Yang pertama terkait dengan ikhtiar menolak praktik politik uang dalam pilkada, melalui sanksi yang lebih tegas dan diharapkan muncul efek jera bagi para pelakunya. Yang kedua, dikaitkan dengan konteks mentradisikan pergelaran politik tertinggi partai politik yang bebas politik uang atau menepis pragmatisme-transaksional. Meskipun dalam konteks berbeda, di atas kertas, setidaknya mengemuka semangat menolak politik uang.
Soal politik uang ini, sudah menjadi semacam pengetahuan umum bahwa sejak era reformasi, ketika keran keterbukaan politik terjadi ditandai oleh kompetisi politik antarpartai, bahkan antarkandidat yang sangat ketat, telah membuat ongkos politik demikian mahal. Hal tersebut dimungkinkan karena, para pelaku dan kompetitor dalam kontestasi politik pemilu, tidak saja terbebani oleh pengeluaran keuangan yang absah, tetapi juga menghadapi tuntutan yang sering kali dilematis, yakni menyebar politik uang. Lambat laun, politik uang menjadi instrumen jalan pintas yang mentradisi, dan sayangnya diamini oleh sebagian kalangan masyarakat. Maka, suburlah pola pragmatisme-transaksional.
Berbagai diskusi telah banyak dilakukan, khusus menyorot fenomena politik uang sebagai salah satu sumber penyakit dalam praktik kepolitikan kita. Secara normatif, semua menolak. Kendatipun, kalangan politisi diam- diam menyebut bahwa mereka tak bisa mengelak. Kalau tidak ikut larut, maka mereka khawatir tidak akan terpilih, apalagi ketika mencermati kompetitor lain gencar berpolitik uang.
Dalam hal ini, sangatlah susah pepatah Jawa yang konon berasal dari Sunan Kalijaga dalam Serat Lor, "anglaras ilining banyu, angeli nanging ora keli" atau tetap selaras dengan kehendak masyarakat, ikut mengikuti arus yang ada, tetapi tidak ikut "tenggelam", diterapkan. Dalam banyak kasus gagalnya para calon anggota legislatif atau yang lain, justru karena mereka mencoba mempraktikkan nasihat itu. Kalaulah tidak menenggelamkan diri dalam politik uang, nyatanya sulitlah mereka terpilih.
Menjelang pemilihan presiden pada 2004, Nurcholish Madjid pernah mengeluhkan praktik politik uang itu dengan sindiran istilah "gizi". Bahwa, sulitlah kandidat, ketika itu dalam konteks konvensi Partai Golkar, untuk terpilih, kalau hanya sekadar menyampaikan visi, karena realitas lapangan menuntut "gizi". Terlepas dari konteksnya, tetapi sudah menjadi semacam rahasia umum pula bahwa politik uang pun telah mempola dalam munas, kongres, atau muktamar partai-partai. Suksesi kepemimpinan internal partai, meskipun susah dibuktikan secara hukum, tetapi sering kali sarat dengan bau politik uang.
Karena itu, dapat dipahami kalau antarcalon kandidat menjelang munaslub Partai Golkar, saling mengeluarkan jurus antipolitik uang, yang semoga saja tidak sekadar sebatas retorika. Bahkan, mereka tidak keberatan kalau munaslub melibatkan pihak aparat penegak hukum, yakni Komisi Pemberantasan Korupsi dan kepolisian.
Tentu saja pelibatan aparat penegak hukum dalam perhelatan suksesi kepemimpinan internal partai, akan sangat menarik dan diharapkan bisa menepis mewabahnya politik uang. Hal ini membutuhkan sikap yang proaktif dari kedua belah pihak, baik partai maupun aparat penegak hukumnya.
Merusak demokrasi
Politik uang jelas merusak demokrasi dan identik dengan korupsi. Kompetisi yang jujur dan bersih ternodai. Jauh dari hal tersebut, politik uang menghambat kandidat-kandidat politik yang berpotensi, dan yang muncul sekadar mereka yang kebetulan beruang banyak. Penolakan terhadap politik uang, tentu tidak sebatas dalam semangat, tetapi memang harus ada aturan main yang ketat.
Karena itu, ikhtiar merevisi UU Pilkada yang menitikberatkan antisipasi praktik politik uang, bagaimanapun perlu diapresiasi. Namun, tetap kita lihat sejauh mana klausul yang ada, apakah masih membuka celah, atau menutupnya rapat-rapat.
Yang masih menjadi polemik soal sanksi pelaku politik uang yang harus menunggu proses hukum pidana yang berlangsung lama dan tidak menjamin adanya efek jera. Pemerintah perlu mempertimbangkan gagasan pemberian sanksi administratif, berupa penolakan pencalonan oleh Komisi Pemilihan Umum, setelah Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) menemukan bukti yang cukup atas pelanggaran politik uang, tanpa harus melalui proses hukum pidana.
Kalau ini dilakukan, maka Bawaslu akan fungsional dan efektif sebagai wasit pemilu yang berorientasi bebas politik uang. Namun, pemerintah tampaknya bertahan pada proses hukum pidana, di mana pembatalan calon terpilih bisa dilakukan, manakala secara pidana terbukti melanggar. Jadi, mekanismenya masih tetap sama dengan sebelumnya.
Terlepas dari polemik itu, kita jelas membutuhkan praktik demokrasi yang sehat, maka lazim kalau politik uang harus ditolak beramai-ramai. Yang menjadi soal ialah bagaimana di level masyarakat? Diasumsikan, masyarakat akan menjauh dari pola pragmatisme-transaksional, manakala elite kandidat yang berlaga kompak menjauhi politik uang, antara lain karena adanya aturan hukum yang sangat ketat. Barangkali, gambaran ideal seperti ini sangat menyederhanakan masalah. Namun, elite bisa memulainya, masyarakat mengikuti.
M ALFAN ALFIAN, DOSEN PASCASARJANA ILMU POLITIK UNIVERSITAS NASIONAL, JAKARTA
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 15 Maret 2016, di halaman 7 dengan judul "Semangat Menolak Politik Uang".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar