Setelah dilantik, Dirjen Pajak baru melakukan terobosan dengan melakukan restrukturisasi dengan membuat dua unit baru, Direktorat Perpajakan Internasional dan Direktorat Intelijen Perpajakan. Tujuan dibentuk unit baru Direktorat Perpajakan Internasional ini untuk terus melakukan pencegahan dan penanganan sengketa perpajakan internasional, seperti mutual agreement proceduresdan advance pricing agreement.
Sementara Direktorat Intelijen Perpajakan berkonsentrasi menjadi intelijen dalam mengamankan penerimaan negara dan penegakan hukum. Gerakan Dirjen Pajak yang baru ini memberikan dorongan kuat untuk dapat membenahi persoalan perpajakan yang ada pada saat ini.
Dirjen Pajak merupakan posisi yang sangat strategis mengingat karena 70 persen pendapatan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dibebankan kepada satu lembaga, yakni Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Target penerimaan pajak tahun 2016 sangat besar , yaitu sekitar Rp 1.368 triliun, sehingga banyak para pengamat perpajakan menilai angka ini tidak realistis dan dapat direvisi menjadi Rp 1.260 triliun.
Untuk mencapai target penerimaan pajak, beberapa pekerjaan rumah (PR) yang akan diperjuangkan Dirjen Pajak baru, misalnya RUU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP) dan RUU Pengampunan Pajak (tax amnesty) sedang menunggu pengesahan dari DPR. Pengampunan pajak menjadi kata kunci dalam mengumpulkan penerimaan negara dari sektor pajak di tahun 2016 ini.
Program pengampunan pajak berguna pula untuk penerimaan pajak jangka panjang karena pengampunan pajak akan melahirkan basis data wajib pajak yang menjadi acuan Dirjen Pajak dalam melakukan pemungutan pajak ke depan. PR lain Dirjen Pajak baru adalah memperluas basis pajak mengingat potensi pajak yang belum tergali masih sangatlah besar.
Evaluasi
Dirjen Pajak baru perlu melakukan evaluasi dari tahun ke tahun sehubungan dengan penyebab dari tidak tercapainya penerimaan pajak. Berdasarkan data yang ada dari tahun 2008 sampai dengan 2015, hanya tahun 2008 target penerimaan pajak melampau target yang dicanangkan, yaitu 113,6 persen.
Tahun 2009 mencapai 94,26 persen, tahun 2010 mencapai 99,33 persen, tahun 2011 mencapai 97,28 persen, tahun 2012 mencapai 94,38 persen, tahun 2013 mencapai 92,07 persen, tahun 2014 mencapai 91,56 persen, dan tahun 2015 mencapai 81,5 persen. Semua dihitung dari target penerimaan pajak setiap tahunnya.
Penyebab penerimaan pajak melampaui target pada 2008 adalah tahun 2008 merupakan tahun pengampunan pajak yang pada saat itu populer dengan namasunset policy dan kebijakan itu berjalan sukses. Penulis ingat pada saat itu pengampunan pajak berjalan mulus karena payung hukum dari programsunset policy kuat dituangkan dalam bentuk Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan (KUP) Pasal 37A, yang intinya menggariskan segala bentuk penghapusan sanksi administrasi perpajakan berupa bunga.
Saat itu, pelaksanaan program sunset policy tak berbelit-belit, wajib pajak cukup hanya membetulkan surat pemberitahuan tahunan (SPT) dan membayar kurang bayarnya sesuai kondisi wajib pajak, angka kurang bayarnya masuk akal, sesuai tarif pajak yang berlaku saat itu.
Sehubungan dengan program pengampunan pajak nasional. Dirjen Pajak yang baru perlu membuat payung hukum yang kuat dan pelaksananya tidak membuat rumit wajib pajak atau tidak berbelit-belit. Jika mencontoh sunset policy tahun 2008, sangat diyakini program pengampunan pajak dapat berjalan baik dan menambah secara signifikan penerimaan negara dari sektor pajak. Program pengampunan pajak nasional seyogianya terus dilanjutkan mengingat besarnya manfaat dibanding mudaratnya.
Selain itu, Dirjen Pajak yang baru perlu terus melakukan gerakan proaktif penarikan piutang pajak dan gencar melakukan sosialisasi jenis-jenis insentif pajak, misalnya insentif revaluasi aktiva tetap yang masih berjalan sampai dengan tahun 2016 atau jenis insentif pajak lainnya.
Pemerintah dan DPR perlu mendukung Dirjen Pajak dalam melakukan aktivitasnya, dengan menyetujui undang-undang yang pro penerimaan pajak tetapi tidak membebani dan menekan rakyat dengan berat. Tanpa dukungan dari pihak-pihak tersebut, rasanya sulit bagi Dirjen Pajak untuk memenuhi target penerimaan pajak 2016.
IRWAN WISANGGENI
Dosen Trisakti School of Management
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 17 Maret 2016, di halaman 6 dengan judul "PR Besar Dirjen Pajak Baru".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar