Pilihannya, Inggris akan keluar dari blok Uni Eropa menjadi negara "independen" yang tidak diatur oleh Brussels, atau tetap di dalam Uni Eropa dan bersama-sama mewujudkan "Proyek Eropa" yang terintegrasi.
Kampanye kedua kubu untuk meyakinkan para pemilih telah membelah Inggris, baik rakyat maupun media massanya. Slogan dan retorika kedua kubu menumbuhkan suasana tak sehat dan bibit kebencian yang berpuncak pada tewasnya anggota parlemen dari Partai Buruh, Helene Joanne "Jo" Cox (41), ibu dari dua putri balita.
Para politisi masih menahan diri untuk tidak mengaitkan secara langsung peristiwa penembakan itu dengan kampanye referendum. Namun, sulit untuk tidak mengaitkannya karena Jo adalah sosok yang sangat antusias mengampanyekan "Pro Uni Eropa". Ia ditembak dan ditusuk berkali-kali ketika sedang berkampanye di Birstall, wilayah konstituennya. Si penembak, Thomas Mair (52), meneriakkan kata-kata "Dahulukan Inggris! (Britain First!)" sebelum dan sesudah menembak. Bahkan, di pengadilan, Mair meneriakkan kata-kata "Mati untuk pengkhianat! Kebebasan untuk Inggris!"
Ini adalah tragedi pertama dalam kurun waktu 26 tahun terakhir (kasus terakhir tahun 1990) seorang politisi dibunuh. Kematian Jo mengguncang Inggris dan memaksa rakyat Inggris berefleksi betapa bibit kebencian telah tertanam demikian dalam di antara mereka.
Ironisnya, yang menjadi korban adalah perempuan yang sepanjang hidupnya berjuang melawan sentimen kebencian, sentimen xenofobia, sentimen terhadap imigran. Komunitas Muslim di Inggris, misalnya, merasa sangat kehilangan karena Jo telah lama menjalin hubungan dengan mereka.
Sebelum tragedi ini terjadi, kubu Brexit sedang berada di atas angin karena sejumlah jajak pendapat saat itu menunjukkan mereka unggul sekitar 3 poin atas kubu "pro UE". Situasi itu membuat indeks saham Eropa dan Tokyo jatuh, demikian juga nilai kurs poundsterling.
Setelah kampanye dihentikan selama tiga hari pasca tragedi, berbagai jajak pendapat menunjukkan penguatan di kubu "pro UE". Apakah ini disebabkan simpati yang muncul terhadap tragedi Jo Cox? Bisa ya, bisa tidak. Yang pasti, sejak tragedi itu, kedua kubu mencoba menahan diri untuk tidak berdebat dengan saling mencaci.
Kubu mana pun yang dinilai unggul dalam jajak pendapat harian tidak bisa dianggap merepresentasikan hasil akhir referendum karena perbedaannya terlalu tipis. Apa pun yang dipilih rakyat Inggris, toh mereka tetap perlu bersatu untuk menghadapi konsekuensi atas pilihan yang diambil. Entah itu di luar atau di dalam Uni Eropa.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 22 Juni 2016, di halaman 6 dengan judul "Referendum dan Jo Cox".

Tidak ada komentar:
Posting Komentar