Bahkan, PDI-P menilai Indonesia telah kehilangan haluan. Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri mengangkat masalah itu saat membuka Rapat Kerja Nasional PDI-P 2016. Megawati menggunakan terminologi Pembangunan Nasional Semesta Berencana yang harus dirumuskan sekarang ini. Presiden kelima Indonesia itu menyoroti sistem pembangunan negara yang tak padu.
Gagasan PDI-P relevan dan patut dipertimbangkan. Pada era Orde Baru, bangsa ini punya Garis Besar Haluan Negara (GBHN) serta tahapan pembangunan yang disebut Pembangunan Lima Tahunan dan Rencana Pembangunan Lima Tahun. GBHN ditetapkan oleh MPR yang pada saat itu ditempatkan sebagai lembaga tertinggi negara dan wujud kedaulatan rakyat. Pada masa Orde Baru, kita hanya punya satu presiden, yakni Presiden Soeharto, yang konsisten dengan perangkat politik yang dimiliki–ABRI, birokrasi, dan Golkar—dalam menjalankan program pembangunan.
Gerakan reformasi 1998 mengubah segalanya. UUD 1945 diubah empat kali. MPR bukan lagi perwujudan kedaulatan rakyat dan presiden bukan lagi mandataris MPR. Posisi MPR setara dengan lembaga negara lain, seperti DPR, DPD, MA, MK, BPK, Komisi Yudisial, dan presiden. Kedaulatan rakyat berada di tangan rakyat, termasuk memilih presiden. Sejak berakhirnya Orde Baru, 18 tahun lalu, Indonesia sudah punya lima presiden, BJ Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono, dan Joko Widodo. Dua presiden terakhir dipilih langsung oleh rakyat.
Situasi dan sistem politik telah berubah. Haluan negara seperti hilang, padahal tujuan bernegara ada dan tertera dalam Pembukaan UUD 1945. Program pembangunan sepertinya diserahkan kepada presiden terpilih selama lima tahun atau sepuluh tahun. Tak ada ikatan bahwa presiden pengganti akan melanjutkan program presiden terdahulu. Dengan latar itulah, usulan PDI-P menjadi masuk akal.
Haluan negara harus dipikirkan bersama oleh komponen bangsa, termasuk siapa yang akan merumuskan GBHN versi baru itu. Apakah akan diserahkan kepada MPR atau siapa yang merumuskannya dan apakah itu berarti akan mengubah UUD 1945?
Pembuatan haluan negara diperlukan, termasuk posisi sentral Bappenas, tetapi kompleksitas persoalan dan semangat kebatinan bangsa ini perlu menjadi pertimbangan. Mengubah kembali UUD 1945 seperti membuka kotak pandora yang akan menguras energi bangsa di tengah kondisi pemerintahan seperti sekarang ini.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 12 Januari 2016, di halaman 6 dengan judul "Perlunya Haluan Negara".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar