Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 20 Mei 2016

Wajib Mengajar 24 Jam//Menutup Pintu Tol//Keamanan Bus Malam (Kompas)

Wajib Mengajar 24 Jam

Kewajiban mengajar minimum 24 jam seminggu demi tunjangan sertifikasi tampaknya wajar. Negara tak rela memberi "bonus" kepada guru yang "setengah menganggur" juga tampaknya wajar. Namun, bijakkah ketentuan ini?

Kenyataannya, banyak sekolah yang jumlah kelas paralelnya tidak banyak sehingga keseluruhan jumlah jam dibagi dengan banyaknya guru suatu mata pelajaran, akan kurang dari 24. Apalagi untuk mata pelajaran yang hanya 2 jam per minggu, mengajar sampai 10 kelas paralel pun belum membuat kewajiban minimum itu terpenuhi.

Artinya, tunjangan sertifikasi sulit mengalir ke sekolah-sekolah kecil. Bahkan, tidak juga ke sekolah besar kalau ada banyak guru untuk tiap mata pelajaran. Apakah para guru harus berebut jumlah jam demi tunjangan sertifikasi? Tak ada pilihan lain untuk memenuhi kewajiban itu karena definisi "jam mengajar" yang sangat sempit.

Penekanan jumlah jam berpotensi menurunkan kualitas. Bukankah selain mengajar di kelas, guru perlu persiapan? Setelah mengajar, guru juga perlu mengevaluasi siswa maupun kegiatan belajar-mengajar itu sendiri. Artinya, jumlah jam bukan indikator tunggal kesungguhan mengajar, bukan pula prasyarat peningkatan kualitas pendidikan.

Sekalipun kurang dari 24 jam bertatap muka di kelas, banyak guru mendedikasikan seluruh waktunya hingga lebih dari 40 jam per minggu. Mereka berkreasi untuk mendorong siswa agar menyukai dan mau berkarya di bidang yang diajarkan. Ini jelas lebih bermakna dibandingkan sekadar memaksakan kehadiran fisik 24 jam.

Semoga Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Bapak Anies Baswedan berkenan meninjau ulang kebijakan ini. Di tengah beratnya perekonomian, tunjangan sertifikasi sungguh menyegarkan. Patut disayangkan, bilamana guru "dipaksa kejar tayang" untuk mendapatkannya.

SETIAWAN SURYANA, METRO PERMATA, PONDOK PUCUNG, KARANG TENGAH, TANGERANG

Menutup Pintu Tol

Dalam perjalanan pulang kantor lewat Gerbang Tol Senayan arah Tomang, saya sering menjumpai pintu masuk tol dalam keadaan tertutup dan dijaga polisi. Pada Mei ini saja sudah 2 kali, yakni 3 Mei dan 16 Mei, sekitar pukul 19.00.

Kendaraan diarahkan masuk melalui Gerbang Tol (GT) Slipi, melewati Gedung DPR dan jembatan layang. Dapat dibayangkan, ruas jalan yang biasanya sudah padat menjadi semakin pampat. Waktu tempuh ke GT Slipi bisa memakan waktu lebih dari 1 jam, padahal jalan tol terlihat sangat lancar. Alasan penutupan yang dikemukakan petugas beragam, dari palang tol rusak semua, ada halangan di jalan tol, sampai perintah atasan.

Suatu ketika, saya mencoba menunggu saja di depan GT untuk menghindari kemacetan. Petugas polisi dengan sopan mengatakan paham atas kemacetan ruas tersebut dan meminta maaf atas ketidaknyamanan saya. Namun, ia meminta saya melanjutkan perjalanan. Menghargai sikapnya yang baik, saya pun mengalah dan pergi dari situ.

Saya menduga alasan penutupan pintu tol sebenarnya berkaitan dengan pejabat yang hendak melewati jalan tol tersebut. Semoga ada solusi yang lebih baik agar tidak menyengsarakan ratusan pengendara lain.

THOMAS SUDARMA, KEMBANGAN, JAKARTA BARAT

Keamanan Bus Malam

Saya mengalami hal kurang menyenangkan saat menggunakan PO Tunggal Dara Executive Class (9/5/2016) dari Salatiga-Jakarta dengan nomor polisi 1641.

Saya memilih bus eksekutif 24 kursi dengan harapan perjalanan aman dan bisa beristirahat sebelum bekerja hari berikutnya. Akan tetapi, saat tertidur tas saya, yang berada di bagasi atas, dibobol maling. Laptop dan dompet raib. Hal ini baru saya ketahui sesampainya di Jakarta.

Saya melaporkan kehilangan kepada sopir dan kernet, tetapi jawaban mereka, "Tidak tahu." Alasannya kernet juga tertidur. Sopir menginformasikan, selain saya ada seorang ibu yang duduk di bagian depan yang juga kehilangan dompet.

Saya mengadu ke PO Tunggal Dara (nomor telepon pengaduan tertera di tiket) dan pihak PO menjelaskan bahwa banyak modus kejahatan terjadi di bus dan sudah sering terjadi kehilangan di berbagai PO. Saya menanyakan langkah apa yang telah diambil oleh PO, tetapi tidak mendapat jawaban yang jelas.

OKTOVIAN PUTRA DWI SAKTYA, KOMPLEKS DPR KEMANGGISAN, PALMERAH, JAKARTA BARAT

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 20 Mei 2016, di halaman 7 dengan judul "Surat Kepada Redaksi".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger