perkembangan inflasi bisa jaditambah membengkak ketika dibuat serentak.
Antisipasi terhadap munculnya perilaku odasios" tidak lain adalah tata lembaga baru pilkada harus segera disiapkan oleh pemerintah sebagai siasat atas segala kemungkinan yang akan terjadi, jika tak ingin keterpurukan menghampiri bangsa ini. Komunikasi politik yang baik harus dibangun di antara berbagai elemen mengenai pilihan pilkada serentak tersebut.
Kunci utama tata lembaga baru adalah perlunya pemahaman oleh semua elemen, termasuk jajaran birokrasi lokal dan nasional, mengenai nilai baru apa yang ingin diraih dalam pilkada serentak. Niscaya, dari sini program-program antisipatif akan ditetapkan dengan sendirinya, mengikuti nilai-nilai baru. Akhirnya kelak pilkada pun terlembagakan dengan wajah baru. Semoga!
IRFAN RIDWAN MAKSUM, GURU BESAR TETAP FAKULTAS ILMU ADMINISTRASI UI
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 3 November 2015, di halaman 7 dengan judul "Pilkada Serentak, Reformasi Odasios".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar