Anggaran subsidi energi yang pada 2013 dan 2014 melebihi Rp 300 triliun, pada 2015 dapat ditekan hingga menjadi sekitar Rp 115 triliun. Untuk tahun 2016, anggaran subsidi energi diperkirakan menjadi Rp 121 triliun.
Ada dua hal yang menjadi penyebab utama turunnya anggaran subsidi secara signifikan. Pertama, turunnya rata-rata harga minyak dari kisaran 100 dollar AS per barrel menjadi sekitar 60 dollar AS per barrel. Kedua, penerapan kebijakan reformasi subsidi energi melalui langkah penyesuaian harga yang cukup tepat, baik untuk harga bahan bakar minyak (BBM) maupun tarif listrik.
Untuk BBM, subsidi bensin premium dicabut dan subsidi solar ditetapkan konstan Rp 1.000 per liter. Untuk listrik, diterapkan kebijakan penyesuaian tarif otomatis secara berkala. Meskipun ada unsur "tertolong" harga minyak rendah dan masih ada sedikit inkonsistensi dalam implementasinya, kebijakan reformasi subsidi energi yang diterapkan merupakan perbaikan fundamental nyata yang telah dilakukan pemerintahan Jokowi-Kalla selama satu tahun ini.
Namun, perbaikan dan prestasi itu masih jauh dari cukup untuk dapat menjawab tantangan dan permasalahan sektor energi yang terus bergerak (lebih) cepat dan berkembang sedemikian kompleks. Diperlukan tidak hanya kerja keras yang ekstra, tetapi juga kerja cerdas yang tidak sekadar memandang dan memperlakukan permasalahan energi sebagai permasalahan biasa-biasa saja (business as usual).
Di sinilah saya melihat "sentuhan" khas Presiden Jokowi yang identik dengan sederhana, taktis, efektif, dan efisien sangat relevan. Hal ini yang terasa kurang ada di sektor energi selama satu tahun ini. Meskipun jajaran birokrasi pemerintah di sektor energi tampak berupaya sangat keras meyakinkan publik bahwa kerja keras telah dilakukan, dan mungkin memang seperti itu adanya, tetapi saya melihat sektor energi masih minim terobosan cerdas ala Presiden Jokowi.
Lambatnya kepastian mendapatkan investor kilang, misalnya, mungkin tidak harus diatasi dengan cara "konvensional" dengan menunggu penerbitan peraturan presiden (perpres), tetapi langsung kepada pokok permasalahan bahwa yang prinsip adalah bagaimana menjamin investor mendapatkan tingkat pengembalian investasi yang kompetitif. Kendala perizinan untuk kegiatan eksplorasi dan produksi hulu migas mestinya akan jauh lebih sederhana jika dilakukan sistem perizinan satu pintu secara langsung di SKK Migas atau di Direktorat Jenderal Migas, daripada melimpahkan sebagiannya ke BKPM seperti yang sekarang dilakukan.
Masalah pembebasan lahan mungkin harus diatasi dengan menjadikan eksekusi sebagai tugas institusi pemerintah, bukan investor. Kelambanan pengembangan energi baru terbarukan, seperti panas bumi dan bahan bakar nabati, mungkin perlu diatasi dengan menugaskan BUMN untuk menjadi off-taker, tetapi dengan kompensasi pengurangan setoran dividen. Atau, dalam hal krisis listrik, mungkin tidak harus diselesaikan dengan cara terpusat dan cenderung bombastis seperti program 35.000 MW, tetapi dengan pendekatan yang mengedepankan pemberdayaan (pemerintah) daerah dan berangkat dari kebutuhan tiap-tiap daerah.
Tentu tidak semua terobosan seperti contoh di atas dapat diimplementasikan dengan mudah. Akan tetapi, mengingat sektor energi adalah kunci, sementara tantangan permasalahan di dalamnya bergerak cepat dan semakin kompleks, pendekatan penyelesaian masalah yang tidak selalu terpaku pada pola birokrasi reguler yang sudah ada mestinya lebih mewarnai cara pengelolaan sektor energi sekarang dan ke depan.
Penyelenggara pemerintahan di sektor energi dengan seluruh jajaran institusi dan sumber daya di dalamnya perlu lebih kreatif dan konkret dalam menerjemahkan visi dan karakteristik Presiden Jokowi dalam menjawab tantangan dan menyelesaikan permasalahan yang ada.
PRI AGUNG RAKHMANTO
DOSEN DI FTKE UNIVERSITAS TRISAKTI; PENDIRI REFORMINER INSTITUTE
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 2 November 2015, di halaman 6 dengan judul "Terobosan Sektor Energi".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar