Salah satu gelar yang menunjukkan posisi istimewa Paus Fransiskus dan para paus sebelumnya adalah pontificatus. Kata Inggris pontificate sekarang diartikan lebih luas sebagai berpidato atau berkotbah atau menulis tentang suatu kebenaran, khususnya yang dogmatis.
Namun, secara etimologis, artipontificatus adalah membangun jembatan. Ia merupakan gabungan dua kata Latin, nomina pons 'jembatan' dan verba facere 'membuat'. Karakteristik pontifikatif seharusnya berlaku juga bagi seluruh uskup dan pastor sedunia. Jadi, karakter itu diturunkan dari atas ke bawah.
Sikap dasar pontifikatif seyogianya berlaku juga bagi seluruh umat manusia, terlebih dalam dunia yang kian pluralistis dewasa ini. Pelaksanaan sikap itu pada hakikatnya mewujudkan ekumenisme dan ukhuwwah insaniyah, sangat islami dan kristiani. Karena itu, saya mengapresiasi tulisan Ihsan Ali-Fauzi, "Paus yang 'Membangun Jembatan'" di Opini edisi 27 Februari lalu. Tulisan itu menyadarkan kembali akan peran pontifikasi semua umat beriman.
Dalam lingkup Indonesia, gelar yang mirip dengan peran pontifikasi diberikan hanya kepada ketua rukun tetangga (RT) yang memimpin komunitas terkecil bangsa Indonesia, kemudian kepada ketua rukun wilayah (RW). Namun, kita belum mendengar ketua rukun kelurahan, ketua rukun kecamatan, ketua rukun kabupaten, ketua rukun provinsi, dan ketua rukun negara.
Seyogianya melalui pendekatan bawah ke atas diberikan pula gelar ketua rukun bagi para pemimpin untuk jenjang komunitas yang lebih luas dan tinggi. Dengan menyandang gelar ketua rukun bagi semua pemimpin dari setiap level,ukhuwwah Indonesiyah diharapkan bisa juga terwujud.
Tentu saja gelar tak ada apa-apanya bagi orang Inggris, what is in a name, tetapi kita lebih baik mengikuti orang Romawi yang menganggap nama sesuatu yang berarti dan bernilai, nomen est omen.
WIM K LIYONO, JALAN SURYA BARAT, KEBON JERUK, JAKARTA BARAT
Tanggapan Dinas Pendidikan DKI
Terkait surat pembaca di Kompas (Jumat, 11/3) berjudul "Mutu Pendidikan di Jakarta", saya sampaikan hal-hal berikut.
Saudara Ignatius Bambang Sutanto bekerja di SMK Negeri 1 mulai 3 Januari 2004 dengan pendidikan terakhir strata satu (S1) program studi Filsafat Sosial Budaya (non-keguruan). Di SMK Negeri 1 ia mengajar mata pelajaran Pendidikan Agama Katolik, yang tidak relevan dengan latar belakang pendidikan terakhirnya (non-linear).
Pengangkatan guru kontrak individu di DKI Jakarta didasarkan kebutuhan setiap sekolah, ditetapkan oleh panitia seleksi yang ditugaskan oleh kepala sekolah. Usulan calon guru kontrak individu berjenjang dari sekolah, kecamatan, sudin, dan Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta.
Peraturan Gubernur Nomor 235 Tahun 2015 tentang Pemberian Honorarium Sebesar UMP untuk Tenaga Honor Guru dan Tenaga Pendidikan Non-PNS menyebutkan bahwa guru minimum harus mengajar 12 jam tatap muka per minggu. Apabila di sekolah tertentu dengan peserta didik yang beragama tertentu hanya beberapa orang (tidak memenuhi 12 jam per minggu), dinas pendidikan mengambil kebijakan mengangkat guru dengan syarat guru tersebut harus juga mengajar di sekolah negeri yang memiliki peserta didik yang beragama sama agar kewajiban minimum 12 jam dan 5 hari kerja dipenuhi.
BOWO IRIANTO, WAKIL KEPALA DINAS PENDIDIKAN, PROVINSI DAERAH KHUSUS IBU KOTA JAKARTA
Tanggapan Balai Pustaka
Menanggapi surat ahli waris penulisKamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI) Bapak Winardi Poerwadinata, "Royalti Penerbitan Kamus" (Kompas, Jumat 19/2), dapat kami sampaikan bahwa PT Balai Pustaka (Persero) telah bertemu dengan ahli waris KUBI, Bapak Winardi Poerwadinata dan Hertanto, pada Selasa (1/3), di Kantor Pusat PT Balai Pustaka (Persero), Jalan Bunga 8-8A, Matraman, Jakarta Timur.
Dalam pertemuan tersebut ada kesepakatan bahwa PT Balai Pustaka (Persero) akan menyelesaikan kewajiban yang masih tertunda kepada ahli waris dan ke depan, bersama-sama, akan mengembangkan KUBI.
FAZAR BACHTIAR, SEKRETARIS PERUSAHAAN PT BALAI PUSTAKA (PERSERO)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar