Libya adalah salah satu dari sejumlah negara di Timur Tengah dan Afrika Utara yang disapu angin reformasi; ada yang menyebut sebagai revolusi Musim Semi (Arab Spring) yang bermula di Tunisia, 2011.
Di antara negara-negara yang terkena sapuan angin revolusi, baik langsung maupun tidak langsung—Tunisia, Mesir, Libya, Suriah, Yaman, Bahrain, Jordania, Maroko, dan Oman—yang sudah dapat dikatakan "lolos dari ujian" secara relatif mulus adalah Tunisia. Negara-negara lainnya—yang benar-benar disapu revolusi—masih harus berjuang keras, kecuali Mesir yang relatif ada kemajuan meski banyak yang mempertanyakan apakah realitas Mesir sekarang ini sesuai dengan tujuan revolusi?
Libya dan Suriah sama-sama menghadapi persoalan rumit, pelik. Pemimpin Libya, Moammar Khadafy, meniggalkan warisan yang membebani rakyatnya, pemerintahan baru. Pada permulaan revolusi, Libya tidak memiliki masyarakat madani karena rezim Khadafy secara sistematis menghancurkan organisasi-organisasi sipil. Berbeda dengan Tunisia dan Mesir.
Tiadanya kelas menengah, tiadanya masyarakat madani dan juga organisasi politik-kemasyarakatan menjadi persoalan besar bagi Libya setelah terlepas dari belenggu yang dijeratkan Khadafy. Apalagi, ada rivalitas antarsuku; kelompok bersenjata, dan kelompok radikal. Inilah yang antara lain memberikan sumbangan instabilitas dan konflik di Libya setelah revolusi.
Dengan kata lain, persoalan utama Libya adalah tiadanya rasa aman dan keamanan di negeri itu. Kondisi seperti itu merupakan cerminan kegagalan dari usaha melucuti dan mendemobilisasi milisi-milisi pemberontak setelah perang. Akibatnya, muncul berbagai kelompok bersenjata, yang tidak dapat ditangani pemerintah terpilih; pemerintah persatuan nasional dukungan PBB.
Kondisi seperti itu membuat rasa kepercayaan masyarakat terhadap proses politik demokratik pun semakin menurun, menipis, karena dipenuhi rasa frustrasi. Dalam kondisi tiadanya negara—pemerintahan nasional yang kuat, yang dipercaya rakyat dan mampu mempersatukan seluruh komponen masyarakt—aktor-aktor regional dan suku-suku memperkuat diri dan memperebutkan kekuasaan untuk menguasai kekayaan alam: minyak.
Kalau pemerintah persatuan Libya dukungan PBB pada akhirnya diterima pihak-pihak yang berseteru, ini adalah awal yang baik untuk mewujudkan Libya baru, meskipun tugas begitu berat sudah menunggunya.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 8 April 2016, di halaman 6 dengan judul "Tugas Berat Pemerintah Baru Libya".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar