Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 12 Juli 2016

Membuat Tuhan Tersenyum (INDRA TRANGGONO)

Setelah penggemblengan fisik, mental, dan spiritual selama puasa Ramadhan, lalu disusul perayaan Lebaran, apakah kita mampu melahirkan diri jadi manusia sejati? Yakni, manusia otentik dengan kesadaran profetik yang mampu melahirkan kreativitas genuine dan menjawab persoalan kemanusiaan serta kebangsaan kita.

Menjadi kultur inklusif yang mentransformasikan nilai-nilai sosial, budaya, dan spiritual, Lebaran bukan hanya milik umat Islam. Akan tetapi, ia juga milik bangsa yang plural. Perluasan keterlibatan dari umat ke bangsa menjadi tanda penting atas tingginya kesadaran persaudaraan sesama warga negara. Selain itu, nilai-nilai budaya lokal mampu menciptakan kohesi sosial yang mampu melampaui segala perbedaan primordial.

Akhirnya, dalam bahasa grup musik Bimbo dan penyair Taufiq Ismail, Lebaran dirayakan "sekampung" (primordialitas) dan "senegara" (warga-bangsa). Pengagungan Lebaran secara kolektif itu membuktikan bahwa bagi bangsa kita kemajemukan, kebinekaan, merupakan keharusan sejarah dan keniscayaan kultural.

Dalam istilah budayawan Umar Kayam, Lebaran telah menjadi solidarity maker, di mana setiap warga meneguhkan dirinya sebagai bagian penting dari jagatbebrayan agung yang disangga ikatan-ikatan nilai keluarga, puak, komunitas, dan persaudaraan kebangsaan.

Untuk apa peneguhan itu dilakukan? Bukankah masyarakat tetap bisa hidup dengan mengandalkan individualitas dan jaringan ekonomik-fungsionalnya, sehingga tak membutuhkan lagi sandaran komunal?

Seekstrem apa pun menjadi "mesin" kepentingan industri, manusia tetap tidak akan melucuti dirinya sebagai makhluk sosial; betapapun identitasnya itu telah koyak-moyak. Karena itu, manusia selalu berusaha untuk menemukan kemanusiaannya kembali, dengan berbagai cara.

Kaum urban perkotaan, yang seharian menjadi "mesin" bisnis ekonomi, toh membutuhkan oase. Entah itu kafe atau apa pun, untuk menarik napas, memasuki ruang batinnya, melakukan konfirmasi atas nilai-nilai kemanusiaan dalam pergaulan sosial, hingga kembali menemukan dirinya yang sebelumnya dirasakan "bukan miliknya".

Dalam cakupan nilai yang lebih subtansial/mendasar, manusia membutuhkan "alamat pulang" secara sosial ke dalam kehangatan lingkaran keluarga dan komunitasnya. Lahir kembali menjadi manusia dengan seluruh kesadaran nilainya. Budaya Jawa menyebut, manusia membutuhkan kembali pada sangkan paran (asal-usul, basis sosial-kultural), sebuah titik pijak dan titik tolak sebelum ia melakukan mobilitas sosial dan vertikal.

Di titik sangkan paran itu, manusia melakukan semacam pencucian jiwa/batin dengan membangun komitmen sosial, kultural, dan spiritualnya. Ini juga jadi modal dasar bagi kehidupannya di tempat yang baru. Dari sini, manusia mencapai harkat kemanusiaan sekaligus martabatnya.

Nilai profetik

Dalam konteks penguatan anyaman persaudaraan kebangsaan, nilai-nilai budaya Lebaran memiliki makna yang tinggi. Tanpa sadar, setiap tahun, setiap orang selalu memperkuat solidaritas sosial demi kuatnya rajutan kebangsaan itu.

Pertanyaannya, apakah setiap individu yang memiliki peran sosial atau politik mampu mengelaborasi spirit Lebaran itu dan mewujudkan dalam kiprahnya? Apakah seorang anggota parlemen menjadi jauh lebih sensitif terhadap nasib rakyat? Apakah para penyelenggara pemerintah atau penyelenggara negara dan para penguasa ekonomi di negeri ini terpacu untuk merengkuh dan memeluk kaum miskin, papa-sudra, yang selama ini menggigil dihajar penderitaan?

Kepada siapapun, berbagai agama mengajarkan nilai-nilai yang berpihak pada kaum lemah atau mereka yang dilemahkan secara sistemik-struktural. Ini terjadi karena setiap agama bertujuan untuk membebaskan umat manusia dari kegelapan, dari kemiskinan, dan dari segala penindasan sekaligus meninggikan eksistensinya. Hal itu oleh budayawan Kuntowijoyo disebut profetisisme.

Mereka yang memiliki daya kuasa, termasuk penyelenggara pemerintah, negara, penguasa politik, dan ekonomi memiliki tugas suci untuk mewujudkan nilai-nilai profetik itu dalam realitas kehidupan. Dalam terminologi politik hal itu disebut perjuangan konstitusional untuk membangun negara kesejahteraan. Adapun di dalam religiositas hal itu dipahami sebagai jalan keimanan untuk menciptakan surga Tuhan di bumi.

Beramal kebaikan secara sosial menjadi cara manusia untuk membuat Tuhan tersenyum bahagia. Tuhan selalu bersama dengan mereka yang menderita, papa, miskin, dan selalu menjadi korban kekuasaan yang korup. Karena itu, menghardik orang- orang miskin dan menderita sama dengan menyakiti hati Tuhan. Begitu pula dengan merampas hak-hak warga negara melalui korupsi atau manipulasi kekuasaan.

Banyak orang-termasuk para penyelenggara negara/pemerintah-sengaja khilaf meninggalkan rakyat, terutama kaum miskin. Mereka merasa Tuhan cukup hanya dilayani dengan ketaatan secara ritual.

Sementara itu, perilaku mereka di dalam kekuasaan tak lebih dari predator brutal. Mereka mengidap penyakit kemaruk. Mereka tak peduli pada liyan. Penyelenggaraan kekuasaan pun dilakukan atas agenda menggelembungkan kekayaan diri sendiri. Tuhan tentu bersedih. Ia pun meninggalkan penguasa dan kekuasaan yang korup itu. Kekuasaan yang diselenggarakan tanpa nilai-nilai profetik, dijamin rapuh dan ambruk.

INDRA TRANGGONO

Pemerhati Kebudayaan dan Sastrawan

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 12 Juli 2016, di halaman 7 dengan judul "Membuat Tuhan Tersenyum".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger