Dengan demikian, menurut lembaga penelitian yang berlokasi di Washington DC, Amerika Serikat, itu, Korut kini telah memiliki 13 hingga 21 senjata nuklir. Jika perkiraan itu benar, tentunya hal tersebut sangat memprihatinkan. Apalagi, pekan lalu, seorang pejabat tinggi Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat, yang tidak mau disebut namanya, menyatakan, Korut telah memulai kembali produksi bahan bakar plutonium, yang merupakan bagian dari program pengembangan senjata nuklir. Senjata ini untuk melawan sanksi internasional yang semakin diperberat terhadap Korut, menyusul percobaan nuklirnya yang keempat, Januari lalu.
Pernyataan itu dikeluarkan sehari setelah Lembaga Pengawas Nuklir Perserikatan Bangsa-Bangsa menyebutkan, ada indikasi Pyongyang telah memulihkan plutonium yang tadinya digunakan sebagai bahan bakar di Yongbyon, kompleks nuklir utama Korut. Kompleks ini ditutup pada tahun 2007 sebagai bagian dari program bantuan kepada Korut yang akhirnya gagal. Tahun 2013, Pyongyang berjanji akan menghidupkan kembali semua fasilitas nuklir di Yongbyon.
Lembaga Pengawas Nuklir PBB tidak memiliki akses untuk mengeceknya secara langsung. Lembaga itu hanya mengamatinya melalui satelit. Citra satelit yang terakhir, diambil pada 8 Juni lalu, tidak menunjukkan tanda-tanda secara langsung, tetapi disebutkan mencatat tanda-tanda tidak langsung yang diasosiasikan dengan adanya pemisahan plutonium di sana.
Kementerian Perdagangan Tiongkok mengeluarkan daftar baru tentang barang-barang yang dilarang untuk diekspor ke Korut karena dapat dikembangkan menjadi senjata pemusnah massal. Daftar itu jauh lebih panjang daripada daftar yang dikeluarkan Tiongkok tahun 2013 saat Korut mengadakan percobaan nuklir yang ketiga.
Kita tidak mempersoalkan jumlah senjata nuklir yang dimiliki Korut karena yang jauh lebih penting bagi kita adalah bagaimana mendesak Korut agar tidak menggunakan senjata nuklir itu.
Dalam kaitan dengan senjata nuklir, membahas jumlah sesungguhnya tidaklah terlalu relevan. Oleh karena, satu senjata nuklir sudah cukup untuk menimbulkan kerusakan yang mahahebat. Jika pada tahun 1945 saja kerusakan yang ditimbulkan bom atom sudah sedemikian dahsyat, apalagi kini 71 tahun sesudahnya. Itu sebabnya, kita berharap Tiongkok dapat membujuk Korut untuk tidak mengembangkan persenjataan nuklir. Kita juga berharap Korea Selatan dan Amerika Serikat tidak memprovokasi sehingga Korut terpancing untuk mengembangkan persenjataan nuklirnya.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar