Dalam laporan triwulan pertama tahun 2016, Bank Dunia memperkirakan perekonomian Indonesia tahun ini tumbuh 5,1 persen dan tahun depan menjadi 5,3 persen. Sementara pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat memproyeksikan pertumbuhan tahun ini 5,3 persen di dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2016.
Tahun lalu, pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya 4,8 persen akibat pelemahan perekonomian global selain persoalan dalam negeri. Meskipun lebih baik dibandingkan dengan negara-negara pengekspor komoditas lain, pertumbuhan itu tidak memadai untuk menyerap sekitar tiga juta orang yang masuk ke pasar tenaga kerja.
Pertumbuhan yang tinggi diperlukan untuk memberikan lapangan kerja serta menurunkan jumlah orang miskin dan mengatasi kesenjangan kemakmuran yang melebar.
Di dalam negeri, pelemahan harga komoditas, termasuk gas dan minyak bumi, menurunkan penerimaan negara. Anggaran belanja diperkirakan kekurangan Rp 290 triliun untuk membiayai pembangunan yang tetap fokus pada infrastruktur bila tidak ada perubahan kebijakan.
Pemerintah memiliki langkah jangka pendek dan menengah. Selain memotong belanja sektor bukan prioritas, harapan ditumpukan pada segera disahkannya undang-undang pengampunan pajak. Bank Indonesia ikut berperan dengan menurunkan suku bunga acuan.
Rekomendasi dari Bank Dunia adalah mendorong investasi swasta karena perluasan fiskal saja tidak memadai untuk mendorong pertumbuhan ekonomi 5 persen.
Investasi swasta, terutama infrastruktur dan manufaktur, telah menjadi fokus pemerintah melalui sejumlah paket stimulus ekonomi sejak tahun lalu. Sektor manufaktur belum dapat mengompensasi penurunan penerimaan dari ekspor komoditas. Logistik juga masih membebani daya saing kita.
Dalam mendorong investasi swasta, tantangan ada pada kemampuan pemerintah mewujudkan janji dalam paket stimulus perekonomian. Pelaku usaha besar hingga kecil, asing dan domestik, memerlukan kepastian usaha yang belum tercermin dari kebijakan pemerintah. Misalnya, pada kasus pengusahaan gas Blok Masela, dugaan kartel industri ayam potong, mundurnya pembahasan RUU pengampunan pajak, dan layanan angkutan berbasis digital.
Indonesia masih dianggap menarik sebagai tujuan investasi karena besarnya jumlah penduduk. Namun, dengan terbukanya pasar tunggal ASEAN, memasuki pasar kita tidak selalu harus dengan berinvestasi di sini. Di sinilah pentingnya kebijakan yang pasti untuk kepentingan nasional, bukan karena alasan populis atau kepentingan kelompok dan golongan.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 18 Maret 2016, di halaman 6 dengan judul "Pertumbuhan Ekonomi Tinggi".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar