Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 13 Juli 2016

ASEAN dan LTS (MAKARIM WIBISONO)

Selasa, 12 Juli 2016, adalah hari penting bagi ASEAN karena Pengadilan Permanen Arbitrase (Permanent Court of Arbitration/PCA) mengeluarkan fatwa hukum atas kasus yang diajukan Filipina mengenai berbagai masalah hukum di Laut Tiongkok Selatan. Mengapa hal ini dianggap penting? Kekompakan ASEAN akan diuji dalam menanggapi perkembangan terakhir soal Laut Tiongkok Selatan ini.

Fakta sebelumnya menunjukkan ASEAN telah gagal mengeluarkan pernyataan bersama mengenai Laut Tiongkok Selatan (LTS) bertepatan dengan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN, Juli 2012, di Phnom Penh, Kamboja. Dalam hal ini, Kamboja sebagai ketua ASEAN yang menjadi tuan rumah KTT ASEAN, berperan penting atas kegagalan tersebut. Hal ini terjadi karena adanya pendekatan Beijing ke Kamboja yang intensif.

Kejadian serupa berulang kembali dalam Pertemuan Khusus ASEAN-Tiongkok di Yuxi, Provinsi Yunnan, 13-14 Juni 2016. Laos, ketua ASEAN yang baru, dan Kamboja berkeberatan atas isi komunike pers mengenai LTS sehingga dokumen itu telah ditarik kembali. Ketidaksamaan sikap negara-negara anggota ASEAN ini dapat memudarkan konsep sentralitas ASEAN di kawasan Asia Tenggara yang berpijak pada platform keutuhan sikap ASEAN. Oleh karena itu, bagaimana Laos sebagai ketua ASEAN menangani dan mengelola posisi ASEAN menanggapi keputusan PCA memancing banyak perhatian dunia.

Keputusan PCA

Apa pun keputusan Pengadilan Permanen Arbitrase yang dipimpin Hakim Thomas A Mensh yang beranggotakan empat hakim lainnya pasti akan ditolak oleh Tiongkok. Sejak awal, Tiongkok telah menunjukkan sikap dasarnya ini. Nota verbal yang dikirim Tiongkok ke PCA, 1 Agustus 2013, menyatakan PCA tak memiliki yurisdiksi dalam masalah LTS dan Tiongkok akan menolak keputusannya.

Ouyang Yujing, Direktur Jenderal Masalah Perbatasan dan Kelautan, memperjelas dan menyatakan secara tegas bahwa kedaulatan Tiongkok pada pulau, terumbu karang, dan wilayah laut di LTS tidak ditentukan oleh suatu organisasi internasional. Oleh karena itu, menurut Yujing, PCA tak berhak mengeluarkan fatwa hukum mengenai masalah kedaulatan dan tidak berhak memutuskan seberapa jauh hak-hak maritim yang dimiliki Tiongkok.

Sementara itu, negara-negara Barat, seperti Inggris dan Amerika Serikat (AS), mendesak Tiongkok untuk menghormati dan mematuhi keputusan PCA. Penolakan Tiongkok pada fatwa hukum PCA dianggap dapat merusak kredibilitas UNCLOS. Memang, diakui oleh Paul Reichler, pengacara Filipina di PCA, PCA tidak sekuat International Court of Justice (ICJ) yang memiliki kewenangan untuk menegakkan keputusan hukumnya.

Berbeda dengan ICJ, PCA tidak mempunyai wewenang seperti tertuang dalam pasal 94 dari Piagam PBB yang memberikan hak kepada pihak yang dirugikan oleh pihak lainnya yang tidak mematuhi keputusan pengadilan untuk menyampaikan masalahnya ke Dewan Keamanan PBB (DK PBB). Pada gilirannya DK PBB akan memberikan rekomendasi atau mengambil langkah-langkah yang dianggap perlu untuk memastikan pelaksanaan keputusan pengadilan tersebut.

Paul Reichler percaya bahwa meningkatnya tekanan internasional kepada Tiongkok akan dapat memperlunak sikapnya yang sangat kaku itu. Dengan demikian, reaksi negara-negara di luar pihak yang bersengketa penting karena dapat memiliki pengaruh signifikan.

Sebaliknya posisi Tiongkok dalam hal PCA sangat tegas dan tidak fleksibel. Tiongkok menyatakan PCA bekerja tidak sesuai hukum dan tercoreng dengan hal- hal yang tidak logis dan keliru dalam melaksanakan aplikasi bukti, hukum, dan prosedur. Dalam pembicaraan telepon dengan Menteri Luar Negeri AS John Kerry yang dibocorkan ke Harian Rakyat Beijing, Menteri Luar Negeri Tiongkok Wang Yi menyatakan bahwa segala keputusan PCA yang mengenyampingkan hukum dan fakta dengan sendirinya menjadi tidak mengikat secara hukum (not legally binding).

Latihan perang

Sementara adu pernyataan antar-pihak-pihak yang bersengketa di LTS berlangsung, AS bersama Filipina telah melakukan latihan militer bersama di sekitar Kepulauan Spratly. Beberapa kapal perusak (destroyer) dari Armada VII Asia Pasifik AS digerakkan mendekati Kepulauan Spratly. Latihan bersama AS-Filipina ini dikecam media massa Tiongkok sebagai usaha militerisasi kawasan Asia Tenggara dan diilhami oleh mental Perang Dingin.

Sebaliknya Tiongkok juga melakukan latihan perang di sekitar Kepulauan Paracel dengan mengerahkan banyak kapal perang untuk unjuk kekuatan militernya. Bila hal ini diterus-teruskan akan memperuncing persaingan Tiongkok-AS di Asia yang bakal memiliki dampak taktis dan strategis yang luas. Bila tidak terkelola dengan baik, persoalannya dapat beralih dari adu argumentasi hukum mengenai LTS menjadi adu kalkulasi kemampuan militer yang berbahaya.

Tiongkok bisa saja di satu saat mengumumkan suatu air defence identification zone (ADIZ) di atas LTS seperti apa yang sudah dilakukan di angkasa Laut Tiongkok Timur. Atau membangun pangkalan militer di salah satu pulau di LTS yang dapat memperuncing situasi.

Potensi ketegangan di Asia Tenggara pasca-12 Juli 2016, menurut Hugh White dari Australian National University, akan ditentukan oleh beberapa hal. Pertama, bagaimana kekuatan keinginan Tiongkok untuk menanamkan pengaruhnya dan seberapa jauh Tiongkok bersedia merusak tatanan politik, keamanan, sosial, budaya, dan militer yang sudah tersusun rapi di Asia Tenggara. Kedua, bagaimana kemauan AS untuk menanggapi tekad Tiongkok bermain di teater Asia Tenggara. Dan ketiga, bagaimana ASEAN menanggapi fatwa hukum PCA tersebut.

Bagi ASEAN sebenarnya masalah LTS bukanlah hal baru. ASEAN telah berhasil mengumumkan 14 tahun yang lalu ASEAN 2002 Declaration on the Conduct of Parties in the South China Sea (DOC). Meskipun banyak mendapat kritik, DOC telah mengikat semua pihak terkait LTS, baik negara-negara anggota ASEAN maupun Tiongkok, pada serangkaian prinsip yang menjadi dasar kokoh bagi kesepakatan-kesepakatan mendatang, seperti kesediaan merundingkan Code of Conducts di LTS.

Peranan ASEAN

Bagi ASEAN, LTS memiliki faktor strategis. Di samping sebagai lalu lintas ekonomi dan energi utama dunia, juga sebagai sea lanes wilayah kepulauan Asia Tenggara. Oleh karena itu, keamanan dan stabilitas LTS tidak saja merupakan suatu kebutuhan kawasan, tetapi juga suatu keharusan bagi pembangunan kawasan yang berkelanjutan.

Keputusan PCA mengeluarkan fatwa hukum mengenai LTS suatu tantangan di depan hidung ASEAN. Apakah ASEAN dapat memobilisasi kesepakatan bersama untuk bersikap tegas terhadap keputusan PCA? Apakah kesepakatan bersama yang dicapai di Sunnylands, Februari 2016, bisa diulang kembali sebagai ketegasan sikap ASEAN? Ataukah ASEAN perlu mundur selangkah dari kesepakatan yang sudah dicapai? Perlukah ASEAN mengeluarkan pernyataan bersama yang seiring selera Beijing? Atau siapkah ASEAN menerima permintaan Tiongkok untuk tak mengeluarkan pernyataan sama sekali?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut perlu dijawab oleh ASEAN untuk menghilangkan keraguan atas posisi ASEAN mengenai LTS. Memang tidak semua anggota ASEAN menjadi negara pengklaim (claimant states), dan hanya Vietnam, Filipina, Malaysia, dan Brunei yang menjadi claimant states. Keenam negara lainnya dapat berinisiatif untuk mencari pemecahan seraya menonjolkan cara-cara damai. Tanggung jawab Laos sebagai ketua ASEAN menjadi semakin besar untuk mengarahkan pada kesepakatan bersama.

Meskipun demikian, Laos memiliki faktor-faktor khusus. Pertama, Laos adalah negara yang tidak berpantai (land-locked state) jadi kedekatannya dengan masalah-masalah kelautan dapat dipertanyakan. Kedua, Tiongkok adalah negara penanam modal asing yang terbesar di Laos dan menjadi mitra dagang utama. Ketiga, tahun ini adalah hari ulang tahun Dialog Kemitraan ASEAN-Tiongkok yang ke-25. Sebagai ketua ASEAN, Laos berusaha agar peringatan tersebut mencapai sukses. Dan keempat, Presiden AS Barack Obama akan mengadakan kunjungan bilateral ke Vientiane akhir 2016. Hal ini menumbuhkan minat besar untuk peningkatan hubungan kedua negara.

Kesatuan dan keutuhan ASEAN menjadi kunci utama bagi manuver ASEAN pasca 12 Juli 2016. Kesatuan ASEAN ini sedikit banyak tergantung pada kemampuan Laos sebagai ketua ASEAN untuk menjaga keseimbangan dan mengayuh di antara kepentingan negara-negara besar di LTS. Meskipun demikian, masih terbuka kesempatan bagi Indonesia sebagai negara terbesar di ASEAN untuk berperan mendorong agar sentralitas ASEAN kembali menggelora. Mumpung terjadi pergantian kepemimpinan nasional di Filipina terbuka kesempatan Indonesia untuk mendorong pertemuan Presiden Tiongkok Xi Jinping dan Presiden Filipina Rodrigo Duterte guna melakukan dialog mencari kesepakatan. Daripada aktif terlibat konflik yang konfrontatif, lebih baik ASEAN mendorong pihak-pihak yang bersengketa melakukan dialog dan kerja sama sehingga dapat menjamin keamanan dan stabilitas Asia Tenggara yang lestari.

MAKARIM WIBISONO

Guru Besar FISIP Universitas Airlangga

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 13 Juli 2016, di halaman 6 dengan judul "ASEAN dan LTS".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger