Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 19 Desember 2015

"Quo Vadis" Sepak Bola Indonesia? (Kompas)

Tahun prahara sepak bola. Itulah kalimat yang bisa menggambarkan perjalanan sepak bola Indonesia sepanjang 2015. Konflik tak berujung antara PSSI dan Kementerian Pemuda dan Olahraga sejak awal tahun berujung jatuhnya skorsing Federasi Asosiasi Sepak Bola Internasional (FIFA) pada 30 Mei. Untuk pertama kali sejak republik berdiri, Indonesia dikucilkan dari kancah sepak bola dunia.

Sepak bola Tanah Air mati suri. Sejak pertengahan tahun lalu, rakyat Indonesia tidak lagi bisa menyaksikan tim "Garuda" memperjuangkan Merah Putih di berbagai turnamen internasional.

Lebih jauh lagi, kompetisi Liga Indonesia, baik itu Liga Super Indonesia (ISL), Divisi Utama, maupun Liga Nusantara (amatir)-yang selama ini menjadi jantung pembinaan sepak bola nasional dan menghidupi ratusan ribu anak bangsa-pun terhenti.

Akibatnya, ribuan insan sepak bola di sejumlah wilayah menganggur, sebagian beralih profesi menjadi tukang ojek, petugas satpam, wirausaha, bahkan kuli bangunan. Berbagai turnamen sepak bola bentukan pemerintah, yaitu Piala Kemerdekaan, Piala Presiden, dan Piala Jenderal Sudirman, yang digelar akhir-akhir ini hanya sejenak menghapuskan dahaga segelintir pelaku sepak bola.

Prahara sepak bola nasional bukan hal baru di Indonesia. Gonjang-ganjing serupa pernah terjadi pada 2011. Didasari semangat mereformasi kompetisi sepak bola nasional, sekelompok pihak yang direstui mantan Menteri Pemuda dan Olahraga Andi Mallarangeng melahirkan liga tandingan (breakaway league) bernama Liga Primer Indonesia (IPL).

Itu lantas memantik perpecahan atau dualisme PSSI. Butuh waktu lama, yaitu dua tahun, untuk mengakhiri konflik ini. Itu pun setelah FIFA turun tangan membentuk Komite Normalisasi PSSI yang dipimpin tokoh sepak bola Agum Gumelar.

Banyak klub sepak bola merasakan pedihnya masa "kegelapan" itu. Alih-alih ada perbaikan kualitas sepak bola, banyak klub, terutama eks IPL, yang menelantarkan para pemainnya pada masa itu. Sedikitnya lima pesepak bola, salah satunya Diego Mendieta asal Paraguay, meregang nyawa.

Pasca unifikasi ISL dan IPL pada 2013, kompetisi sepak bola Tanah Air merangkak dari nol kembali. Dalam kurun 2013 hingga akhir 2014 masih banyak "compang-camping" yang melekat pada Liga Indonesia. Kasus-kasus tunggakan gaji pemain, walaupun tidak separah pada 2011-2013, terus terjadi. Hal paling memalukan adalah mencuatnya kasus "sepak bola gajah" antara PSS Sleman dan PSIS Semarang di Divisi Utama, Oktober 2014.

Fenomena sepak bola gajah itu menandakan, mafia judi masih menancapkan kukunya di sepak bola Indonesia. Menpora Imam Nahrawi geram melihat buramnya wajah dan prestasi sepak bola kita. Dengan misi memperbaiki sepak bola nasional, ia berinisiatif membentuk Tim Sembilan, akhir 2014. Tim itu mulai bekerja pada awal 2015.

Namun, kelahiran tim yang anggotanya terdiri atas beragam kepakaran itu mendapat resistensi dari PSSI yang ketika itu dipimpin Djohar Arifin Husin dan La Nyalla Mattalitti (wakil ketua). Langkah Tim Sembilan yang mendorong PSSI berbenah dan obyektif, salah satunya dalam melakukan uji kelaikan dan kepatutan secara terbuka terhadap calon ketua umum PSSI, hanya dianggap angin lalu.

Pada saat sama, Badan Olahraga Profesional Indonesia (BOPI) yang didukung Tim Sembilan tidak lagi mau hanya menjadi "stempel" izin keramaian berbagai kompetisi yang digulirkan PSSI. BOPI lantas memberlakukan syarat ketat bagi klub-klub yang ingin berkompetisi di ISL, salah satunya mengingatkan soal kewajiban pajak dan persoalan dualisme kepemilikan dua klub, Persebaya Surabaya dan Arema Cronus.

Ratusan miliar rupiah

BOPI dan Tim Sembilan merekomendasikan PSSI dan PT Liga Indonesia (operator kompetisi ISL) menunda ISL musim 2015 sebelum persoalan dualisme klub itu selesai. Sementara publik menuntut pengurus PSSI transparan mengelola keuangan agar tidak diselewengkan, terlepas mereka telah lama tidak lagi menerima dana dari APBN.

Publik juga mengkritisi PSSI yang didominasi pengurus-pengurus yang dimonopoli aktivis parpol tertentu dan sekelompok pebisnis tertentu yang selama ini menikmati industri sepak bola senilai ratusan miliar rupiah per tahun.

Namun, semua masukan tersebut diabaikan PSSI. Mereka berlindung pada Statuta FIFA yang mengharamkan intervensi dari pihak luar, termasuk pemerintah. Tiga surat peringatan dari Menpora-yang dilayangkan dalam waktu sangat singkat, dua di antaranya hanya 1 x 24 jam-tak digubris PSSI yang sibuk menyiapkan kongres luar biasa (KLB) untuk memilih pengurus baru.

Maka, lahirlah Surat Keputusan (SK) Menpora Nomor 01307 Tahun 2015 yang jatuh persis sehari menjelang KLB PSSI, 18 April, yang mengangkat La Nyalla Mattalitti sebagai ketua umum yang baru. SK itu mengatur pembekuan dan pengambilalihan semua kegiatan PSSI oleh pemerintah yang dijalankan melalui Tim Transisi. Kepengurusan La Nyalla tidak diakui pemerintah meskipun FIFA dan Komite Olahraga Nasional Indonesia mengesahkan.

Pemerintah RI dianggap mengintervensi PSSI. Semenjak itu, giliran Menpora yang mengabaikan berbagai langkah PSSI untuk meminta pencabutan SK pembekuan itu. Ajakan La Nyalla untuk berdiskusi berkali-kali diabaikan Menpora.

Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Timur pada 14 Juli yang memerintahkan pencabutan SK No 01307 karena dianggap cacat hukum (diperkuat putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta pada akhir Oktober) hanya dijawab Kemenpora dengan perlawanan hukum, yaitu banding dan kasasi.

Tak ayal, hingga detik ini, drama dan prahara itu belum berakhir meskipun FIFA telah memberikan solusi, yaitu membentuk komite ad hoc reformasi PSSI yang beranggotakan multipihak, termasuk pemerintah dan unsur PSSI. Pemerintah enggan bergabung di komite itu karena belum mau mengakui kepengurusan La Nyalla. Bagi mereka, pergantian pengurus untuk mereformasi total PSSI seolah harga mati.

Di sisi lain, La Nyalla bersikeras mempertahankan jabatannya karena praktiknya ia belum bekerja sebagai ketua yang baru. Ia bertekad mendukung reformasi PSSI dan enggan menjadi kambing hitam berbagai borok PSSI di masa lalu. Kengototannya itu kian kuat karena ia bukan Presiden FIFA nonaktif Sepp Blatter atau Presiden UEFA nonaktif Michel Platini yang dihukum FIFA karena kasus dugaan suap atau korupsi.

Komite reformasi

Kontras dengan ingar-bingar korupsi FIFA, dunia sepak bola Indonesia seperti tidak tersentuh penegak hukum. Bahkan, pengaduan pengaturan skor sistemik yang ramai digunjingkan pertengahan tahun, termasuk yang menimpa tim nasional U-23 Indonesia di SEA Games 2015, ke Polri seolah menguap tanpa tidak lanjut aparat. Tanpa lanjutan penyelidikan aparat, kasus itu hanya berakhir sebagai fitnah.

Kini, penyelesaian kisruh sepak bola Tanah Air kini hanya bisa selesai jika ada niat tulus dari PSSI untuk berbenah. Pemerintah, melalui Menpora, juga tidak boleh buru-buru apatis dengan komitead hoc reformasi bentukan FIFA-lembaga yang kini tengah berbenah diri. Pembenahan PSSI, sesuai Statuta FIFA, hanya bisa dilakukan dengan melibatkan PSSI. Apalagi, itu melibatkan pula unsur pemain (Asosiasi Pesepak Bola Profesional Indonesia) yang selama ini terpinggirkan dalam pengambilan kebijakan penting sepak bola nasional.

Komite serupa, yang juga dibentuk dalam proses reformasi FIFA, adalah fondasi untuk membenahi sistem tata kelola sepak bola Tanah Air yang selama ini karut-marut. Apalagi, FIFA telah memberikan ruang lingkup hal-hal yang dapat dibenahi, yaitu mencakup perbaikan jaminan perlindungan hak-hak pemain, pembenahan kompetisi serta lisensi klub, dan peninjauan ulang Statuta PSSI untuk memastikan dipenuhinya tata kelola sepak bola yang baik dari PSSI.

Melalui komite itu, pemerintah bisa mengusulkan, misalnya, pengetatan kontrol etika terhadap pengurus dan komite eksekutif PSSI. Para pengurus, misalnya, dibatasi masa kerjanya dan dilarang terafiliasi dengan parpol atau entitas bisnis tertentu. Atau, mewajibkan transparansi laporan keuangan di PSSI. Itu penting guna menghindari penyelewengan atau cengkeraman kelompok tertentu dari luar PSSI.

Ketentuan itu perlu dituangkan dalam Statuta PSSI sepanjang tidak menyalahi Statuta FIFA agar sistem itu langgeng, terlepas siapa pun ketuanya. Memaksakan pergantian rezim di PSSI bukanlah jaminan perbaikan sepak bola Tanah Air selama tidak ada perbaikan sistem yang menyeluruh. Pemaksaan sepihak justru berpotensi menuai konflik baru seperti 2011.

Agum Gumelar-Ketua Dewan Kehormatan PSSI-yang kembali dipercaya FIFA memimpin komite itu tentu tidak akan mempertaruhkan nama besar dan kehormatannya dengan semata mempertahankan kepentingan kelompok tertentu. Apalagi, ia menjamin seluruh pengambilan keputusan komite itu dilakukan secara musyawarah, berprinsip kolektif dan kolegial. Patut diingat, sepak bola Indonesia sejatinya bukanlah milik FIFA, PSSI, ataupun pemerintah. Sepak bola adalah milik bersama rakyat Indonesia. "Kepemimpinan adalah soal melakukan hal-hal dengan cara yang benar," tulis Peter F Drucker, cendekiawan dari Austria.

(YULVIANUS HARJONO)

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 19 Desember 2015, di halaman 7 dengan judul ""Quo Vadis" Sepak Bola Indonesia?".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger