Pertengahan pekan ini, Komite Olimpiade Australia merilis analisis terhadap kekuatan olahraga beberapa negara. Berdasarkan performa atlet di berbagai turnamen elite 2015, Tiongkok diprediksi bisa menjadi juara umum Olimpiade 2016 seperti ketika menjadi tuan rumah Olimpiade 2008. Atlet-atlet Tiongkok diperkirakan meraih 39 emas, unggul dari Amerika Serikat (35 emas) dan Rusia (25).
Olimpiade biasa digunakan sebagai indikator kekuatan olahraga sebuah negara, termasuk Indonesia. Untuk Asia ada Asian Games dan SEA Games untuk level Asia Tenggara. Seperti Olimpiade, kekuatan Indonesia di Asian Games dan SEA Games makin tak terlihat.
Di SEA Games Singapura 2015, Indonesia di peringkat kelima dengan 47 emas, 61 perak, dan 74 perunggu. Kita tertinggal jauh dari juara umum Thailand (93 emas, 83 perak, dan 69 perunggu). Peringkat kedua hingga keempat ialah Singapura, Vietnam, dan Malaysia.
Hasil di Singapura menjadi perpanjangan dari episode terpuruknya prestasi olahraga Indonesia dalam berbagai multicabang internasional, dari Olimpiade hingga SEA Games. Emas Olimpiade yang didapat sejak Olimpiade Barcelona 1992, misalnya, terhenti di London (2012).
Sejak memastikan diri akan menjadi tuan rumah Asian Games 2018, Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) sibuk menghitung peluang peringkat Indonesia. Indonesia bisa memenuhi target menempati 10 besar jika (minimal) bisa memperoleh 10 emas. Kemenpora bahkan membidik peringkat ke-8 dengan syarat minimal 12 emas. Jika ingin ada di urutan ke-5, atlet-atlet Merah Putih setidaknya harus meraih 18 emas.
Deputi IV Kemenpora Bidang Peningkatan Prestasi dan Olahraga Djoko Pekik Irianto mengatakan, penghitungan itu didasarkan pada rekam jejak prestasi Indonesia di Olimpiade, Asian Games, dan SEA Games. Padahal, di sebagian besar Asian Games, termasuk dalam empat penyelenggaraan terakhir, emas Indonesia tak pernah lebih dari empat. Menaikkan perolehan empat emas di Asian Games Incheon 2014 menjadi 10 emas dalam selisih empat tahun tak akan mudah.
Bulu tangkis, cabang yang selalu ditunggu medali emasnya (termasuk ketika sedang terpuruk), tetap menjadi andalan. Angkat besi, dayung, wushu, karate, dan voli pantai juga diharapkan menyumbang emas meski selama ini baru bisa meraih perak sebagai hasil terbaik.
Cabang lain yang menjadi bidikan Indonesia ialah pencak silat, bridge, dan panjat tebing. Ini adalah cabang tambahan usulan Indonesia sebagai tuan rumah.
Membidik emas dari ketiga cabang itu untuk mendongkrak peringkat memang sah-sah saja. Namun, apa yang akan terjadi pada Asian Games berikutnya ketika ketiga cabang itu tak dipertandingkan?
Cermin untuk hal ini ada pada SEA Games. Di SEA Games Jakarta-Palembang 2011, Indonesia meraih juara umum dengan 182 emas, 151 perak, dan 143 perunggu. Merah Putih unggul telak, termasuk atas Thailand di peringkat kedua (109 emas, 100 perak, dan 120 perunggu).
Namun, 43 persen emas Indonesia berasal dari cabang tambahan, yaitu cabang yang tak selalu dipertandingkan di SEA Games, apalagi di Asian Games dan Olimpiade. Beberapa cabang itu di antaranya sepatu roda (12 emas), paralayang (11), panjat dinding (9), dan pencak silat (9).
Setelah menjadi juara umum pada SEA Games 2011, perolehan medali dan peringkat Indonesia anjlok pada dua SEA Games berikutnya. Di Naypyitaw (Myanmar) 2013, Indonesia ada di peringkat keempat dengan 65 emas, 85 perak, 110 perunggu. Di Singapura, peringkat dan emas Indonesia kembali turun.
Kondisi itu berulang karena negara ini tak punya cetak biru yang detail dan berkesinambungan untuk olahraga, termasuk olahraga prestasi. Pelatnas sering kali digelar mepet dengan pelaksanaan kompetisi. Ini belum ditambah berbagai masalah pendanaan yang selalu berulang.
Menjelang Olimpiade Rio de Janeiro, 5-21 Agustus 2016, Satlak Prima-sebelum dipimpin Achmad Soetjipto yang terpilih pada pertengahan Oktober-sebagai penanggung jawab pelatnas, baru meminta program latihan pada 12 cabang pilihan di pekan pertama September 2015. Padahal, sejak dua hingga setahun sebelum Olimpiade, banyak federasi olahraga internasional menggelar kualifikasi untuk memperebutkan tiket Olimpiade.
Jika mengacu pada proses periodisasi latihan-terdiri dari persiapan umum, persiapan khusus, uji coba, dan kompetisi-masa kualifikasi bisa dikategorikan dalam tahap uji coba. Itu artinya, atlet yang tampil di kualifikasi seharusnya telah menjalani latihan panjang.
Pengurus Pusat Persatuan Bulu Tangkis Seluruh Indonesia (PP PBSI) pernah mempraktikkan persiapan empat tahun untuk Olimpiade Barcelona 1992, saat bulu tangkis pertama kali dipertandingkan. PBSI menjalankan program seusai Seoul 1988, dimulai dengan memilih pemain muda potensial. Para senior dinilai sulit berprestasi karena faktor usia.
"Di tunggal putri, PBSI menentukan enam pemain. Tiga tahun sebelum Olimpiade, tersisa tiga atlet. Setahun sebelumnya, dua atlet lolos berdasar ranking dunia," cerita Susy Susanti, atlet Indonesia pertama peraih emas Olimpiade.
Pemetaan cabang unggulan
Memetakan cabang unggulan dengan target medali di setiap multicabang internasional juga perlu dilakukan, apalagi dengan anggaran yang selalu terbatas.
Tak seperti Tiongkok, Indonesia tak bisa mengandalkan semua dana dari pemerintah. Indonesia juga belum bisa seperti Amerika Serikat yang telah menjadikan olahraga sebagai industri hingga tak usah menunggu dana pemerintah.
Insan olahraga di negeri ini memerlukan dukungan pemerintah dan swasta, tidak hanya bergantung pada perseorangan yang punya banyak uang dan cinta pada olahraga seperti yang selama ini terjadi.
Dengan dana terbatas inilah, memilah cabang olahraga dengan indikator dan target tertentu bisa menjadi langkah efektif. Thailand, misalnya, memberi anggaran lebih besar pada cabang olahraga unggulan sehingga hasilnya lebih maksimal. Tinju selalu menjadi lumbung emas Thailand di SEA Games, Asian Games, dan meraih emas Olimpiade Atlanta 1996, Sydney 2000, Athena 2004, dan Beijing 2008.
Catatan bahwa Indonesia pernah meraih emas Olimpiade menjadi bukti bahwa atlet dari cabang tertentu mampu bersaing di tingkat dunia. Untuk itu, jejak perolehan medali bisa menjadi salah satu indikator pemetaan cabang, dengan syarat medali itu diperoleh dengan konsisten.
Pemetaan ini harus berjenjang mulai dari Olimpiade hingga SEA Games. Cabang Olimpiade merupakan cabang yang konsisten meraih medali Olimpiade dan emas Asian Games. Cabang yang tak terpilih sebagai cabang Olimpiade bisa dikategorikan dalam cabang Asian Games, yaitu cabang yang konsisten meraih medali Asian Games dan emas SEA Games.
Untuk SEA Games, semua cabang bisa berpartisipasi. Namun, ada syarat yang bisa diberlakukan pada cabang Olimpiade dan Asian Games, yaitu harus mengikutsertakan atlet lapis kedua.
Berdasarkan itu, bulu tangkis dan angkat besi bisa dikategorikan dalam cabang Olimpiade. Sementara cabang seperti wushu, karate, dan dayung bisa didorong untuk menjadi cabang Asian Games meski selama ini cukup sulit meraih emas.
Pemetaan dari rekam jejak medali ini bisa fleksibel berdasarkan performa setiap cabang. Penggantian cabang bisa berlaku berdasarkan evaluasi untuk jangka waktu tertentu, misalnya 2-3 kali Olimpiade.
Selain itu, ada faktor lain yang bisa dijadikan indikator pemetaan cabang, seperti berdasar antropometri (ilmu tentang dimensi tubuh manusia). Namun, untuk menerapkan indikator ini, tentu akan lebih baik jika dilengkapi kajian ilmiah.
Korea Utara, dikutip dari BBC, telah melakukan ini. Fisik orang Korea Utara yang berkaki dan berlengan pendek, serta berpunggung panjang, adalah keuntungan menjadi lifter. Ditambah dengan pelatnas ketat-Kim Jong-un mendorong angkat besi sebagai cabang andalan-lifter Korea Utara meraih empat emas Olimpiade, tiga di antaranya dari London 2012.
Memilih cabang unggulan, seperti dilakukan Thailand dan Korea Utara, bisa dilakukan Indonesia. Apalagi, Satlak Prima di bawah komando Soetjipto akan menggelar pelatnas berdasar sports science (ilmu pengetahuan olahraga).
Maka, atlet pun tak sekadar tampil di Olimpiade karena kebetulan lolos kualifikasi. Mereka bisa membuat "Indonesia Raya" berkumandang karena prestasi olahraga sebuah negara sesungguhnya bisa didesain.
(YULIA SAPTHIANI)

Tidak ada komentar:
Posting Komentar