Seingat saya, klaim absurd itu merupakan pernyataan Trump pertama yang berbau rasis menuju kampanye Pilpres 2016, tempat ia kini menjadi capres Partai Republik, partai kanan terbesar di Amerika. Lagi pula, Trump adalah satu-satunya calon partai besar selama kehidupan saya yang langsung dan sengaja mencoba memecah belah bangsa saya atas dasar etnisitas dan agama.Tujuannya: sebuah Amerika yang dikuasai orang putih yang merasa dipinggirkan oleh pemerintahan Obama sejak 2009.
Perlu juga dicatat reputasi buruk Trump selaku sexist yang meremehkan peran perempuan.Seperti politisi Republik lain, dia ingin mencabut hak perempuan yang terjamin oleh konstitusi untuk menggugurkan kandungannya (aborsi).Lebih dari itu, Trump sering memberi kesan mencari perkara dengan perempuan profesional.Contoh mencolok: seorang moderator perdebatan capres Republik tahun lalu diejek sedang menstruasi karena pertanyaannya keras.
Menjelang Pilpres 2008, Fox News berusaha keras memenangkan John McCain, capres Republik, dan menggagalkan Barack Obama, capres Partai Demokrat, partai kiri yang terbesar di Amerika. Seperti kita semua tahu, usaha itu tidak berhasil dan Barack Obama dilantik sebagai Presiden AS yang ke-44 pada Januari 2009.
Namun, kekuatan kanan, termasuk Fox News, tak pernah istirahat. Dari hari-hari masa jabatan Obama yang paling awal, mereka mencari senjata baru untuk melumpuhkannya. Wawancara Trump diterima sebagai hadiah Tuhan. Menurut penelitian The New York Times, istilah "birther" disebutkan lebih dari 80 kali antara Maret dan Juni 2011 di Fox News, baik oleh presenter maupun tamu.
Sekali lagi, dilihat dari segi hasil Pilpres 2012, Partai Republik dan Fox News gagal. Obama dipilih kembali untuk masa jabatan kedua, mengalahkan capres Republik Mitt Romney 52 persen-48 persen, 332 lawan 206 dalam penghitungan Electoral College, badan konstitusi yang mengesahkan setiap pilpres melalui penggabungan suara pemilih di tingkat negara bagian.Cukup definitif menurut konsensus pengamat.
Namun, Trump punya kesimpulan lain. Ia menilai McCain dan Romney kurangpinter membaca keinginan pemilih dan kurang berani menciptakan hubungan baru antara pemimpin dan massa berdasarkan pengertian itu. Tentang masalah "birther," lembaga Public Policy Polling melaporkan pada awal 2011 bahwa 51 persen pemilih Republik hakulyakin Obama tidak lahir di Amerika.Angka itu naik dari 44 persen pada 2009.
Meski semua pemimpin Republik tahu angka-angka itu, hanya Trump yang cukup pandai (dan tega) menggunakannya.Pada 2008, John McCain merasa terpaksa menjelaskan kepada seorang pendukung bahwa Obama tetap seorang patriot meski berhaluan lain. Pada 2012, Romney menegaskan bahwa kelahiran Obama di Hawaii tak teragukan.
Lain halnya dengan Trump, yang belum pernah menarik kembali kebohongannya. Tudingan itu merupakan dasar hubungan mesranya dengan massa yang benci terhadap Obama dan gemas pada keadaan negara dan bangsa yang mereka yakini dirusakkan oleh Obama. Lalu, Trump membaca secara jitu keresahan masyarakat perihal tiga tantangan: imigrasi ilegal, terutama dari Meksiko dan Amerika Tengah; perdagangan internasional, yang merugikan banyak orang di sejumlah industri; dan ancaman teroris yang beragama Islam, baik dari dalam maupun luar negeri.
Tindakan aneh
Tiga tantangan itu memang nyata, tetapi rumit dan sulit dipecahkan, baik dari segi kebijakan yang tepat maupun pembentukan koalisi politik. Trump menawarkan sejumlah tindakan aneh yang tak mungkin dilaksanakan. Tentang imigrasi, dia menjanjikan tembok tinggi yang akan dibiayai pemerintah Meksiko.Mengenai perdagangan, berbagai persetujuan internasional akan dihapuskan serta pengusaha dalam negeri akan dipaksakan tidak hengkang. Perihal terorisme, warga negara AS Muslim akan diawasi serta kemasukan warga negara-negara rawan (baca: negara mayoritas Muslim) akan dihalangi.
Akhirulkata, perlu diperhatikan bahwa semua proposal Trump merupakan respons kepada keluhan masyarakat putih, terutama yang merasa dipinggirkan. Apakah strategi itu akan berhasil mengantarkannya ke Gedung Putih?
Masyarakat putih masih merupakan mayoritas pemilih, tetapi kelompok itu tidak utuh.Pada 2012, Mitt Romney meraih 59 persen dari seluruh pemilih putih, persentase tertinggi dalam sejarah pilpres Amerika.Namun, Romney dikalahkan Barack Obama, yang mengandalkan dukungan mutlak minoritas-minoritas Amerika-Afrika, Hispanik, Muslim, dan Asia.
Masih sulit diramalkan apakah Hillary Clinton, capres Partai Demokrat tahun ini, akan mengulangi prestasi Obama.Yang jelas, dia tertantang mempertahankan dukungan minoritas sambil menambah dukungan orang putih. Kiranya ladang pemilih yang paling subur terdiri atas kaum perempuan, mengingat reputasi buruk Trump dan tentu kenyataan bahwa Clinton adalah capres perempuan pertama dalam sejarah bangsa.
R WILLIAM LIDDLE, PROFESOR EMERITUS ILMU POLITIK, OHIO STATE UNIVERSITY, COLUMBUS, OHIO, AS
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 27 Juli 2016, di halaman 7 dengan judul "Capres Rasis".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar