Demokrasi digital telah memberikan ruang kebebasan bagi siapa pun untuk berekspresi. Ruang demokrasi digital itulah yang kita rasakan sekarang. Kita bisa mendapati isu politik, termasuk perombakan kabinet, menjadi bahan canda di dalam grup WhatsApp, Twitter, dan Facebook. Setiap orang bisa membuat susunan kabinet, entah karena iseng atau memang mempunyai motivasi politik. Politik menjadi cair, ringan, tetapi ada juga ketidakpastian dan ketidaknyamanan.
Kabinet Kerja dilantik 27 Oktober 2014. Tak sampai setahun, Kabinet Kerja dirombak pada 12 Agustus 2015. Kini, isu perombakan kabinet santer terdengar. Tak ada yang salah dengan perombakan kabinet karena perombakan kabinet adalah domain Presiden. Politik Indonesia pasca Orde Baru, tak ada kekuatan politik dominan sehingga bongkar-pasang kabinet menjadi biasa.
Isu perombakan kabinet yang mulai terdengar tahun lalu kini mulai menggerogoti konsentrasi menteri. Ada perasaan tidak aman dan tidak nyaman. Terbaca ada kecurigaan partai politik dengan partai politik lain yang dicurigai akan menggeser pos menteri tertentu. Situasi ini jelas tidak menguntungkan dan harus diakhiri.
Perombakan kabinet adalah hak Presiden. Presiden adalah kepala pemerintahan dan kepala negara, sementara menteri adalah pembantu Presiden. Komunikasi dengan partai politik penting karena dukungan parlemen dibutuhkan. Namun, kita berharap kinerja menteri menjadi salah satu ukuran perombakan. Di era yang begitu terbuka, publik tahu bagaimana kinerja setiap menteri.
Terlepas dari isu perombakan kabinet, rasanya kita harus belajar dari pengalaman. Hampir 17 bulan pemerintahan Presiden Joko Widodo, salah satu yang patut dipelajari adalah proses pengambilan keputusan kebijakan publik. Hiruk-pikuk terjadi karena tidak adanya proses sistematis bagaimana kebijakan publik itu harus diambil dengan mempertimbangkan sejumlah aspek.
Sebut saja pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung, pengelolaan gas alam Masela, pembangunan listrik 35.000 megawatt, karut-marut pelaksanaan BPJS Kesehatan, kebijakan UU tentang Pengampunan Pajak, dan pembekuan PSSI. Adalah sistem pengambilan kebijakan publik yang terstruktur sehingga Presiden mengambil keputusan dengan pertimbangan dan kajian yang komprehensif.
Boleh jadi ada gap antara isu yang kompleks dan sumber daya manusia yang ada. Akibatnya, hasil kajian mendalam sebuah kasus kadang dipatahkan dengan argumen yang kadang terlalu sederhana. Jika demikian terus terjadi, bakal mengurangi tingkat kepercayaan publik pada pemerintah.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 9 April 2016, di halaman 6 dengan judul "Belajar dari Pengalaman".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar