Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 08 April 2016

TAJUK RENCANA: Dokumen Panama dan Amnesti Pajak (Kompas)

Merebaknya skandal Dokumen Panama memunculkan pula desakan berbagai pihak untuk menyegerakan pembahasan Undang-Undang Amnesti Pajak.

Terkait urgensi mempercepat pembahasan RUU Amnesti Pajak, sesungguhnya ada atau tidak Dokumen Panama, seharusnya jadi kebutuhan kita. Bukan hanya karena tuntutan untuk menutup bolong penerimaan pajak saat ini, melainkan juga kepentingan reformasi pajak lebih luas.

Kendati demikian, kepanikan pemerintah bisa dipahami. Dari target penerimaan pajak Rp 1.369 triliun tahun 2016, hingga Maret baru terealisasi 14,3 persen. Melesetnya target pajak bukan hanya akan mengancam jalannya mesin birokrasi dan pembiayaan program prioritas pemerintah, khususnya infrastruktur, tetapi juga mengancam target pertumbuhan 2016. Sasaran pertumbuhan 5 persen bisa tak tercapai.

Dalam situasi saat ini, manuver menutup defisit APBN lewat utang tak leluasa ditempuh mengingat amanat konstitusi yang membatasi defisit APBN maksimum 3 persen dari PDB. Ekspansi utang luar negeri juga dihadapkan pada risiko kian membengkaknya beban cicilan/bunga dan risiko kurs. Sementara terus menggenjot penerbitan SUN akan menyedot sumber pembiayaan swasta di dalam negeri, akibat kebutuhan pemerintah yang sangat besar untuk menutup defisit.

Di sini urgensi amnesti pajak sebagai terobosan mengemuka. Lewat insentif amnesti pajak, pemerintah berharap bisa menarik Rp 60 triliun-Rp 100 triliun penerimaan pajak, dengan cara menarik dana WNI yang selama ini lolos pajak dan ditempatkan di luar negeri. Setelah tertunda karena keberatan sebagian fraksi DPR yang mengaitkan kelanjutan pembahasan UU itu dengan revisi UU KPK, kita berharap pembahasan RUU Amnesti Pajak bisa segera dimulai dalam waktu dekat.

Selain misi menutup defisit penerimaan pajak, momentum bocornya Dokumen Panama dan amnesti pajak tentunya menjadi ujian keseriusan pemerintah dalam membenahi sistem perpajakan dan menindak wajib pajak nakal. Di sini pentingnya amnesti pajak tetap berpijak pada prinsip transparansi, keadilan, dan penegakan hukum agar jangan sampai hanya menjadi semacam karpet merah bagi pelaku tindak pidana seperti koruptor yang selama ini menyembunyikan dananya dari jangkauan aparat di dalam negeri.

Dalam kaitan ini pula kita patut menggugat, jika benar pemerintah memiliki data lebih lengkap ketimbang Dokumen Panama terkait kepemilikan rekening WNI di luar negeri, kenapa pemerintah selama ini tak bergerak? Bukankah dengan tidak memanfaatkan data itu sebagai amunisi untuk mengejar, pemerintah bisa dituding berkongkalikong dengan para wajib pajak nakal? Kita tentu berharap ke depan pemerintah tak lagi kalah dengan permainan para wajib pajak nakal ini.

Di luar kepentingan menutup target pajak jangka pendek, kita tentu juga berkepentingan dengan kembalinya dana WNI yang selama ini parkir di luar negeri. Penempatan rekening di luar negeri tak selalu bermotivasi menyembunyikan kekayaan dari jangkauan aparat sehingga kita tak bisa memperlakukan sama pemilik rekening di luar negeri.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 8 April 2016, di halaman 6 dengan judul "Dokumen Panama dan Amnesti Pajak".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger