Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 19 Desember 2015

TAJUK RENCANA: Capim KPK dan Revisi UU KPK (Kompas)

Dua tokoh anti korupsi, Busyro Muqoddas dan Johan Budi SP, terpental dari pencalonan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi.

Busyro bersama Roby Arya Brata menjalani uji kelayakan dan kepatutan tahun 2014. Namun, Komisi III DPR menunda pemilihan keduanya dan membarengkan pemilihan dengan delapan calon pimpinan KPK lain.

Busyro yang pernah menjadi pemimpin KPK hanya dipilih dua anggota Komisi III DPR. Adapun Johan, yang secara terbuka menyatakan menolak revisi Undang-Undang KPK, juga gagal menjadi pemimpin KPK. Pelaksana Tugas Wakil Ketua KPK ini dipilih 25 suara anggota Komisi III, kalah dari calon lain. Roby juga gagal.

Komisi III memilih Agus Rahardjo sebagai Ketua KPK 2015-2019 dengan Wakil Ketua Inspektur Jenderal Basaria Panjaitan, Saut Situmorang (Staf Ahli Kepala BIN), Alexander Marwata (hakim tipikor), dan Laode M Syarif (akademisi). Bagi sebagian pegiat anti korupsi, terpentalnya Busyro dan Johan bisa menjadi mendung bagi pemberantasan korupsi di negeri ini. Akan tetapi, itulah selera politik Komisi III DPR yang harus kita terima sebagai putusan politik. DPR tampaknya ingin menjadikan KPK lebih terfokus pada aspek pencegahan korupsi dibandingkan penindakan.

Apakah pemberantasan korupsi akan bergerak mundur di era pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla, seharusnya tidak! Asumsi itu tentunya didasarkan jika dokumen Nawacita masih dianggap sebagai panduan pemerintahan Jokowi. Dalam dokumen Nawacita disebutkan, Presiden Jokowi berkomitmen memperkuat KPK yang sudah menjadi dambaan publik. Kata kuncinya adalah memperkuat!

Namun, kenyataannya, realitas politik berkata lain. Revisi UU KPK sedang disiapkan pemerintah dan DPR untuk dibahas pada tahun 2016. Membaca revisi UU KPK, memang terlihat ada semangat mengendalikan KPK dalam beberapa aspek.

Penyadapan harus dengan izin ketua pengadilan tindak pidana korupsi, kewenangan penuntutan ditangani kejaksaan, kerugian negara minimal yang ditangani KPK Rp 25 miliar, dibentuknya dewan eksekutif dan dewan pengawas, dan ditolaknya penyidik independen KPK. Jika rumusan itu lolos, pelemahan terhadap pemberantasan korupsi memang menjadi kenyataan.

Revisi UU KPK pasti akan memicu resistensi masyarakat yang merasakan elite politik tidak punya komitmen memberantas korupsi. Pemimpin baru KPK telah dipilih. Karena itu, salah satu jalan untuk mencegah pelemahan KPK lebih jauh adalah menyarankan kepada Presiden Jokowi untuk tidak menerbitkan Amanat Presiden soal revisi UU KPK!

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 19 Desember 2015, di halaman 6 dengan judul "Capim KPK dan Revisi UU KPK".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger