Saudara Witaryono memberikan kartu nama itu, ketika berlangsung simposium nasional "Membedah Tragedi 1965, Pendekatan Kesejarahan", 18 April lalu. Forum Silaturahmi Anak Bangsa adalah forum silaturahminya anak-anak pahlawan revolusi, yang diculik dan kemudian dibunuh pada 1 Oktober 1965 dini hari, anak-anak Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) yang pernah mengangkat senjata melawan Pemerintah RI, dan juga anak-anak eks Partai Komunis Indonesia (PKI).
Kalimat itu, ibarat dua sisi mata uang. Di satu sisi merupakan harapan kepada generasi tua atau generasi sekarang, agar tidak mewariskan konflik dan di sisi lain harapan kepada sesama generasi penerus untuk tidak membuat konflik baru. Kalau kedua harapan itu bisa terwujud, apa yang dikatakan "rekonsiliasi", yang sedang diupayakan melalui simposium itu, dengan sendirinya telah terwujud. Beban sejarah akan hilang dan kita sudah dapat berdamai dengan sejarah. Akankah harapan itu sia-sia?
Peristiwa 1965 itu memang sulit dipahami. Bagaimana pimpinan teras TNI Angkatan Darat, termasuk Jenderal Ahmad Yani, dapat diculik dan kemudian dibunuh. Hanya Jenderal AH Nasution yang lepas dari penculikan, dengan cara melompat pagar rumahnya. Namun, salah seorang putri dan ajudannya tertembak dan meninggal dunia. Mayor Jenderal Soeharto, lepas dari penculikan. Mungkin karena sedang di Rumah Sakit Gatot Subroto, sedang menunggui seorang putranya yang sakit.
Seandainya Soeharto ikut diculik dan terbunuh, jalannya sejarah akan berbeda. Sebab, sebagai Panglima Kostrad, setelah diberitahu tetangganya, Mashuri, Soeharto segera mengambil tindakan menggagalkan G30S, yang ternyata sebuah kudeta itu. Keberhasilan itu juga didukung adanya fakta, bahwa Presiden/Pemimpin Besar Revolusi/Mandataris MPR Soekarno juga menolak mendukung G30S. Gerakan 30 September, di Jakarta praktis hanya berusia satu hari , meski di Yogyakarta, pada 4 Oktober 1965 , masih mampu menculik dan membunuh Komandan Korem Yogyakarta Kolonel Katamso.
Bahwa G30S merupakan tindakan makar, diumumkan sendiri oleh pimpinan gerakan itu melalui RRI dengan membentuk Dewan Revolusi dan mendemisionerkan kabinet, di mana nama Soekarno tak tercantum dalam dewan itu. Siapa di balik G30S? Meski di kemudian hari banyak teori, pendapat umum waktu itu hanya mengarah ke PKI.
Hal ini tak terlepas dari berbagai peristiwa yang mendahului, di mana indikasinya diberikan oleh PKI sendiri, antara lain, dengan berbagai aksi sepihaknya, yang telah berhasil mendominasi perpolitikan nasional dan menganggap kondisi politik telah "hamil tua" dan menilai 1965 sebagai tahun penentuan, sehingga perubahan politik nasional akan segera terjadi. Hal ini juga dipicu sakitnya Bung Karno pada 4 Agustus 1965 yang menimbulkan spekulasi Bung Karno berhalangan tetap. Karena itu, G30S merupakan upaya PKI mendahului perebutan kekuasaan, sehingga dikenal sebagai G30S/PKI.
Beban sejarah
Namun, serangkaian peristiwa pasca G30S/PKI itu harus kita akui telah menjadi beban sejarah bangsa ini. Pasca peristiwa itu, terjadi konflik horizontal, bunuh-membunuh sesama warga bangsa. Selain itu, sebagian masyarakat juga termarjinalkan dari kehidupan bermasyarakat, dengan ditandainya kartu tanda penduduknya sebagai eks tahanan politik (et). Sebagian lagi dibawa ke Pulau Buru. Sebagian besar mereka tidak tahu-menahu tentang G30S. Hal ini adalah dampak dari klaim PKI sendiri, yang memiliki anggota jutaan orang, sementara CC PKI tidak mengecam G30S sebagai kudeta. Meskipun Presiden Soekarno berusaha melerai kondisi konflik itu, tetapi gagal.
Berbagai peristiwa itu, kini dituntut sebagai pelanggaran HAM berat oleh penggiat HAM dan korban perlakuan itu. Negara dituntut untuk meminta maaf dan memberikan kompensasi. Hal ini diperlukan sebagai upaya rekonsiliasi. Wajar, kalau hal ini menimbulkan sikap pro dan kontra. Sebab, perjalanan sejarah bangsa ini memang sering melalui riak- riak kecil sampai besar, yang meninggalkan luka yang dalam di sanubari bangsa ini. Luka-luka ini tampaknya tetap menganga, belum sembuh, sehingga menjadi beban sejarah yang tidak ringan. Dari peristiwa Madiun di tahun 1948, DI/TII, dan PRRI, hingga ke pembubaran berbagai organisasi/partai, antara lain, Masyumi/PSI/Murba, dan Manikebu/GPII.
Negara, dalam hal ini harus bersikap adil. Sebab, stigma termarjinalkan itu, atau pelanggaran HAM sekalipun, tidak hanya menimpa korban G30S, tetapi juga yang lainnya. Mereka itu juga ditahan, tanpa diadili, dan dikeluarkan setelah ada perubahan politik nasional, termasuk Buya Hamka yang sempat menjadi Ketua MUI di era Orde Baru. Demikian juga korban G30S, kini hak-haknya telah dipulihkan, sejalan dengan terjadinya perubahan politik. Meskipun pahit, inilah sejarah bangsa ini. Jangan sampai terulang kembali.
Etika politik
Berbagai peristiwa di atas, yang meninggalkan luka di hati masyarakat kita, tidak akan terjadi, seandainya kita telah memiliki etika politik yang sehat, bahwa politik tidak boleh menghalalkan segala cara, apalagi menggunakan kekerasan, sehingga mengorbankan banyak orang yang tidak tahu-menahu. Etika politik seperti itu, memperoleh momentum yang tepat, ketika kita sudah sepakat Pancasila adalah final. Bahwa sistem politik kita, dilandasi Pancasila, sehingga politik tujuan menghalalkan cara tidak boleh terjadi lagi. Apalagi berdampak konflik horizontal, yang hanya menambah luka-luka bangsa. Hal ini tidak berarti tidak boleh ada perbedaan, yang dijamin di alam demokrasi.
"Berhenti mewariskan konflik dan tidak membuat konflik baru", sebagaimana dicita-citakan Forum Silaturahmi Anak Bangsa itu, hanya akan terwujud ketika kita menyepakati tumbuhnya etika politik yang sehat, yang tidak menolerir ideologi politik "tujuan menghalalkan cara". Bersediakah kita menyepakati etika politik seperti itu, sebagai platform sistem politik kita yang demokratis, berdasar Pancasila, dan mewujudkan cita-cita rekonsiliasi?
SULASTOMOKETUA UMUM PB HMI 1963-1966
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 18 Mei 2016, di halaman 7 dengan judul "Berhenti Mewariskan Konflik".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar