Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 18 Mei 2016

TAJUK RENCANA: Krisis Migran Belum Berakhir (Kompas)

Dua bulan setelah kesepakatan migran antara Uni Eropa dan Turki yang dimotori Jerman, muncul perubahan drastis.

Sebelumnya, sekitar 10.000 migran tiba di Yunani setiap harinya melalui Turki, dan pada April jumlah itu turun drastis menjadi 3.360 orang selama sebulan penuh. Tidak bisa dimungkiri, upaya Turki untuk habis-habisan mencegah manusia perahu menyeberang dan memulangkan semua imigran yang tiba secara ilegal di Yunani telah menimbulkan efek jera pada calon "manusia perahu".

Persoalannya, bagaimana kelanjutan dari kesepakatan itu. Sesuai janjinya, Uni Eropa (UE) harus mengeluarkan dana 8 miliar euro kepada Turki untuk biaya penanganan pengungsi. Selain itu, warga Turki juga akan diberi bebas visa di zona Schengen selambatnya Juni. Turki juga akan dipertimbangkan kembali keanggotaannya di Uni Eropa.

Terkait bebas visa Schengen, ada 72 kriteria persyaratan yang harus dipenuhi Turki. Sebelumnya, Turki dinilai baru memenuhi separuhnya. Namun, awal bulan ini Komisi Eropa telah memangkasnya menjadi tinggal lima persyaratan lagi. Salah satu di antaranya adalah mengubah UU Terorisme yang dinilai "karet" karena kerap digunakan untuk menjerat para aktivis ataupun jurnalis yang bersikap kritis terhadap pemerintah.

Meski demikian, syarat itu ditentang keras Presiden Turki Tayyip Erdogan, seraya menyebutkan, "Kami punya cara sendiri, silakan Anda pakai cara Anda." Erdogan juga mengancam akan membatalkan kesepakatan itu jika UE tidak memenuhi janjinya. Sikap Erdogan ini, antara lain, membuat Perdana Menteri Ahmet Davutoglu yang merupakan arsitek kesepakatan UE-Turki mengundurkan diri.

Apakah UE akan tunduk pada ancaman Erdogan? Kanselir Jerman Angela Merkel yang selama ini menjadi motor Uni Eropa kembali jadi sasaran tembak. Para mitra koalisi ataupun lawan politiknya menuduh Merkel telah memberikan jalan kepada Turki sehingga bisa menggertak UE.

Merkel memang sangat keras memperjuangkan visi bahwa penyelesaian krisis pengungsi tak bisa diselesaikan sendiri oleh UE, tetapi ada negara kunci lainnya, yaitu Turki. Formula serupa kini akan diterapkan pada Libya.

Upaya Merkel bisa dirasakan hasilnya saat ini. Namun, ketika pemilihan umum di depan mata, visi jangka panjang ala Merkel tertutup desakan politik di dalam negeri. Apalagi, partai politik mapan yang berkuasa di Eropa kalah popularitasnya oleh partai sayap kanan yang menyuarakan anti imigran, anti UE, dan kembali ke nasionalisme, seperti yang terjadi di Jerman, Austria dan Perancis.

Persoalan akan semakin rumit jika pada 23 Juni mendatang referendum di Inggris dimenangi kubu "Brexit". Hal itu diyakini akan memberikan efek domino terhadap negara-negara lainnya untuk melakukan langkah serupa. Dan, cita-cita "Proyek Eropa" pun menghadapi ujian terberat dalam sejarahnya.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 18 Mei 2016, di halaman 6 dengan judul "Krisis Migran Belum Berakhir".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger